Rabu, 24 September 2014

SYAIKH MUDA WALY AL-KHALIDI LABUHAN HAJI




BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Darussalam dan Labuhanhaji
Naksu ke malem jak Labuhan Haji,
Naksu meutani u Nilam Jaya.
Naksu meudagang jak u Blang Pidie,
Naksu ke campli u Kuta Faja.

Demikianlah kira-kira salah satu bait lagu Aceh berjudul Aceh Selatan. Lagu tersebut digubah sekaligus dinyanyikan salah seorang penyanyi kondang Syah Luthan.
Bait tersebut berarti jika mau jadi orang alim (ulama) pergilah belajar di Dayah (Pesantren) Darussalam Kecamatan Labuhan Haji, Aceh Selatan. Dan bila mau bertani pergilah ke Nilam Jaya salah satu daerah sentra pertanian di Aceh Selatan (sekarang masuk wilayah Abdya).
Kalau mau berdagang (jualan) pergilah ke Blang Pidie (ibukota Abdya). Jika ingin menanam atau membeli cabai, datanglah ke daerah Kota Fajar, ibukota Kluet Utara, sekitar 35 kilometer dari Tapaktuan ke jurusan Medan, hanya satu kilometer dari jalan Negara.
Begitulah kesohornya pusat pendidikan Islam di Dayah Darussalam, Labuhan Haji. Ternyata dari dulu dikenal sebagai pusat pengajian tertua di Nanggroe Aceh Darussalam. Dayah yang didirikan sebelum Indonesia merdeka itu, hingga saat ini masih hidup lestari membina dan membimbing umat. Malah hampir semua ulama pendiri dan pimpinan dayah di Serambi Mekkah saat ini, merupakan alumni dayah Darussalam.
Sementara dayah lainnya yang berdiri sebelum dan sesudahnya sebagian besar hanya tinggal kenangan, mengikuti pimpinannya yang menghadap Sang Khalik. Tetapi Darussalam kelihatannya masih eksis hingga saat ini dan diharapkan terus berjaya hingga akhir zaman kelak sebagaimana yang diharapkan pendirinya.
Salah satu penyebab kesohornya nama Labuhan Haji tentunya disebabkan megahnya Dayah Darussalam. Karena santri-santrinya yang dating menuntut ilmu dari berbagai daerah di tanah air dan malah dari ASEAN. Buktinya ada sejumlah murid Syech Muda Waly telah membuka pengajian di Malasyia dan Phatani (Thailand).
Dari itu maka tidaklah heran bahwa jika Labuhan Haji dan Dayah Darussalam sepertinya tidak bisa dipisahkan dan bagaikan dua sisi mata uang. Ketika orang menyebutkan Labuhan Haji, langsung terbayang di sana ada sebuah pusat pengajian agama Islam terkenal bernama Darussalam, didirikan seorang ulama besar bernama Syech H. Muda Waly.

1.2   Sekilas Tentang Kehidupan Syech Muda Waly
Siapa sebenarnya Syech Muda Waly? Beliau lahir di Blang Poroh, pada tahun 1917. Persis di lokasi Dayah Darussalam sekarang. Beliau adalah putra bungsu dari empat bersaudara dari pasangan Tgk. Syech H. Muhammad Salim Bin Tgk. Malem Palito, berasal dari Batu Sangkar Sumatera Barat. Ibunya bernama Janadat Binti Keuchik Nyak Ujud, berasal dari Desa Kota Palak Kecamatan Labuhanhaji.
Nama kecilnya semula dipanggil Angku Mudo atau Teungku Muda atau Muhammad Waly. Para murid dan santri atau masyarakat umum lainnya memanggilnya dengan sebutan Abuya atau Buya yang artinya tidak lain adalah guru. Namun setelah belajar agama di berbagai perguruan tinggi Islam termasuk di Mekkah, Arab Saudi, nama lengkapnya menjadi Tgk. Syech H. Muhammad Waly Al-Khalidy.
Menelusuri jejak dan liku-liku perjalanan dan perjuangan Syech Muda Waly, menurut penulis begitu unik dan spesifik. Sehingga perlu disimak untuk menjadi pedoman maupun perbandingan bagi generasi muda khususnya para mahasiswa atau santri yang sedang memperdalam ilmu pengetahuan.
Betapa tidak, hanya dalam usia kurang dari setengah abad, Syech Muda Waly berhasil meletakkan dasar-dasar pengembangan ajaran Islam yang benar, sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW, ketika menerima wahyu melalui malaikat Jibril.
Saat itu Jibril mengajarkan kepada kita melalui Rasul menyangkut tentang Islam, Iman, dn Ihksan. Ikhsan adalah menyangkut akhlak kita terhadap Allah SWT dan sesame manusia, lebih dikenal dengan sebutan tasawuf.
Pengertian dasarnya tidak lain adalah ketika kita melaksanakan ibadah misalnya, seolah-olah kita melihat Allah dan jika tidak mampu, ketahuilah bahwa kita senantiasa dilihat dan diawasi Allah SWT.
Sedangkan Islam sebagaimana kita ketahui menyangkut pengamalan dan kewajiban sebagai muslim seperti rukun Islam yang lima serta iman yaitu pengamalan rukun iman, sebagaimana diuraikan Abuya Prof. Muhibbuddin Waly dalam Al-Hikam, Hakikat Hikmah Tauhid dan Tasawuf.
Dari dasar inilah, ulama kharismatik itu begitu teguh, kukuh dan istiqamah mengimplementasikan ketiga macam ilmu tersebut sesuai dengan sunnah Nabi. Yaitu menyangkut ubudiyah atau ibadah (bidang syariat), berpedoman kepada mazhab Syafi’i, dalam aqidah tunduk kepada paham I’tiqad Ahlussunnah wal jamaah (lebih popular Sunny-red),  serta komit dan konsisten mengamalkan thariqat Naqsyabandiyah dalam bidang tasawuf.
Kekukuhan pendiriannya itulah membuatnya tidak sungkan-sungkan menulis namanya dengan sebutan Tgk. Syech H. Muda Waly As Syafi’ie Al Asy’ary Al Khalidy. Maksudnya Syech Muda Waly adalah penganut mazhab Syafi’i dan paham ahlussunnah wal jamaah dengan berthariqat Al-Khalidy An-Naqsyabandy.
Kh. Sirajuddin Abbas dalam bukunya Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafi’i (1986), mengatakan, Syech Muda Waly sangat kukuh dan giat menyebarluaskan dan mempertahankan agama dalam mazhab Syafi’i dan faham Ahlussunnah Wal Jamaah (sunny).
Makanya tidaklah heran bahwa Syech Muda Waly bukan hanya komit dan konsisten mengamalkan ketiga macam ilmu di atas, melainkan justeru menerapkan kepada umat dan murid-muridnya secara serempak atau sekaligus.
Karenanya sangat sulit membedakan keahlian beliau sebenarnya dari ketiga cabang ilmu tersebut. Barangkali inilah salah satu keunikan Syech Muda Waly dan jarang dimiliki oleh ulama lain yang cenderung menguasai salah satu cabang ilmu tertentu secara spesifik.
Kemenonjolan Syech Muda Waly, ternyata memang bukan hanya dalam bidang agama, melainkan juga dalam bidang politik dan idiologi Negara. Dalam bidang politik misalnya, beliau memiliki rasa nasionalisme yang sangat tinggi, hingga membuat banyak orang menyebutnya sebagai politikus kawakan.
Indikasinya, selain sebagai pelopor Partai Islam (PI) Persatuan Tarbiyah Islamiah (PERTI) yang dibentuk tanggal 28 April 1942 dan menang dalam Pemilu di pantai barat selatan. Sebab PERTI sejak saat itu identik dengan amaliah dan aqidah ahlussunnah waljamaah.
Demikian pula ketika meletusnya pemberontakan DI/TII yang dicetuskan mantan Gubernur Aceh, Langkat dan Tanah Karo Tgk. Muhammad Daud Beureueh tahun 1953, Muda Waly termasuk salah satu tokoh ulama yang menentangnya. Meski beliau terkadang kurang setuju dengan kebijakan pemerintah Orde Lama.
Dalam rangka menghadapi kebrutalan pasukan DI/TII yang saat itu kebanyakan menggunakan senjata api, beliau terpaksa membentuk pasukan bela diri yang disebut pasukan Peudeung Panyang (pedang panjang) yang terdiri dari orang-orang yang sakti.
Bahkan beliau diundang ke Cipanas, Bogor (1955) oleh Menteri Agama saat itu KH. Masykur menghadiri rapat akbar ulama se-Indonesia, beliau setuju memberi gelar Ulil Amri kepada Presiden Soekarno dengan syarat harus ditambah dengan adh-dharury bisy-syaukah.
Demikian pula dalam hal demokrasi, beliau senantiasa mengedepankan azas musyawarah dan mupakar. Meski sesuatu hal itu adakalanya bisa saja dilakukan melalui perintah atau intruksi secara absolute. Dari itu pula banyak orang menggelarnya sebagai democrat tulen.
Begitulah antara lain keistimewaan Syech Muda Waly. Berikut ini akan dipaparkan secara ringkas beberapa persoalan  yang penulis anggap penting. Di antaranya menyangkut riwayat pendidikannya, mereformasi dayah atau ponpes, kegiatan dakwah dan muzakarah serta pengaruh dan popularitasnya hingga menjadi Ulama Besar Abad ke-20.


BAB II
KIPRAH PERJUANGAN

2.1    Riwayat Pendidikan
Sejak kecil Muda Waly terkenal paling pintar dan cerdas. Sehingga cara belajarnya bagaikan batu loncatan dari satu dayah ked ayah lainnya. Sebelum menyelesaikanVervold School di Kuta Trieng, masih dalam kawasan Kecamatan Labuhanhaji, Muda Waly juga belajar di pesntren Jam’iyah Al Khairiyah, sebagai satu-satunya pesantren di daerah Pasar Lama (Kedai Lhok) Labuhanhaji.
Kemudian belajar di Ponpes Bustanul Huda Blang Pidie di bawah asuhan Syech H. M. Mahmud atau lebih popular dengan panggilan Abu Syech Mud. Tiga tahun kemudian beliau berangkat ke Kuta Raja (Banda Aceh) untuk melanjutkan pengajiannya di Dayah Abu Krueng Kalee dan Abu Hasballah Indrapuri Aceh Besar sekitar tahun 1933.
Selanjutnya Muda Waly dikirim ke Normal Islam di Padang oleh Aceh Studi Fond saat itu. Namun hanya bertahan sekitar tiga bulan saja, karena terjadi perbedaan paham dengan pimpinan Normal Islam yang saat itu dijabat oleh H. Mahmud Yunus. Di mana pengajarannya lebih banyak pelajaran umum ketimbang agama serta persoalan pakaian yang diharuskan menggunakan dasi dan celana panjang.
Akhirnya Muda Waly melanglang buana dengan berdakwah keliling dan mengaji di pesantren lainnya, seperti Dayah Syech Mohd. Jamil Joho di Padang Panjang serta berguru thariqat kepada Syech Abdul Ghani Kampary, di Batu Basurek, Bangkinang, Riau.
Sebelum kembali ke tanah kelahirannya, beliau lebih dulu pergi belajar di Mekkah pada Syech Al-Maliki serta membantu pengajian di Padang sambil berdakwah termasuk melakukan seminar agama (baca debat) dengan tokoh agama Islam lainnya, menyangkut hukum agama (syari’at), aqidah maupun persoalan tasawuf.


2.2    Reformasi Dayah/Pesantren
Memasuki komplek Darussalam, kecamatan pemekaran Labuhanhaji Barat, Kabupaten Aceh Selatan, kita merasa kagum dan penuh syukur. Sebab identitas dan suasana islami terasa begitu kental, sejak sebelum pemberlakuan syariat islam di Nanggroe Aceh Darussalam. Mulai dari gaya bangunan, sampai cara berpakaian dan pola tingkah santrinya yang santun.
Inilah komplek Dayah yang didirikan Teungku Syech Muda Waly pada tahun 1941. dalam sejarah pendiriannya, Darussalam merupakan cikal bakal pusat pengajian yang dirintis orang tuanya (angku tuwo) Tgk. Syech H. Muhammad Salim, yang memusatkan pengajiannya di Masjid Blang Poroh pada tahun 1925.
Martin van Bruinessen, dalam bukunya Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia (1992 : 144) mengatakan Muda Waly kembali ke Aceh Selatan pada awal-awal tahun 1940-an dan mendirikan dayahnya di Labuhanhaji. Setelah Indonesia merdeka, ia menjadi penggerak di balik perkembangan PERTI di Aceh.            
2.3     


 

Bahkan dalam sebuah seminar Sejarah Dan Kebudayaan Aceh Selatan yang berlangsung di Tapaktuan 14-16 Mei 1989, yang dihadiri oleh sejumlah pakar di antaranya Prof. Ali Hasymi dan Prof. Dr. Ismail Sunny terungkaplah pengaruh Syech Muda Waly ternyata telah mendunia sebagaimana Syech Abdurrauf As-Singkili (Syiah Kuala) dalam abad ke-17.
Kalau Syiah Kuala dinobatkan sebagai ulama besar abad ke-17, maka Syech Muda Waly merupakan ulama besar abad ke-20. sebab popularitas dan pengaruhnya hingga ke mancanegara khususnya Eropa. Indikasinya sejumlah kitabnya kini tersimpan di Perpustakaan Inggris di London dan Bon (Jerman) serta Negara ASEAN lainnya.
Ulama kharismatik ini adalah penganut mazhab Syafi'ie dalam syariat dan berpegang teguh pada paham ahlussunnah wal jamaah (lebih popular istilah sunny-red) dalam aqidah serta thariqat Naqsyabandi dalam tasawuf.
Panggilan Abuya atau Buya artinya tidak lain adalah guru. Namun setelah belajar agama di berbagai perguruan Islam termasuk di Mekkah, Arab Saudi, nama lengkapnya menjadi Tgk. Syech H. Muhammad Waly Al-Khalidy.
Sejak dari kecil Muda Waly terkenal paling pintar dan cerdas. Sehingga cara belajarnya bagaikan batu loncatan dari satu dayah ke dayah lainnya. Sebelum menyelesaikan Vervold School di Kuta Trieng, masih dalam Kecamatan Labuhan haji, Muda Waly juga belajar di Pesantren Jam'iyah Alkhairiyah sebagai satu-satunya pesantren yang baru dibuka di daera Pasar Lama Labuhan Haji.
Kemudian belajar di Bustanul Huda Blang Pidie di bawah asuhan Syech H. M. Mahmud atau lebih popular dengan panggilan Abu Syech Mud. Tiga tahun kemudian berangkat ke Kutaraja (Banda Aceh) untuk melanjutkan pengajiannya di Dayah Abu Krueng Kalee dan Abu Hasballah Indrapuri Aceh Besar sekitar 1933.
Selanjutnya Muda Waly dikirim ke Normal Islam di Padang oleh Aceh Studi Fond saat itu. Namun hanya bertahan sekitar tiga bulan, karena terjadi perbedaan paham dengan pimpinan Normal Islam yang saat itu dijabat H. Mahmud Yunus, Muda Waly melanglang buana dengan berdakwah dan mengaji di Pesantren lainnya seperti Dayah Syech Jamil Joho di Padang Panjang serta berguru thariqat pada Syech Abdul Ghani Kampary, di Batu Basurek, Bengkinang Riau.
Sebelum kembali ke tanah kelahirannya beliau lebih dahulu pergi belajar di Mekkah pada Syech Al-Maliki serta membantu pengajian di Padang sambil berdakwah termasuk melakukan seminar agama (baca debat) dengan tokoh agama Islam lainnya menyangkut hukum syariat, aqidah maupun tasawuf.
Kekukuhan pendiriannya itulah membuat Muda Waly tidak sungkan menulis namanya dengan sebutan Tgk. Syech H. Muda Waly-As Syafi'ie, Al Asy'ary, Al-Khalidy (Syech Muda Waly penganut mazhab Syafi'ie dan faham Ahlussunnah wal jamaah dengan thariqat Al-Khalidy An Naqsyabandy.
Dari itu, maka tidaklah heran bahwa jika Labuhan Haji dan Dayah Darussalam sepertinya tak bisa dipisahkan dan bagaikan dua sisi mata uang. Ketika orang menyebutkan Labuhan Haji, langsung terbayang di sana ada sebuah pusat pengajian agama Islam terkenal bernama Darussalam, didirikan sesorang ulama besar bernama Syech H. Muda Waly.
System pembelajarannya termasuk modern dengan fasilitas dan cara belajarnya menggunakan gedung sekolah lengkap dengan mobilernya, mulai dari tingkat Ibtidaiyah sampai Aliyah. Meski tidak dipadukan antara pelajaran agama dan umum karena lebih mengutamakan kitab agama, yang banyak diajarkan did ayah-dayah tradisional.
Sebagaimana digambarkan Sayed Mudhahar Ahmad, Ketika Pala Berbunga, Muda Waly merupakan tokoh  pertama memodernkan dayah di Aceh, melalui system belajar bersila di lantai berubah ke system bangku belajar di gedung sekolah, sebagaimana berlaku di sekolah-sekolah umum.

Kilas Balik
Memasuki komplek Darussalam, kini tergolong dalam Kecamatan pemekaran Labuhan Haji barat, Kabupaten Aceh Selatan kita merasa kagum dan penuh syukur. Sebab identitas dan suasana islami terasa begitu kental, sejak sebelum pemberlakuan syariat islam di bumi Nanggroe Aceh Darussalam. Mulai dari gaya bangunan, sampai cara berpakaian dan pola tingkah santrinya yang santun.
Inilah komplek dayah yang didirikan Teungku Syech Muda Waly pada tahun 1941. dalam sejarah pendiriannya, Darussalam merupakan cikal bakal pusat pengajian yang dirintis orang tuanya (Angku Tuwo) Tgk. Syech H. Muhammad Salim yang memusatkan pengajiannya di Mesjid Blang Poroh pada tahun 1925.
Nama pesantren Darussalam ini berfungsi sebagai Fil Manbail Ilmu Wal Hikam. Bagian tertingginya adalah beliau namakan Bustanul Muhaqqiqin (kebun bagi orang-orang yang memperdalam ilmu pengetahuan). Dayah ini berdiri atas tanah seluas 1.000 meter persegi.
Siapa Syech Muda Waly? Lahir di Blang Poroh, pada tahun 1917. Persis di lokasi Dayah Darussalam sekarang. Beliau putra bungsu empat bersaudara dari pasangan Tgk. Syech H. Muhammad Salim bin Tgk. Malem Palito, berasal dari Batu Sangkar Sumatera Barat. Ibunya bernama Janadat binti Keuchik Nyak Ujuk, berasal dari desa Kota Palak Labuhan Haji. Nama kecilnya Angku Mudo atau Teungku Muda atau Muhammad Waly.
Bukan hanya melalui dakwah dan seminar, dalam rangka menegakkan syariat dan memberantas syirik maupun khurafat, beliau menentang setiap pemujaan dengan cara berdakwah bil hal. Artinya dengan perbuatan langsung seperti memecah batu besar yang telah lama dipuja penduduk di daerah Singkil.
Demikian pula di Aceh Barat, beliau juga memotong sebatang pohon kayu besar (batang tingkem) yang telah dipuja penduduk beberapa tahun lamanya. Sebelumnya tak ada orang berani memotongnya termasuk para normal karena takut kepada kekuatan ghaib maupun orang halus yang dipujanya.
Dalam bidang politik, beliau memiliki rasa nasionalisme yang sangat tinggi. Buktinya beliau termasuk salah satu tokoh ulama yang menentang gerakan DI/TII, meski beliau terkadang kurang setuju dengan kebijaka pemerintah orde lama.
Untuk menghadapi pasukan DI/TII saat itu yang kebanyakan menggunakan senjata api, beliau membentuk pasukan bela diri yang disebut pasukan peudeng panyang (pedang panjang), termasuk pengawalnya merupakan orang-orang saksi.
Beberapa tahun kemudian beliau membentuk Parta Islam (PI) Perti dan lewat Pemilu partai ini menang di Aceh Selatan dan Aceh Barat. Dalam suatu rapat besar Ulama se-Indonesia di Cipanas Bogor (1955) beliau diundang oleh Menteri K.H. Masykur dan rapat tersebut dibuka secara resmi oleh Presiden pertama Ir. Soekarno.
Salah satu agenda rapat besar tersebut adalah rancangan memberi gelar Ulil Amri kepada presiden Soekarno. Beliau satu-satunya ulama yang menyetujui pemberian gelar tersebut dengan syarat harus ditambah dengan adh-dharury-bisy-syaukah dan akhirnya mendapat dukungan penuh dari seluruh peserta.
Aboe Bakar Atjeh dalam bukunya Perbandingan Mazhab Ahlussunnah wal Jamaah (Keyakinan dan I'tiqad), menyebutkan usaha Perti dalam pendidikan sampai kini telah membangun 35.000 sekolah agama Islam tersiat luas di Sumatera dan lainnya. 
"Yang terbanyak muridnya adalah di Tanjung (Bukit Tinggi) dan Darussalam Tapaktuan Aceh Selatan, di Joho Padang Panjang dan lain-lain. Pada setiap sekolah itu murid beratus-ratus, di Darussalam (Labuhanhaji) sampai 500 orang." Demikian Aboebakar Atjeh.
Sebelum berpulang ke rahmatullah pada 28 Maret 1961, bertepatan dengan 11 Syawal 1381 H dalam usia 44 tahun dengan meninggalkan 19 orang anak dan lima isteri. Satu di antaranya cerai sebelum menikahi istri kelimanya. Beliau dimakamkan di tengah komplek Dayah dan hingga kini setiap harinya, ratusan bahkan ribuan warga berdatangan menziarahinya.
Sejumlah kitab karangannya yang kini menjadi pelajaran did ayah-dayah di antaranya Al-Patawa (Patwa Agama), Tanwirul Abwar (Aqidah), Tuhfatul Muhtaj (Fiqh) serta beberapa kitab tasawuf lainnya.

Zamzamy Surya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar