SHULTHAN ULAMA ACEH
ALM.ABUYA SYAIKH MUDA WALY AL-KHALIDY
Segala puji bagi Allah pencipta alam semesta. Allah tempat kita meminta pertolongan, baik masalah dunia kita maupun masalah akhirat kita. Shalawat dan salam bagi baginda Nabi Besar Muhammad SAW, keluarga dan sahabat baginda sekalian. Penutup segala Rasul dan pembawa risalah islamiyah.
Waba’du : izinkanlah kami
memaparkan sedikit risalah tentang hal ihwal Maha Guru Besar dari para guru
kita, Hadharatusy Syeikh Allah Yarrham Abuya Syeikh Muhammad (Muda) Waly
Al-Khalidy thariqatan , Al-Asyi bilaadan, Asy Syafi’ie mazhaban, yang telah 47
tahun silam meninggalkan kita semua. Semoga Allah SWT senantiasa memberi gairah
dan motivasi kepada kita dalam mengikuti jejaknya dalam bidang ibadah dan
beramal shaleh.
Tulisan ini semisal setetes
air dari samudra keagungan dan kebesaran Allah SWT yang telah di
anugerahkan-Nya kepada Alm. Abuya Maulana Syekh Muhammad Waly di masa hidupnya.
Kami berharap dengan membaca tulisan ini dapat membangkitkan semangat kita
dalam mempertahankan dan meneruskan perjuangan beliau sebagai penganut
Ahlussunnah wal Jamaah di bumi Serambi Mekkah, lebih-lebih pada akhir-akhir ini
berbagai ajaran mazhab dan aliran menyerbu masuk ke Tanah Aceh. Keberadaan hal keadaan itu
dikhawatirkan dapat merusak aqidah dan persatuan umat Islam. Kami pikir para
ulama dayah harus tampil membela mazhab Syafi’ie dan aqidah Ahlussunnah wal
Jamaah yang sudah kita yakini baik dan lebih baik dan bersejarah di Aceh dan
Nusantara.
I.
ULAMA BESAR ACEH YANG KHARISMATIK
Banyak ulama dan pengamat sejarah
sepakat bahwa Abuya Muda Wali adalah ulama besar yang sangat terpengaruh baik
di zamannya hatta sekarang ini. Menurut K.H. Sidjuddin Abbas dalam bukunya
“Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi’ie”, Syeikh Haji Muda Wali lahir di Labuhan
Haji Aceh Selatan (sekarang Abdya) pada tahun 1907. ayahnya juga seorang ulama
terkenal Syeikh Muhammad Salim Tuanku Malim Palito yang sangat fanatik terhadap
ajaran Ahlussunnah wal Jamaah.
Tgk.
Muhammad Waly (Muda Waly) sejak kanak-kanak sampai belia berguru pada ayahnya
tercinta di rumah. Daya hafalnya sangat kuat. Sejak usia lima tahun sudah
banyak menghafal ayat-ayat pendek dalam Al-Qur’an. Kecerdasannya luar biasa. Di
usia belasan tahun sudah nampak ciri-ciri keulamaannya. Dan sejak itu pula para santri ayahnya memanggil
dia Tgk. Muda. Maksudnya teungku yang masih yunior, sedangkan ayahnya teungku
yang sudah senior.
Selain
berguru kepada orang tuanya, Tgk. Muda berguru juga kepada Tgk. Idris Aceh
Selatan. Kemudian kepada Tgk. Syeikh Mahmud Blang Pidie. Selanjutnya beliau meninggalkan Aceh
Selatan dan “jak meudagang” ke Aceh Besar. Di Aceh Besar beliau berguru
kepada Syeikh Hasan Krueng Kalee, dan tidak lama cuma hanya beberapa hari saja.
Kemudian kepada Tgk. Hasballah Indrapuri dan beliau lebih banyak mengajar di
pesantren siang malam lebih kurang selama tiga bulan. Maka beliau di sana seperti wakil Abu Indrapuri
sebagai guru utama. Menurut
putranya Abuya Prof. DR. Muhibbuddin Waly, sebelum ke Aceh Besar, ayahnya sudah
alim. Sebenarnya “meudagang” ke Aceh Besar karena beliau ingin berkenalan
dengan ulama-ulama yang lebih senior di Aceh Besar. Makanya tidak begitu lama
tinggal di Aceh Besar.
Kehausannya
kepada ilmu agama Islam, kemudian beliau melanjutkan perjalanannya ke ranah
Minangkabau untuk studi Sekolah Normal Islam yang dipimpin oleh H. Mahmud Yunus
tamatan Al-Azhar University. Cuma sebulan beliau di situ kemudian keluar dari padanya karena tidak merasa
sesuai dengan pendidikannya. Kemudian beliau berkeliling kepada ulama-ulama
besar, diantaranya pada ulama besar Syafiyah di sana Syeikh Djamil Djaho (salah
seorang pendiri PERTI) dan karena alimnya, Syeikh Djamil sangat cinta dan
sayang kepada muridnya yang cerdas ini. Supaya terjalin hubungan yang abadi,
sang guru mengambilnya menjadi menantu. Setelah beliau berumah tangga dengan
isteri beliau pertama, Bunda kandung Abuya Prof. DR. Muhibbuddin Waly, dan
isteri beliau pertama itu adalah cucu ulama besar kota Padang Syeikh Khatib
Ali. Tgk. Muda dinikahkan dengan putrinya Rabi’ah. Selanjutnya Tgk. Muda
belajar pula pada Syeikh Abdul Ghani Batu Besurat di Kampar.
Syeikh
Abdul Ghani inilah yang kemudian mengangkat Abuya Muda Waly menjadi Mursyid Thariqat
Naqsyabandiyah untuk seluruh wilayah Aceh.
II.
TOKOH PENDIDIKAN ISLAM
Tahun 1940 Tgk. Muda
Waly kembali ke Aceh. Ilmunya sudah sangat luas ditambah lagi dengan menyandang
gelar Mursyid Thariqat yang diberikan gurunya. Di tanah kelahirannya beliau
mendirikan Dayah Darussalam di Labuhan Haji, namanya melejit dan menjadi
“bintang” di Aceh belahan barat. Kemudian para santri dari seluruh Aceh datang
berguru kepadanya. Jadilah Dayah Darussalam Labuhan Haji sebagai dayah besar yang
paling banyak santrinya. Meski Abuya Muda Waly seorang Mursyid ilmu thariqat,
namun beliau tidak memaksa semua santrinya untuk masuk thariqat. Para murid
diberi kebebasan memperdalam bidang ilmu yang disukainya. Sebagian mendalami
ilmu syari’ah dan fiqh saja, sebagian mendalami bahasa Arab dan manthiq saja
dan sebagian lagi menambahkan ilmu Thariqat Naqsyabandiyah.
Pengaruhnya semakin
besar setelah pulang dari Mekkah, sebab beliau sempat berguru kepada ulama-ulama
besar di Haramain. Prof. H. Muhammad Ali Hasjmy dalam bukunya “Sejarah Ulama
Aceh”, menulis; bahwa tidak diragukan lagi, Tgk. Muda Waly Al-Khalidy adalah
ulama Aceh yang sangat terpengaruh baik masa hidupnya maupun setelah beliau
wafat. Hal tersebut disebabkan karena Tgk. Muda Waly berhasil mendidik
murid-muridnya menjadi ulama-ulama besar di Aceh. Ali Hasjmy menambahkan,
sebagai pengembang thariqat, Muda Waly juga sangat berhasil. Sekarang
satu-satunya thariqat yang paling luas penganutnya di Aceh adalah
Naqsyabandiyah.
K.H. Siradjuddin Abbas
mengurai panjang tentang Muda Waly. Menurut ulama Ahlussunnah wal Jamaah ini,
Muda Waly adalah ulama yang paling berhasil di Aceh. Darussalam Labuhan Haji
telah melahirkan ulama-ulama besar Syafi’iyah yang selalu menjadi kiblat
masyarakat Aceh, bahkan Nusantara.
Lebih lanjut Siradjuddin
Abbas mencatat nama-nama murid Abuya Muda Waly yang menjadi ulama besar dan
pemimpin dayah.
Untuk muridnya pada tahap pertama, antara lain :
1. Tgk. Muhibbuddin Waly
2. Alm. Tuanku H.
Labesati, Melalo Pandang Panjang
3. Tgk. Adnan Bakongan
al-Waly
4. Alm. Tgk.
Qamaruddin (Abu Tanoh Anoe)
5. Alm. Tuanku H. Idrus
Batu Basurek Bangkinang
6. Alm. Tgk. Ahmad
Lamlauwi
7. Alm. Tgk. Abu
Abdullah Tanoh Mirah Bireun
8. Alm. Tgk. Muhammad
Isa Peudada
9. Alm. Abu Aziz
Samalanga
10. Alm. Tgk. T. H.
Usman Fauzie (Abu Lueng Ie)
11. Tgk. H.
Muhammad Thaib Bate Lhee
Untuk muridnya pada tahap kedua, antara lain :
1. Alm. Abu H.
Syihabuddin Syah Keumala Al-Waly
2. Alm. Tgk.
Basyah Kamal Lhong
3. Alm. Tgk. Amin Umar
Panton Labu
4. Abu Tumin Blang Bah
Deh
5. Abu Daud Zamzami Aceh
Besar
6. Abu Teupin Punti Lhok
Sukon
7. Alm. Syeikh Nawawi
Harahap Tapanuli
8. Alm. Tgk.
Muhammad Daud Grong-grong
9. Alm. Abu Ahmad
Blang Nibong Aceh Utara
10. Alm. Tgk. Abbas
Beureumbeu Aceh Barat
11. Alm. Tgk.
Ja’far Siddiq Kuta Cane
12. Alm. Tgk.
Muhammad Zamzami Mamplam Golek
13. Alm. H. Abu
Bakar Sabil Aceh Barat
14. Alm. Tgk.
Muhammad Yunus Manani
15. dll
Dalam tahap yang kedua
ini di antaranya termasuk murid-murid Abuya Prof. DR. Muhibbuddin Waly.
Para murid pulang ke
kampungnya masing-masing, mereka mendirikan dayah. Kemudian terbukti
dayah-dayah mereka melahirkan ulama-ulama besar juga. Mengenai kesuksesan pendidikan
berkesinambungan ini, saya pernah membuat syair pada tahun 1999. Syair saya
tersebut pernah di muat di Harian Serambi Indonesia. Berikut saya kutip kembali
syair tersebut :
Di bineh pante Samudra India
Labuhan Haji tanoh tercinta
Sinan keueh dayah meugah hanaban
Darussalam taman syurga
Abuya Muda Waly ureueng asaskan
Watee menjelang Indonesia merdeka
Le that ulama lahe di sinan
Berkat didikan Tgk. Syeikh Muda
Ulama sufi malem hanaban
Luah pandangan kasyaf geuh pih na
Geubri keuramat le sidroe Tuhan
Geu jaga gobnyan sabe lam beuna
Watee ulon jak nibak kuburan
Jile meugram-gram di lon ie mata
Ulon bri saleuem bak bineh makam
Lon beuet Qur’an Yasin lon baca
Allahu Rabbi Khaliqul Insan
Raya hanaban gobnyan meujasa
Neu ampon desya dum kesalahan
Neubri beusajan para aulia
Beureukat keuramat ulama sufi
Syeikh Muda Waly suthan ulama
Neubri ya Allah jalan hakiki
Neubri Illahi ulon beumeubahgia
Beupanyang umu mudah raseuki
Ngon keluarga Al-Waly ukhwah beuna
Beujeut keu guree ulama Al-Waly
Ulama Sunni peujuang agama
III.
KHALIFAH THARIQAT (NAQSYABANDIYAH)
Martin
van Bruinessen (orientalis Belanda) mengemukakan bahwa thariqat Naqsyabandiyah
pernah mendapat pengikut di Aceh sebelum abad ke-20, jumlahnya tidak besar dan
tidak cukup berarti. Satusatunya acuan yang kita dapatkan adalah sebuah teks
yang ditulis oleh Jamaluddin Pasa (Aceh Utara), salah seorang pengikut Thariqat
Naqsyabandiyah, namun kapan persisnya hidup tidak dapat dipastikan. Karya
tersebut disalin pada tahun 1859. Rupa-rupanya atas permintaan seorang pejabat
Belanda. Oleh sebab itu, karya itu pasti lebih tua dan tidaklah dapat dianggap
sebagai bukti bahwa masih ada pengikut Naqsyabandiyah di Aceh pada masa itu.
Menjelang
akhir abad Snouck Hougranje, pengamat terbaik dan paling luas pengetahuannya
memberi komentar bahwa Thariqat Naqsyabandiyah memang tidak berarti di Aceh,
meskipun bukan sama sekali tidak ada.
Tapi
ternyata sekarang ini Thariqat Naqsyabandiyah merupakan thariqat yang paling
berpengaruh di Aceh, pengaruhnya yang paling besar terutama di Aceh Barat dan
Aceh Selatan. Hal ini terutama sekali berkat kegiatan-kegiatan seorang Syeikh
dan politisi yang kharismatik, Muda Waly (Haji Muhammad Waly) pendiri dayah
(pesantren) besar Darussalam di Labuhan Haji (Aceh Selatan) dan merupakan tokoh
PERTI seluruh Aceh.
Syeikh
Muda Waly berasal dari pesisir barat Aceh, yang sebagian penduduknya yang telah
mengalami proses pembauran mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Aceh tapi
sebelum diterima sebagai orang Aceh sejati (tetapi lebih dianggap orang Jamee
“tamu” atau “pendatang” dan sebagai “keturunan Minangkabau”).
Muda
Waly berguru kepada Syeikh Muhammad Jamil Jaho (pendiri PERTI), meskipun
sebentar dan menikahi putri gurunya Rabi’ah, dan belajar pula di Kampar kepada
Syeikh Abdul Ghani dari Batu Besurat, yang kemudian membai’atnya masuk Thariqat
Naqsyabandiyah dan mengangkatnya sebagai mursyid utamanya.
Pada
awal-awal tahun 1940-an, Muda Waly kembali ke Aceh Selatan dan mendirikan dayah-nya
di Labuhan Haji. Setelah Indonesia merdeka, ia menjadi penggerak dibalik
perkembangan PERTI di Aceh, terutama berkat upaya-upaya istri pertamanya – Hj.
Rasimah bunda kandung Prof. DR. Muhibbuddin Waly, seorang perempuan cucu ulama
thariqat kharismatik Kota Padang –, yang
sangat simpatik dan terbuka serta punya naluri kemasyarakatan yang tajam.
Bersama dengan sahabat-sahabatnya, Nyak Diwan, Tgk. Usman Pawoh, Cut Zakaria
dan Tgk. Bahrunsyah ia melakukan kampanye-kampanye politik dan agama secara
intensif di sepanjang pesisir Barat Aceh (dan belakangan juga di Aceh Besar),
salah satu tujuan utamanya ialah untuk menangkal pengaruh Muhammadiyah yang
sedang tumbuh (erat kaitannya dengan masyarakat Minangkabau di Aceh) yang tidak
sejalan dengan kebanyakan para ulama Aceh.
Dalam
perjuangan ini, Muda Waly telah mendapatkan pertolongan dari semua muslihat.
Perkawinan-perkawinan yang betul-betul strategis dengan pengecualian barangkali
yang pertama, yaitu dengan gadis kota Padang, Minangkabau. Isteri keduanya
adalah keponakan dari Teuku Usman Pawoh yang merupakan keturunan Ulee Balang
Kota Kecamatan Labuhan Haji. Salah satu kecamatan di Aceh Selatan di mana
Muhammadiyah sangat kuat adalah Manggeng dan di sini tinggal Nur Hayit, ulama
besar Muhammadiyah di Aceh. Maka Muda Waly mengawini isteri ke empat di sini,
justru pula dari kaitan famili ibu kandung beliau demi memperoleh tempat
pijakan. Setelah Abuya Muda Waly berpisah dengan isteri keduanya Hj. Rabi’ah
Jamil, yang dikarenakan oleh masuknya Jepang ke Aceh sehingga beliau tidak bisa
kembali ke Minangkabau, maka ia pun menceraikan Rabi’ah. Setelah itu demi
menghadapi tugas Ahlussunnah wal Jamaah di Aceh Barat beliau menikahi salah
seorang perempuan muda Teunom sebagai gantinya.
Upaya
Muda Waly untuk menyebarluaskan Thariqat Naqsyabandiyah berjalan seiring dengan
aktivitas politiknya dan di sini sulit untuk mengetahui apakah yang satu
merupakan tujuan utama dan yang lainnya hanya sebagai alat. Yang pasti, thariqat itu menyediakan
baginya jaringan PERTI yang lebih mudah. Tgk. Adnan Mahmud dari Bakongan, Tgk.
H. Qamaruddin Lailon, Tgk. Jailani Musa, serta Tgk. H. Ja’far Lailon sebagai
khalifahnya di Aceh Selatan, khalifah yang lain termasuk putra mursyidnya
sendiri H. Abdul Aydarus Ghani di Kampar, namun sebagai penggantinya ia
menunjuk putra sulungnya, Muhibuddin Waly yang diberi ijazah mursyid oleh
gurunya sendiri Syeikh H. Abdul Ghani di Kampar.
Sejak
wafat Muda Waly pada tahun 1961, putranya Muhibuddin Waly secara formal menjadi
yang paling senior di antara mursyid dan khalifah, namun karena ia telah lama
berada jauh dari Aceh, maka Abuya Muhibbuddin Waly mengangkat Usman Fauzie
menjadi mursyid terkemuka di Aceh Besar dan sekitarnya, demi kepentingan
praktis, sudah barang tentu ia merupakan tokoh PERTI terkemuka di Banda Aceh.
Sebagai seorang aktivis PERTI, Tgk. T. Usman Fauzie menjadi seorang pendukung
PPP ketika semua partai Islam dipaksa untuk berungsi menjadi partai baru
tersebut. Namun ketika satu bagian PERTI (kubu Sulaiman Al Rasulli) dengan
Prof. Muhibbuddin Waly sebagai salah seorang tokoh terasnya, memisahkan diri
dan bergabung dengan Golkar, Usman Fauzi dengan setia mengikutinya. Untuk menghadapi
Pemilu tahun 1982 Abuya Muhibbuddin Waly berdua dengan Usman Fauzie berkampanye
atas nama Golkar, hal yang menimbulkan reaksi negatif yang tidak sedikit.
Banyak orang tua menarik pulang anak-anak mereka dari Dayah Tgk. Usman Fauzi
dan mengirim mereka ke tempat lain. Tetapi murid Naqsyabandi, tentu saja tetap
setia. Secara kebetulan Abuya Muhibbuddin Waly telah menjelaskan dukungannya
kepada Golkar dan bukan kepada PPP dengan menggunakan istilah-istilah yang
dapat dipahami oleh kaum muslimin tradisional.PPP sebenarnya dikuasai oleh kaum
modernis yang lebih merupakan ancaman bagi amalan-amalan kita dan
kepercayaan-kepercayaan kita dibandingkan dengan Golkar yang sekular, malahan
Tgk. T. Usman Fauzi menjelaskan secara lebih sederhana.
Di
dayah Tgk. T. Usman Fauzi di Lueng Ie dilaksanakan dua pertemuan zikir
berjamaah setiap pekan. Satu untuk laki-lakidan satu untuk perempuan. Keduanya
antara shalat Isya dan tengah malam. Sekitar 150 murid secara teratur mengikuti
pertemuan-pertemuan ini. Jumlah murid yang datang bersuluk jauh lebih banyak,
yang semuanya sudah berusia di atas 50 tahun dan yang terbanyak dari kaum
wanita. Kebanyakan atau semuanya dari mereka adalah petani.
Di
pesisir utara Aceh suluk sungguhnya tidak pernah menjadi populer, tetapi di pesisir
barat khususnya di bagian paling selatan (Aceh Selatan dan Aceh Tenggara) suluk
merupakan aspek yang tidak dapat dipisahkan dari budaya keagamaan setempat.
Cukup banyak penduduk berusia tua dari desa-desa pegunungan yang melakukan
perjalanan beberapa kali dalam hidupnya, selanjutnya begitu selesai panen, ke Dayah
di Labuhan Haji, Dayah Tanoh Anoe yang dipimpin oleh Abu Qamaruddin, Dayah
Ujong Kalak Meulaboh yang dipimpin oleh Abu Abdul Hamid Kota Meulaboh, Dayah
Lama Inong Aceh Selatan yang dipimpin oleh Abu Ja’far Lailon, dan dayah lainnya
di Kluet Utara untuk melaksanakan suluk, meskipun hanya tiga hari atau beberapa
hari saja.
Baik
Abuya Muda Waly maupun putranya Prof. Muhibbuddin Waly telah memperkaya
kepustakaan tasawuf Indonesia dengan satu-satunya karya sang ayah menulis dua
risalah pendek mengenai Thariqat Naqsyabandiyah (dalam bahasa Melayu) dan Obat
Hati, Nadham Munajat yang diberkati At-Thariqat Al-Naqsyabandiyah (teks amalan
dalam bahasa Arab disertai terjemahan bahasa Acehnya, keduanya digubah dalam
bentuk syair), dua karya lain yang diterbitkan merupakan kumpulan fatwa tentang
berbagai masalah (Al-Fatwa) dan sebuah kitab mengenai Doktrin dan amalan sufi, Tanwir
al-anwar fi izhar khalal ma-fi kasyf al-anrar, keduanya dalam bahasa
Melayu.
DR.
Muhibbuddin Waly menyunting risalah ayahnya mengenai zikir dan menerbitkan
empat jilid syarah karya Ibn ‘Atha’illah, Hikam : Hakikat Hikmah Tauhid dan
Tasawuf dan sebuah kitab mengenai perkembangan hukum Islam, Penggalian
Hukum Islam dari Masa ke Masa.
IV.
Karamah-karamah Abuya Muda Waly
Saya pernah mengumpulkan sejumlah
karamah ulama Aceh, namun sayang sekali naskah buku tersebut hanyut dibawa
tsunami ahad, 25 Desember 2004 lalu. Dalam buku tersebut saya menyebutkan
beberapa karamah Maulana Syeikh Muda Waly, antara lain :
1. Datangnya
kerikil putih kepantai Labuhan Haji dekat dengan dayah sehingga lapangan dayah
tawajuh dan sekitarnya diratakan dengan batu-batu kerikil itu.
2. Do’a diterima
Allah
3. Prediksinya
tentang DI/TII benar
4. Keputusan
Musyawarah para Ulama se-Indonesia yang difatwakan oleh beliau dengan Rais ‘Am
NU K.H. Abdul Wahab Hasbullah, bahwa presiden Soekarno dan wakil presiden Mohd.
Hatta adalah ulil amri adh-dharuri bisy syaukah. Maka tidak boleh berontak
kepada pemimpin negara.
5. Sukses mendidik
anak dan para muridnya menjadi ulama besar
6. Soekarno akan
jatuh dari kekuasaan
7. Berjumpa
Lailatur Qadr (1960).
V.
Sulthan Ulama Aceh
Dari uraian ringkas di atas, saya
sangat ingin memanggil beliau sebagai “Sulthan Ulama Aceh” dan Mujaddid besar
abad ke-20 untuk Indonesia, khususnya Sumatera. Maksudnya dialah ulama Aceh
yang paling besar pengaruhnya dalam bidang agama, politik dan khazanah kesufian
di Aceh paruh abad 14 H. saya juga berpendapat, pengaruh beliau semakin kuat
dalam abad ke-15 H ini. Para murid dan para murid beliau kini giat
mengembangkan thariqat Naqsyabandiyah Al-Waliyyah di seluruh Melayu Raya.
VI.
Khatimah
Saat-saat kita bisa
berkumpul seperti ini, alangkah indah apabila kita dapat membaca sekali seorang
Ummul Qur’an, kemudian kita berdo’a kepada Allah yarham agar Allah SWT memberi
tampat yang terbaik di sisi-Nya. Tiada kata yang lebih indah kecuali doa yang
diajarkan oleh Baginda Nabi SAW : Allahummaghfirlahu warhamhu …
Tidak ada komentar:
Posting Komentar