Sabtu, 18 Oktober 2014

Abuya Muda Waly Shulthan Ulama Aceh


SHULTHAN ULAMA ACEH
ALM.ABUYA SYAIKH MUDA WALY AL-KHALIDY


Oleh: Amier Hamzah

Segala puji bagi Allah pencipta alam semesta. Allah tempat kita meminta pertolongan, baik masalah dunia kita maupun masalah akhirat kita. Shalawat dan salam bagi baginda Nabi Besar Muhammad SAW, keluarga dan sahabat baginda sekalian. Penutup segala Rasul dan pembawa risalah islamiyah.
Waba’du : izinkanlah kami memaparkan sedikit risalah tentang hal ihwal Maha Guru Besar dari para guru kita, Hadharatusy Syeikh Allah Yarrham Abuya Syeikh Muhammad (Muda) Waly Al-Khalidy thariqatan , Al-Asyi bilaadan, Asy Syafi’ie mazhaban, yang telah 47 tahun silam meninggalkan kita semua. Semoga Allah SWT senantiasa memberi gairah dan motivasi kepada kita dalam mengikuti jejaknya dalam bidang ibadah dan beramal shaleh.
Tulisan ini semisal setetes air dari samudra keagungan dan kebesaran Allah SWT yang telah di anugerahkan-Nya kepada Alm. Abuya Maulana Syekh Muhammad Waly di masa hidupnya. Kami berharap dengan membaca tulisan ini dapat membangkitkan semangat kita dalam mempertahankan dan meneruskan perjuangan beliau sebagai penganut Ahlussunnah wal Jamaah di bumi Serambi Mekkah, lebih-lebih pada akhir-akhir ini berbagai ajaran mazhab dan aliran menyerbu masuk ke Tanah Aceh. Keberadaan hal keadaan itu dikhawatirkan dapat merusak aqidah dan persatuan umat Islam. Kami pikir para ulama dayah harus tampil membela mazhab Syafi’ie dan aqidah Ahlussunnah wal Jamaah yang sudah kita yakini baik dan lebih baik dan bersejarah di Aceh dan Nusantara.

I.                   ULAMA BESAR ACEH YANG KHARISMATIK

            Banyak ulama dan pengamat sejarah sepakat bahwa Abuya Muda Wali adalah ulama besar yang sangat terpengaruh baik di zamannya hatta sekarang ini. Menurut K.H. Sidjuddin Abbas dalam bukunya “Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi’ie”, Syeikh Haji Muda Wali lahir di Labuhan Haji Aceh Selatan (sekarang Abdya) pada tahun 1907. ayahnya juga seorang ulama terkenal Syeikh Muhammad Salim Tuanku Malim Palito yang sangat fanatik terhadap ajaran Ahlussunnah wal Jamaah.
            Tgk. Muhammad Waly (Muda Waly) sejak kanak-kanak sampai belia berguru pada ayahnya tercinta di rumah. Daya hafalnya sangat kuat. Sejak usia lima tahun sudah banyak menghafal ayat-ayat pendek dalam Al-Qur’an. Kecerdasannya luar biasa. Di usia belasan tahun sudah nampak ciri-ciri keulamaannya. Dan sejak itu pula para santri ayahnya memanggil dia Tgk. Muda. Maksudnya teungku yang masih yunior, sedangkan ayahnya teungku yang sudah senior.
            Selain berguru kepada orang tuanya, Tgk. Muda berguru juga kepada Tgk. Idris Aceh Selatan. Kemudian kepada Tgk. Syeikh Mahmud Blang Pidie. Selanjutnya beliau meninggalkan Aceh Selatan dan “jak meudagang” ke Aceh Besar. Di Aceh Besar beliau berguru kepada Syeikh Hasan Krueng Kalee, dan tidak lama cuma hanya beberapa hari saja. Kemudian kepada Tgk. Hasballah Indrapuri dan beliau lebih banyak mengajar di pesantren siang malam lebih kurang selama tiga bulan. Maka beliau di sana seperti wakil Abu Indrapuri sebagai guru utama. Menurut putranya Abuya Prof. DR. Muhibbuddin Waly, sebelum ke Aceh Besar, ayahnya sudah alim. Sebenarnya “meudagang” ke Aceh Besar karena beliau ingin berkenalan dengan ulama-ulama yang lebih senior di Aceh Besar. Makanya tidak begitu lama tinggal di Aceh Besar.
            Kehausannya kepada ilmu agama Islam, kemudian beliau melanjutkan perjalanannya ke ranah Minangkabau untuk studi Sekolah Normal Islam yang dipimpin oleh H. Mahmud Yunus tamatan Al-Azhar University. Cuma sebulan beliau di situ kemudian keluar dari padanya karena tidak merasa sesuai dengan pendidikannya. Kemudian beliau berkeliling kepada ulama-ulama besar, diantaranya pada ulama besar Syafiyah di sana Syeikh Djamil Djaho (salah seorang pendiri PERTI) dan karena alimnya, Syeikh Djamil sangat cinta dan sayang kepada muridnya yang cerdas ini. Supaya terjalin hubungan yang abadi, sang guru mengambilnya menjadi menantu. Setelah beliau berumah tangga dengan isteri beliau pertama, Bunda kandung Abuya Prof. DR. Muhibbuddin Waly, dan isteri beliau pertama itu adalah cucu ulama besar kota Padang Syeikh Khatib Ali. Tgk. Muda dinikahkan dengan putrinya Rabi’ah. Selanjutnya Tgk. Muda belajar pula pada Syeikh Abdul Ghani Batu Besurat di Kampar.
            Syeikh Abdul Ghani inilah yang kemudian mengangkat Abuya Muda Waly menjadi Mursyid Thariqat Naqsyabandiyah untuk seluruh wilayah Aceh.
II.                TOKOH PENDIDIKAN ISLAM
Tahun 1940 Tgk. Muda Waly kembali ke Aceh. Ilmunya sudah sangat luas ditambah lagi dengan menyandang gelar Mursyid Thariqat yang diberikan gurunya. Di tanah kelahirannya beliau mendirikan Dayah Darussalam di Labuhan Haji, namanya melejit dan menjadi “bintang” di Aceh belahan barat. Kemudian para santri dari seluruh Aceh datang berguru kepadanya. Jadilah Dayah Darussalam Labuhan Haji sebagai dayah besar yang paling banyak santrinya. Meski Abuya Muda Waly seorang Mursyid ilmu thariqat, namun beliau tidak memaksa semua santrinya untuk masuk thariqat. Para murid diberi kebebasan memperdalam bidang ilmu yang disukainya. Sebagian mendalami ilmu syari’ah dan fiqh saja, sebagian mendalami bahasa Arab dan manthiq saja dan sebagian lagi menambahkan ilmu Thariqat Naqsyabandiyah.
Pengaruhnya semakin besar setelah pulang dari Mekkah, sebab beliau sempat berguru kepada ulama-ulama besar di Haramain. Prof. H. Muhammad Ali Hasjmy dalam bukunya “Sejarah Ulama Aceh”, menulis; bahwa tidak diragukan lagi, Tgk. Muda Waly Al-Khalidy adalah ulama Aceh yang sangat terpengaruh baik masa hidupnya maupun setelah beliau wafat. Hal tersebut disebabkan karena Tgk. Muda Waly berhasil mendidik murid-muridnya menjadi ulama-ulama besar di Aceh. Ali Hasjmy menambahkan, sebagai pengembang thariqat, Muda Waly juga sangat berhasil. Sekarang satu-satunya thariqat yang paling luas penganutnya di Aceh adalah Naqsyabandiyah.
K.H. Siradjuddin Abbas mengurai panjang tentang Muda Waly. Menurut ulama Ahlussunnah wal Jamaah ini, Muda Waly adalah ulama yang paling berhasil di Aceh. Darussalam Labuhan Haji telah melahirkan ulama-ulama besar Syafi’iyah yang selalu menjadi kiblat masyarakat Aceh, bahkan Nusantara.
Lebih lanjut Siradjuddin Abbas mencatat nama-nama murid Abuya Muda Waly yang menjadi ulama besar dan pemimpin dayah.
Untuk muridnya pada tahap pertama, antara lain :
1.      Tgk. Muhibbuddin Waly
2.      Alm. Tuanku H. Labesati, Melalo Pandang Panjang
3.      Tgk. Adnan Bakongan al-Waly
4.      Alm. Tgk. Qamaruddin (Abu Tanoh Anoe)
5.      Alm. Tuanku H. Idrus Batu Basurek Bangkinang
6.      Alm. Tgk. Ahmad Lamlauwi
7.      Alm. Tgk. Abu Abdullah Tanoh Mirah Bireun
8.      Alm. Tgk. Muhammad Isa Peudada
9.      Alm. Abu Aziz Samalanga
10.  Alm. Tgk. T. H. Usman Fauzie (Abu Lueng Ie)
11.  Tgk. H. Muhammad Thaib Bate Lhee
Untuk muridnya pada tahap kedua, antara lain :
1.      Alm. Abu H. Syihabuddin Syah Keumala Al-Waly
2.      Alm. Tgk. Basyah Kamal Lhong
3.      Alm. Tgk. Amin Umar Panton Labu
4.      Abu Tumin Blang Bah Deh
5.      Abu Daud Zamzami Aceh Besar
6.      Abu Teupin Punti Lhok Sukon
7.      Alm. Syeikh Nawawi Harahap Tapanuli
8.      Alm. Tgk. Muhammad Daud Grong-grong
9.      Alm. Abu Ahmad Blang Nibong Aceh Utara
10.  Alm. Tgk. Abbas Beureumbeu Aceh Barat
11.  Alm. Tgk. Ja’far Siddiq Kuta Cane
12.  Alm. Tgk. Muhammad Zamzami Mamplam Golek
13.  Alm. H. Abu Bakar Sabil Aceh Barat
14.  Alm. Tgk. Muhammad Yunus Manani
15.  dll
Dalam tahap yang kedua ini di antaranya termasuk murid-murid Abuya Prof. DR. Muhibbuddin Waly.
Para murid pulang ke kampungnya masing-masing, mereka mendirikan dayah. Kemudian terbukti dayah-dayah mereka melahirkan ulama-ulama besar juga. Mengenai kesuksesan pendidikan berkesinambungan ini, saya pernah membuat syair pada tahun 1999. Syair saya tersebut pernah di muat di Harian Serambi Indonesia. Berikut saya kutip kembali syair tersebut :
Di bineh pante Samudra India
Labuhan Haji tanoh tercinta
Sinan keueh dayah meugah hanaban
Darussalam taman syurga

Abuya Muda Waly ureueng asaskan
Watee menjelang Indonesia merdeka
Le that ulama lahe di sinan
Berkat didikan Tgk. Syeikh Muda

Ulama sufi malem hanaban
Luah pandangan kasyaf geuh pih na
Geubri keuramat le sidroe Tuhan
Geu jaga gobnyan sabe lam beuna

Watee ulon jak nibak kuburan
Jile meugram-gram di lon ie mata
Ulon bri saleuem bak bineh makam
Lon beuet Qur’an Yasin lon baca

Allahu Rabbi Khaliqul Insan
Raya hanaban gobnyan meujasa
Neu ampon desya dum kesalahan
Neubri beusajan para aulia

Beureukat keuramat ulama sufi
Syeikh Muda Waly suthan ulama
Neubri ya Allah jalan hakiki
Neubri Illahi ulon beumeubahgia

Beupanyang umu mudah raseuki
Ngon keluarga Al-Waly ukhwah beuna
Beujeut keu guree ulama Al-Waly
Ulama Sunni peujuang agama

III.             KHALIFAH THARIQAT (NAQSYABANDIYAH)
Martin van Bruinessen (orientalis Belanda) mengemukakan bahwa thariqat Naqsyabandiyah pernah mendapat pengikut di Aceh sebelum abad ke-20, jumlahnya tidak besar dan tidak cukup berarti. Satusatunya acuan yang kita dapatkan adalah sebuah teks yang ditulis oleh Jamaluddin Pasa (Aceh Utara), salah seorang pengikut Thariqat Naqsyabandiyah, namun kapan persisnya hidup tidak dapat dipastikan. Karya tersebut disalin pada tahun 1859. Rupa-rupanya atas permintaan seorang pejabat Belanda. Oleh sebab itu, karya itu pasti lebih tua dan tidaklah dapat dianggap sebagai bukti bahwa masih ada pengikut Naqsyabandiyah di Aceh pada masa itu.
Menjelang akhir abad Snouck Hougranje, pengamat terbaik dan paling luas pengetahuannya memberi komentar bahwa Thariqat Naqsyabandiyah memang tidak berarti di Aceh, meskipun bukan sama sekali tidak ada.
Tapi ternyata sekarang ini Thariqat Naqsyabandiyah merupakan thariqat yang paling berpengaruh di Aceh, pengaruhnya yang paling besar terutama di Aceh Barat dan Aceh Selatan. Hal ini terutama sekali berkat kegiatan-kegiatan seorang Syeikh dan politisi yang kharismatik, Muda Waly (Haji Muhammad Waly) pendiri dayah (pesantren) besar Darussalam di Labuhan Haji (Aceh Selatan) dan merupakan tokoh PERTI seluruh Aceh.
Syeikh Muda Waly berasal dari pesisir barat Aceh, yang sebagian penduduknya yang telah mengalami proses pembauran mengidentifikasikan dirinya sebagai orang Aceh tapi sebelum diterima sebagai orang Aceh sejati (tetapi lebih dianggap orang Jamee “tamu” atau “pendatang” dan sebagai “keturunan Minangkabau”).
Muda Waly berguru kepada Syeikh Muhammad Jamil Jaho (pendiri PERTI), meskipun sebentar dan menikahi putri gurunya Rabi’ah, dan belajar pula di Kampar kepada Syeikh Abdul Ghani dari Batu Besurat, yang kemudian membai’atnya masuk Thariqat Naqsyabandiyah dan mengangkatnya sebagai mursyid utamanya.
Pada awal-awal tahun 1940-an, Muda Waly kembali ke Aceh Selatan dan mendirikan dayah-nya di Labuhan Haji. Setelah Indonesia merdeka, ia menjadi penggerak dibalik perkembangan PERTI di Aceh, terutama berkat upaya-upaya istri pertamanya – Hj. Rasimah bunda kandung Prof. DR. Muhibbuddin Waly, seorang perempuan cucu ulama thariqat kharismatik Kota Padang –,  yang sangat simpatik dan terbuka serta punya naluri kemasyarakatan yang tajam. Bersama dengan sahabat-sahabatnya, Nyak Diwan, Tgk. Usman Pawoh, Cut Zakaria dan Tgk. Bahrunsyah ia melakukan kampanye-kampanye politik dan agama secara intensif di sepanjang pesisir Barat Aceh (dan belakangan juga di Aceh Besar), salah satu tujuan utamanya ialah untuk menangkal pengaruh Muhammadiyah yang sedang tumbuh (erat kaitannya dengan masyarakat Minangkabau di Aceh) yang tidak sejalan dengan kebanyakan para ulama Aceh.
Dalam perjuangan ini, Muda Waly telah mendapatkan pertolongan dari semua muslihat. Perkawinan-perkawinan yang betul-betul strategis dengan pengecualian barangkali yang pertama, yaitu dengan gadis kota Padang, Minangkabau. Isteri keduanya adalah keponakan dari Teuku Usman Pawoh yang merupakan keturunan Ulee Balang Kota Kecamatan Labuhan Haji. Salah satu kecamatan di Aceh Selatan di mana Muhammadiyah sangat kuat adalah Manggeng dan di sini tinggal Nur Hayit, ulama besar Muhammadiyah di Aceh. Maka Muda Waly mengawini isteri ke empat di sini, justru pula dari kaitan famili ibu kandung beliau demi memperoleh tempat pijakan. Setelah Abuya Muda Waly berpisah dengan isteri keduanya Hj. Rabi’ah Jamil, yang dikarenakan oleh masuknya Jepang ke Aceh sehingga beliau tidak bisa kembali ke Minangkabau, maka ia pun menceraikan Rabi’ah. Setelah itu demi menghadapi tugas Ahlussunnah wal Jamaah di Aceh Barat beliau menikahi salah seorang perempuan muda Teunom sebagai gantinya.
Upaya Muda Waly untuk menyebarluaskan Thariqat Naqsyabandiyah berjalan seiring dengan aktivitas politiknya dan di sini sulit untuk mengetahui apakah yang satu merupakan tujuan utama dan yang lainnya hanya sebagai alat. Yang pasti, thariqat itu menyediakan baginya jaringan PERTI yang lebih mudah. Tgk. Adnan Mahmud dari Bakongan, Tgk. H. Qamaruddin Lailon, Tgk. Jailani Musa, serta Tgk. H. Ja’far Lailon sebagai khalifahnya di Aceh Selatan, khalifah yang lain termasuk putra mursyidnya sendiri H. Abdul Aydarus Ghani di Kampar, namun sebagai penggantinya ia menunjuk putra sulungnya, Muhibuddin Waly yang diberi ijazah mursyid oleh gurunya sendiri Syeikh H. Abdul Ghani di Kampar.
Sejak wafat Muda Waly pada tahun 1961, putranya Muhibuddin Waly secara formal menjadi yang paling senior di antara mursyid dan khalifah, namun karena ia telah lama berada jauh dari Aceh, maka Abuya Muhibbuddin Waly mengangkat Usman Fauzie menjadi mursyid terkemuka di Aceh Besar dan sekitarnya, demi kepentingan praktis, sudah barang tentu ia merupakan tokoh PERTI terkemuka di Banda Aceh. Sebagai seorang aktivis PERTI, Tgk. T. Usman Fauzie menjadi seorang pendukung PPP ketika semua partai Islam dipaksa untuk berungsi menjadi partai baru tersebut. Namun ketika satu bagian PERTI (kubu Sulaiman Al Rasulli) dengan Prof. Muhibbuddin Waly sebagai salah seorang tokoh terasnya, memisahkan diri dan bergabung dengan Golkar, Usman Fauzi dengan setia mengikutinya. Untuk menghadapi Pemilu tahun 1982 Abuya Muhibbuddin Waly berdua dengan Usman Fauzie berkampanye atas nama Golkar, hal yang menimbulkan reaksi negatif yang tidak sedikit. Banyak orang tua menarik pulang anak-anak mereka dari Dayah Tgk. Usman Fauzi dan mengirim mereka ke tempat lain. Tetapi murid Naqsyabandi, tentu saja tetap setia. Secara kebetulan Abuya Muhibbuddin Waly telah menjelaskan dukungannya kepada Golkar dan bukan kepada PPP dengan menggunakan istilah-istilah yang dapat dipahami oleh kaum muslimin tradisional.PPP sebenarnya dikuasai oleh kaum modernis yang lebih merupakan ancaman bagi amalan-amalan kita dan kepercayaan-kepercayaan kita dibandingkan dengan Golkar yang sekular, malahan Tgk. T. Usman Fauzi menjelaskan secara lebih sederhana.
Di dayah Tgk. T. Usman Fauzi di Lueng Ie dilaksanakan dua pertemuan zikir berjamaah setiap pekan. Satu untuk laki-lakidan satu untuk perempuan. Keduanya antara shalat Isya dan tengah malam. Sekitar 150 murid secara teratur mengikuti pertemuan-pertemuan ini. Jumlah murid yang datang bersuluk jauh lebih banyak, yang semuanya sudah berusia di atas 50 tahun dan yang terbanyak dari kaum wanita. Kebanyakan atau semuanya dari mereka adalah petani.
Di pesisir utara Aceh suluk sungguhnya tidak pernah menjadi populer, tetapi di pesisir barat khususnya di bagian paling selatan (Aceh Selatan dan Aceh Tenggara) suluk merupakan aspek yang tidak dapat dipisahkan dari budaya keagamaan setempat. Cukup banyak penduduk berusia tua dari desa-desa pegunungan yang melakukan perjalanan beberapa kali dalam hidupnya, selanjutnya begitu selesai panen, ke Dayah di Labuhan Haji, Dayah Tanoh Anoe yang dipimpin oleh Abu Qamaruddin, Dayah Ujong Kalak Meulaboh yang dipimpin oleh Abu Abdul Hamid Kota Meulaboh, Dayah Lama Inong Aceh Selatan yang dipimpin oleh Abu Ja’far Lailon, dan dayah lainnya di Kluet Utara untuk melaksanakan suluk, meskipun hanya tiga hari atau beberapa hari saja.
Baik Abuya Muda Waly maupun putranya Prof. Muhibbuddin Waly telah memperkaya kepustakaan tasawuf Indonesia dengan satu-satunya karya sang ayah menulis dua risalah pendek mengenai Thariqat Naqsyabandiyah (dalam bahasa Melayu) dan Obat Hati, Nadham Munajat yang diberkati At-Thariqat Al-Naqsyabandiyah (teks amalan dalam bahasa Arab disertai terjemahan bahasa Acehnya, keduanya digubah dalam bentuk syair), dua karya lain yang diterbitkan merupakan kumpulan fatwa tentang berbagai masalah (Al-Fatwa) dan sebuah kitab mengenai Doktrin dan amalan sufi, Tanwir al-anwar fi izhar khalal ma-fi kasyf al-anrar, keduanya dalam bahasa Melayu.
DR. Muhibbuddin Waly menyunting risalah ayahnya mengenai zikir dan menerbitkan empat jilid syarah karya Ibn ‘Atha’illah, Hikam : Hakikat Hikmah Tauhid dan Tasawuf dan sebuah kitab mengenai perkembangan hukum Islam, Penggalian Hukum Islam dari Masa ke Masa.  

IV.             Karamah-karamah Abuya Muda Waly
Saya pernah mengumpulkan sejumlah karamah ulama Aceh, namun sayang sekali naskah buku tersebut hanyut dibawa tsunami ahad, 25 Desember 2004 lalu. Dalam buku tersebut saya menyebutkan beberapa karamah Maulana Syeikh Muda Waly, antara lain :
1.      Datangnya kerikil putih kepantai Labuhan Haji dekat dengan dayah sehingga lapangan dayah tawajuh dan sekitarnya diratakan dengan batu-batu kerikil itu.
2.      Do’a diterima Allah
3.      Prediksinya tentang DI/TII benar
4.      Keputusan Musyawarah para Ulama se-Indonesia yang difatwakan oleh beliau dengan Rais ‘Am NU K.H. Abdul Wahab Hasbullah, bahwa presiden Soekarno dan wakil presiden Mohd. Hatta adalah ulil amri adh-dharuri bisy syaukah. Maka tidak boleh berontak kepada pemimpin negara.
5.      Sukses mendidik anak dan para muridnya menjadi ulama besar
6.      Soekarno akan jatuh dari kekuasaan
7.      Berjumpa Lailatur Qadr (1960).

V.                Sulthan Ulama Aceh
Dari uraian ringkas di atas, saya sangat ingin memanggil beliau sebagai “Sulthan Ulama Aceh” dan Mujaddid besar abad ke-20 untuk Indonesia, khususnya Sumatera. Maksudnya dialah ulama Aceh yang paling besar pengaruhnya dalam bidang agama, politik dan khazanah kesufian di Aceh paruh abad 14 H. saya juga berpendapat, pengaruh beliau semakin kuat dalam abad ke-15 H ini. Para murid dan para murid beliau kini giat mengembangkan thariqat Naqsyabandiyah Al-Waliyyah di seluruh Melayu Raya.

VI.             Khatimah

Saat-saat kita bisa berkumpul seperti ini, alangkah indah apabila kita dapat membaca sekali seorang Ummul Qur’an, kemudian kita berdo’a kepada Allah yarham agar Allah SWT memberi tampat yang terbaik di sisi-Nya. Tiada kata yang lebih indah kecuali doa yang diajarkan oleh Baginda Nabi SAW : Allahummaghfirlahu warhamhu …

Tidak ada komentar:

Posting Komentar