PENDAHULUAN
1.1 Darussalam
dan Labuhanhaji
Naksu
ke malem jak Labuhan Haji,
Naksu
meutani u Nilam Jaya.
Naksu
meudagang jak u Blang Pidie,
Naksu
ke campli u Kuta Faja.
Demikianlah kira-kira salah satu bait lagu Aceh berjudul Aceh
Selatan. Lagu tersebut digubah sekaligus dinyanyikan salah seorang penyanyi
kondang Syah Luthan.
Bait tersebut berarti jika mau jadi orang alim (ulama) pergilah
belajar di Dayah (Pesantren) Darussalam Kecamatan Labuhan Haji, Aceh Selatan.
Dan bila mau bertani pergilah ke Nilam Jaya salah satu daerah sentra pertanian
di Aceh Selatan (sekarang masuk wilayah Abdya).
Kalau mau berdagang (jualan) pergilah ke Blang Pidie (ibukota
Abdya). Jika ingin menanam atau membeli cabai, datanglah ke daerah Kota Fajar,
ibukota Kluet Utara, sekitar 35 kilometer dari Tapaktuan ke jurusan Medan,
hanya satu kilometer dari jalan Negara.
Begitulah kesohornya pusat pendidikan Islam di Dayah Darussalam,
Labuhan Haji. Ternyata dari dulu dikenal sebagai pusat pengajian tertua di
Nanggroe Aceh Darussalam. Dayah yang didirikan sebelum Indonesia merdeka itu,
hingga saat ini masih hidup lestari membina dan membimbing umat. Malah hampir
semua ulama pendiri dan pimpinan dayah di Serambi Mekkah saat ini, merupakan
alumni dayah Darussalam.
Sementara dayah lainnya yang berdiri sebelum dan sesudahnya sebagian
besar hanya tinggal kenangan, mengikuti pimpinannya yang menghadap Sang Khalik.
Tetapi Darussalam kelihatannya masih eksis hingga saat ini dan diharapkan terus
berjaya hingga akhir zaman kelak sebagaimana yang diharapkan pendirinya.
Salah satu penyebab kesohornya nama Labuhan Haji tentunya disebabkan
megahnya Dayah Darussalam. Karena santri-santrinya yang dating menuntut ilmu
dari berbagai daerah di tanah air dan malah dari ASEAN. Buktinya ada sejumlah
murid Syech Muda Waly telah membuka pengajian di Malasyia dan Phatani
(Thailand).
Dari itu maka tidaklah heran bahwa jika Labuhan Haji dan Dayah
Darussalam sepertinya tidak bisa dipisahkan dan bagaikan dua sisi mata uang.
Ketika orang menyebutkan Labuhan Haji, langsung terbayang di sana ada sebuah
pusat pengajian agama Islam terkenal bernama Darussalam, didirikan seorang
ulama besar bernama Syech H. Muda Waly.
1.2 Sekilas Tentang Kehidupan Syech Muda Waly
Siapa sebenarnya Syech Muda Waly? Beliau lahir di Blang Poroh, pada tahun
1917. Persis di lokasi Dayah Darussalam sekarang. Beliau adalah putra bungsu
dari empat bersaudara dari pasangan Tgk. Syech H. Muhammad Salim Bin Tgk. Malem
Palito, berasal dari Batu Sangkar Sumatera Barat. Ibunya bernama Janadat Binti
Keuchik Nyak Ujud, berasal dari Desa Kota Palak Kecamatan Labuhanhaji.
Nama kecilnya semula dipanggil Angku Mudo atau Teungku Muda atau
Muhammad Waly. Para murid dan santri atau masyarakat umum lainnya memanggilnya
dengan sebutan Abuya atau Buya yang artinya tidak lain adalah guru.
Namun setelah belajar agama di berbagai perguruan tinggi Islam termasuk di
Mekkah, Arab Saudi, nama lengkapnya menjadi Tgk. Syech H. Muhammad Waly Al-Khalidy.
Menelusuri jejak dan liku-liku perjalanan dan perjuangan Syech Muda Waly,
menurut penulis begitu unik dan spesifik. Sehingga perlu disimak untuk menjadi
pedoman maupun perbandingan bagi generasi muda khususnya para mahasiswa atau
santri yang sedang memperdalam ilmu pengetahuan.
Betapa tidak, hanya dalam usia kurang dari setengah abad, Syech Muda Waly
berhasil meletakkan dasar-dasar pengembangan ajaran Islam yang benar, sesuai
dengan sunnah Rasulullah SAW, ketika menerima wahyu melalui malaikat Jibril.
Saat itu Jibril mengajarkan kepada kita melalui Rasul menyangkut tentang
Islam, Iman, dn Ihksan. Ikhsan adalah menyangkut akhlak kita terhadap Allah SWT
dan sesame manusia, lebih dikenal dengan sebutan tasawuf.
Pengertian dasarnya tidak lain adalah ketika kita melaksanakan ibadah
misalnya, seolah-olah kita melihat Allah dan jika tidak mampu, ketahuilah bahwa
kita senantiasa dilihat dan diawasi Allah SWT.
Sedangkan Islam sebagaimana kita ketahui menyangkut pengamalan dan
kewajiban sebagai muslim seperti rukun Islam yang lima serta iman yaitu
pengamalan rukun iman, sebagaimana diuraikan Abuya Prof. Muhibbuddin Waly dalam
Al-Hikam, Hakikat Hikmah Tauhid dan Tasawuf.
Dari dasar inilah, ulama kharismatik itu begitu teguh, kukuh dan
istiqamah mengimplementasikan ketiga macam ilmu tersebut sesuai dengan sunnah
Nabi. Yaitu menyangkut ubudiyah atau ibadah (bidang syariat), berpedoman kepada
mazhab Syafi’i, dalam aqidah tunduk kepada paham I’tiqad Ahlussunnah wal jamaah
(lebih popular Sunny-red), serta komit
dan konsisten mengamalkan thariqat Naqsyabandiyah dalam bidang tasawuf.
Kekukuhan pendiriannya itulah membuatnya tidak sungkan-sungkan menulis
namanya dengan sebutan Tgk. Syech H. Muda Waly As Syafi’ie Al Asy’ary Al
Khalidy. Maksudnya Syech Muda Waly adalah penganut mazhab Syafi’i dan paham
ahlussunnah wal jamaah dengan berthariqat Al-Khalidy An-Naqsyabandy.
Kh. Sirajuddin Abbas dalam bukunya Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi’i
(1986), mengatakan, Syech Muda Waly sangat kukuh dan giat menyebarluaskan dan
mempertahankan agama dalam mazhab Syafi’i dan faham Ahlussunnah Wal Jamaah
(sunny).
Makanya tidaklah heran bahwa Syech Muda Waly bukan hanya komit dan
konsisten mengamalkan ketiga macam ilmu di atas, melainkan justeru menerapkan
kepada umat dan murid-muridnya secara serempak atau sekaligus.
Karenanya sangat sulit membedakan keahlian beliau sebenarnya dari ketiga
cabang ilmu tersebut. Barangkali inilah salah satu keunikan Syech Muda Waly dan
jarang dimiliki oleh ulama lain yang cenderung menguasai salah satu cabang ilmu
tertentu secara spesifik.
Kemenonjolan Syech Muda Waly, ternyata memang bukan hanya dalam bidang
agama, melainkan juga dalam bidang politik dan idiologi Negara. Dalam bidang
politik misalnya, beliau memiliki rasa nasionalisme yang sangat tinggi, hingga
membuat banyak orang menyebutnya sebagai politikus kawakan.
Indikasinya, selain sebagai pelopor Partai Islam (PI) Persatuan Tarbiyah
Islamiah (PERTI) yang dibentuk tanggal 28 April 1942 dan menang dalam Pemilu di
pantai barat selatan. Sebab PERTI sejak saat itu identik dengan amaliah dan
aqidah ahlussunnah waljamaah.
Demikian pula ketika meletusnya pemberontakan DI/TII yang dicetuskan
mantan Gubernur Aceh, Langkat dan Tanah Karo Tgk. Muhammad Daud Beureueh tahun
1953, Muda Waly termasuk salah satu tokoh ulama yang menentangnya. Meski beliau
terkadang kurang setuju dengan kebijakan pemerintah Orde Lama.
Dalam rangka menghadapi kebrutalan pasukan DI/TII yang saat itu
kebanyakan menggunakan senjata api, beliau terpaksa membentuk pasukan bela diri
yang disebut pasukan Peudeung Panyang (pedang panjang) yang terdiri dari
orang-orang yang sakti.
Bahkan beliau diundang ke Cipanas, Bogor (1955) oleh Menteri Agama saat
itu KH. Masykur menghadiri rapat akbar ulama se-Indonesia, beliau setuju
memberi gelar Ulil Amri kepada Presiden Soekarno dengan syarat harus ditambah
dengan adh-dharury bisy-syaukah.
Demikian pula dalam hal demokrasi, beliau senantiasa mengedepankan azas
musyawarah dan mupakar. Meski sesuatu hal itu adakalanya bisa saja dilakukan
melalui perintah atau intruksi secara absolute. Dari itu pula banyak orang
menggelarnya sebagai democrat tulen.
Begitulah antara lain keistimewaan Syech Muda Waly. Berikut ini akan
dipaparkan secara ringkas beberapa persoalan
yang penulis anggap penting. Di antaranya menyangkut riwayat pendidikannya,
mereformasi dayah atau ponpes, kegiatan dakwah dan muzakarah serta pengaruh dan
popularitasnya hingga menjadi Ulama Besar Abad ke-20.
BAB II
KIPRAH PERJUANGAN
2.1 Riwayat
Pendidikan
Sejak kecil Muda Waly terkenal paling pintar dan cerdas. Sehingga cara
belajarnya bagaikan batu loncatan dari satu dayah ked ayah lainnya. Sebelum
menyelesaikanVervold School di Kuta Trieng, masih dalam kawasan Kecamatan
Labuhanhaji, Muda Waly juga belajar di pesntren Jam’iyah Al Khairiyah, sebagai
satu-satunya pesantren di daerah Pasar Lama (Kedai Lhok) Labuhanhaji.
Kemudian belajar di Ponpes Bustanul Huda Blang Pidie di bawah asuhan
Syech H. M. Mahmud atau lebih popular dengan panggilan Abu Syech Mud. Tiga
tahun kemudian beliau berangkat ke Kuta Raja (Banda Aceh) untuk melanjutkan
pengajiannya di Dayah Abu Krueng Kalee dan Abu Hasballah Indrapuri Aceh Besar
sekitar tahun 1933.
Selanjutnya Muda Waly dikirim ke Normal Islam di Padang oleh Aceh Studi
Fond saat itu. Namun hanya bertahan sekitar tiga bulan saja, karena terjadi
perbedaan paham dengan pimpinan Normal Islam yang saat itu dijabat oleh H.
Mahmud Yunus. Di mana pengajarannya lebih banyak pelajaran umum ketimbang agama
serta persoalan pakaian yang diharuskan menggunakan dasi dan celana panjang.
Akhirnya Muda Waly melanglang buana dengan berdakwah keliling dan mengaji
di pesantren lainnya, seperti Dayah Syech Mohd. Jamil Joho di Padang Panjang
serta berguru thariqat kepada Syech Abdul Ghani Kampary, di Batu Basurek,
Bangkinang, Riau.
Sebelum kembali ke tanah kelahirannya, beliau lebih dulu pergi belajar di
Mekkah pada Syech Al-Maliki serta membantu pengajian di Padang sambil berdakwah
termasuk melakukan seminar agama (baca debat) dengan tokoh agama Islam lainnya,
menyangkut hukum agama (syari’at), aqidah maupun persoalan tasawuf.
2.2 Reformasi
Dayah/Pesantren
Memasuki komplek Darussalam, kecamatan pemekaran Labuhanhaji Barat,
Kabupaten Aceh Selatan, kita merasa kagum dan penuh syukur. Sebab identitas dan
suasana islami terasa begitu kental, sejak sebelum pemberlakuan syariat islam
di Nanggroe Aceh Darussalam. Mulai dari gaya bangunan, sampai cara berpakaian
dan pola tingkah santrinya yang santun.
Inilah komplek Dayah yang didirikan Teungku Syech Muda Waly pada tahun
1941. dalam sejarah pendiriannya, Darussalam merupakan cikal bakal pusat
pengajian yang dirintis orang tuanya (angku tuwo) Tgk. Syech H. Muhammad Salim,
yang memusatkan pengajiannya di Masjid Blang Poroh pada tahun 1925.
Martin van Bruinessen, dalam bukunya Tarekat Naqsyabandiyah di
Indonesia (1992 : 144) mengatakan Muda Waly kembali ke Aceh Selatan pada
awal-awal tahun 1940-an dan mendirikan dayahnya di Labuhanhaji. Setelah
Indonesia merdeka, ia menjadi penggerak di balik perkembangan PERTI di Aceh.
2.3
Bahkan dalam sebuah seminar Sejarah Dan Kebudayaan Aceh Selatan yang
berlangsung di Tapaktuan 14-16 Mei 1989, yang dihadiri oleh sejumlah pakar di
antaranya Prof. Ali Hasymi dan Prof. Dr. Ismail Sunny terungkaplah pengaruh
Syech Muda Waly ternyata telah mendunia sebagaimana Syech Abdurrauf As-Singkili
(Syiah Kuala) dalam abad ke-17.
Kalau Syiah Kuala dinobatkan sebagai ulama besar abad ke-17, maka
Syech Muda Waly merupakan ulama besar abad ke-20. sebab popularitas dan
pengaruhnya hingga ke mancanegara khususnya Eropa. Indikasinya sejumlah
kitabnya kini tersimpan di Perpustakaan Inggris di London dan Bon (Jerman)
serta Negara ASEAN lainnya.
Ulama kharismatik ini adalah penganut mazhab Syafi'ie dalam syariat
dan berpegang teguh pada paham ahlussunnah wal jamaah (lebih popular istilah
sunny-red) dalam aqidah serta thariqat Naqsyabandi dalam tasawuf.
Panggilan Abuya atau Buya artinya tidak lain adalah guru. Namun
setelah belajar agama di berbagai perguruan Islam termasuk di Mekkah, Arab
Saudi, nama lengkapnya menjadi Tgk. Syech H. Muhammad Waly Al-Khalidy.
Sejak dari kecil Muda Waly terkenal paling pintar dan cerdas.
Sehingga cara belajarnya bagaikan batu loncatan dari satu dayah ke dayah
lainnya. Sebelum menyelesaikan Vervold School di Kuta Trieng, masih dalam
Kecamatan Labuhan haji, Muda Waly juga belajar di Pesantren Jam'iyah
Alkhairiyah sebagai satu-satunya pesantren yang baru dibuka di daera Pasar Lama
Labuhan Haji.
Kemudian belajar di Bustanul Huda Blang Pidie di bawah asuhan Syech
H. M. Mahmud atau lebih popular dengan panggilan Abu Syech Mud. Tiga tahun
kemudian berangkat ke Kutaraja (Banda Aceh) untuk melanjutkan pengajiannya di
Dayah Abu Krueng Kalee dan Abu Hasballah Indrapuri Aceh Besar sekitar 1933.
Selanjutnya Muda Waly dikirim ke Normal Islam di Padang oleh Aceh
Studi Fond saat itu. Namun hanya bertahan sekitar tiga bulan, karena terjadi
perbedaan paham dengan pimpinan Normal Islam yang saat itu dijabat H. Mahmud
Yunus, Muda Waly melanglang buana dengan berdakwah dan mengaji di Pesantren
lainnya seperti Dayah Syech Jamil Joho di Padang Panjang serta berguru thariqat
pada Syech Abdul Ghani Kampary, di Batu Basurek, Bengkinang Riau.
Sebelum kembali ke tanah kelahirannya beliau lebih dahulu pergi
belajar di Mekkah pada Syech Al-Maliki serta membantu pengajian di Padang
sambil berdakwah termasuk melakukan seminar agama (baca debat) dengan tokoh
agama Islam lainnya menyangkut hukum syariat, aqidah maupun tasawuf.
Kekukuhan pendiriannya itulah membuat Muda Waly tidak sungkan
menulis namanya dengan sebutan Tgk. Syech H. Muda Waly-As Syafi'ie, Al Asy'ary,
Al-Khalidy (Syech Muda Waly penganut mazhab Syafi'ie dan faham Ahlussunnah wal
jamaah dengan thariqat Al-Khalidy An Naqsyabandy.
Dari itu, maka tidaklah heran bahwa jika Labuhan Haji dan Dayah
Darussalam sepertinya tak bisa dipisahkan dan bagaikan dua sisi mata uang.
Ketika orang menyebutkan Labuhan Haji, langsung terbayang di sana ada sebuah
pusat pengajian agama Islam terkenal bernama Darussalam, didirikan sesorang
ulama besar bernama Syech H. Muda Waly.
System pembelajarannya termasuk modern dengan fasilitas dan cara
belajarnya menggunakan gedung sekolah lengkap dengan mobilernya, mulai dari
tingkat Ibtidaiyah sampai Aliyah. Meski tidak dipadukan antara pelajaran agama
dan umum karena lebih mengutamakan kitab agama, yang banyak diajarkan did
ayah-dayah tradisional.
Sebagaimana digambarkan Sayed Mudhahar Ahmad, Ketika Pala Berbunga,
Muda Waly merupakan tokoh pertama
memodernkan dayah di Aceh, melalui system belajar bersila di lantai berubah ke
system bangku belajar di gedung sekolah, sebagaimana berlaku di sekolah-sekolah
umum.
Kilas
Balik
Memasuki komplek Darussalam, kini tergolong dalam Kecamatan
pemekaran Labuhan Haji barat, Kabupaten Aceh Selatan kita merasa kagum dan
penuh syukur. Sebab identitas dan suasana islami terasa begitu kental, sejak
sebelum pemberlakuan syariat islam di bumi Nanggroe Aceh Darussalam. Mulai dari
gaya bangunan, sampai cara berpakaian dan pola tingkah santrinya yang santun.
Inilah komplek dayah yang didirikan Teungku Syech Muda Waly pada
tahun 1941. dalam sejarah pendiriannya, Darussalam merupakan cikal bakal pusat
pengajian yang dirintis orang tuanya (Angku Tuwo) Tgk. Syech H. Muhammad Salim
yang memusatkan pengajiannya di Mesjid Blang Poroh pada tahun 1925.
Nama pesantren Darussalam ini berfungsi sebagai Fil Manbail Ilmu Wal
Hikam. Bagian tertingginya adalah beliau namakan Bustanul Muhaqqiqin (kebun
bagi orang-orang yang memperdalam ilmu pengetahuan). Dayah ini berdiri atas
tanah seluas 1.000 meter persegi.
Siapa Syech Muda Waly? Lahir di Blang Poroh, pada tahun 1917. Persis
di lokasi Dayah Darussalam sekarang. Beliau putra bungsu empat bersaudara dari
pasangan Tgk. Syech H. Muhammad Salim bin Tgk. Malem Palito, berasal dari Batu
Sangkar Sumatera Barat. Ibunya bernama Janadat binti Keuchik Nyak Ujuk, berasal
dari desa Kota Palak Labuhan Haji. Nama kecilnya Angku Mudo atau Teungku Muda
atau Muhammad Waly.
Bukan hanya melalui dakwah dan seminar, dalam rangka menegakkan
syariat dan memberantas syirik maupun khurafat, beliau menentang setiap
pemujaan dengan cara berdakwah bil hal. Artinya dengan perbuatan langsung
seperti memecah batu besar yang telah lama dipuja penduduk di daerah Singkil.
Demikian pula di Aceh Barat, beliau juga memotong sebatang pohon
kayu besar (batang tingkem) yang telah dipuja penduduk beberapa tahun lamanya.
Sebelumnya tak ada orang berani memotongnya termasuk para normal karena takut
kepada kekuatan ghaib maupun orang halus yang dipujanya.
Dalam bidang politik, beliau memiliki rasa nasionalisme yang sangat
tinggi. Buktinya beliau termasuk salah satu tokoh ulama yang menentang gerakan
DI/TII, meski beliau terkadang kurang setuju dengan kebijaka pemerintah orde
lama.
Untuk menghadapi pasukan DI/TII saat itu yang kebanyakan menggunakan
senjata api, beliau membentuk pasukan bela diri yang disebut pasukan peudeng
panyang (pedang panjang), termasuk pengawalnya merupakan orang-orang saksi.
Beberapa tahun kemudian beliau membentuk Parta Islam (PI) Perti dan
lewat Pemilu partai ini menang di Aceh Selatan dan Aceh Barat. Dalam suatu
rapat besar Ulama se-Indonesia di Cipanas Bogor (1955) beliau diundang oleh
Menteri K.H. Masykur dan rapat tersebut dibuka secara resmi oleh Presiden
pertama Ir. Soekarno.
Salah satu agenda rapat besar tersebut adalah rancangan memberi
gelar Ulil Amri kepada presiden Soekarno. Beliau satu-satunya ulama yang
menyetujui pemberian gelar tersebut dengan syarat harus ditambah dengan
adh-dharury-bisy-syaukah dan akhirnya mendapat dukungan penuh dari seluruh
peserta.
Aboe Bakar Atjeh dalam bukunya Perbandingan Mazhab Ahlussunnah wal
Jamaah (Keyakinan dan I'tiqad), menyebutkan usaha Perti dalam pendidikan sampai
kini telah membangun 35.000 sekolah agama Islam tersiat luas di Sumatera dan
lainnya.
"Yang terbanyak muridnya adalah di Tanjung (Bukit Tinggi) dan
Darussalam Tapaktuan Aceh Selatan, di Joho Padang Panjang dan lain-lain. Pada
setiap sekolah itu murid beratus-ratus, di Darussalam (Labuhanhaji) sampai 500
orang." Demikian Aboebakar Atjeh.
Sebelum berpulang ke rahmatullah pada 28 Maret 1961, bertepatan
dengan 11 Syawal 1381 H dalam usia 44 tahun dengan meninggalkan 19 orang anak
dan lima isteri. Satu di antaranya cerai sebelum menikahi istri kelimanya.
Beliau dimakamkan di tengah komplek Dayah dan hingga kini setiap harinya, ratusan
bahkan ribuan warga berdatangan menziarahinya.
Sejumlah kitab karangannya yang kini menjadi pelajaran did
ayah-dayah di antaranya Al-Patawa (Patwa Agama), Tanwirul Abwar (Aqidah),
Tuhfatul Muhtaj (Fiqh) serta beberapa kitab tasawuf lainnya.
Zamzamy Surya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar