Thariqat ini didirikan oleh Muhammad
bin Muhammad Bahaauddin al-Uwaisy al-Bukhaari An Naqsyabandy (Hinduan ‘Arifan,
Bukhara, Uzbekistan 717-791 H/1318-1389 M). beliau seorang tokoh sufi yang
terkenal dan memiliki banyak pengikut di berbagai pelosok dunia Islam. Sebagai
seorang tokoh sufi yang besar, dan pemimpin sebuah thariqat yang mempunyai
banyak pengikut, beliau sangat dihormati dan dicintai, terutama oleh para
muridnya.
Beliau mendapat gelar “Syah”, yang
menunjukkan posisinya yang penting sebagai pemimpin spiritual. Ia merupakan
seorang tokoh yang sangat pandai melukiskan kehidupan yang ghaib-ghaib kepada
para pengikutnya, sehingga ia dikenal dengan nama “Naqsyabandi”,
(naqsyaband=lukisan). Kata awal Al-Uwaisy berhubungan dengan salah seorang
tokoh sufi terkenal di masa sahabat, yaitu Uwaisy Al-Qarni, karena sistem
tasawuf Naqsyabandy menyerupai sistem tasawuf tokoh besar ini. Di samping itu,
menurut suatu riwayat, Naqsyabandy mempunyai hubungan keluarga dengan Uwaisy
Al-Qarni. Karenanya ia juga dikatakan sebagai salah seorang keturunan Uwaisy
Al-Qarni. Adapun kata Al-Bukhaari dinisbahkan dengan Bukhaara, tempat kelahiran
dan wafatnya.
Menurut kitab Jaami’ul Ushul,
Naqsyabandy lahir dari keluarga dan lingkungan sosial yang baik. Kelahirannya
disertai oleh kejadian aneh. Bahkan menurut suatu riwayat, jauh sebelum tiba
waktu kelahirannya, sudah ada tanda-tanda aneh berupa bau harum semerbak di
desa Hinduan. Bau itu tercium ketika Muhammad Baaba Assammasi (w. 740 H/1340
M), seorang wali besar dari Sammas tersebut. Ketika itu As-Syammaasy berkata:
“Bau harum yang kita cium sekarang datang dari seorang laki-laki yang akan
lahir di desa ini.”
Sekitar 3 hari sebelum Naqsyabandy
lahir, wali besar ini kembali menegaskan bahwa bau harum itu semakin semerbak.
Perkataan ini mungkin menunjukkan bahwa tak lama kemudian bayi itu lahir.
Setelah Naqsyabandy lahir, ia segera
dibawa oleh ayahnya kepada Muhammad Baaba As-Syammaasy, yang menerimanya dengan
gembira. As-Syammaasy berkata: “Ini adalah anakku, dan menjadi saksilah kamu
bahwa aku menerimanya.”
Naqsyabandy rajin menuntut ilmu dan
senang menekuni tasawuf. Ia belajar tasawuf kepada Muhammad Baaba As-Syammaasy
ketika ia berusia sekitar 18 tahun. Untuk itu, ia bermukim di Sammas. Ia
belajar di situ sampai gurunya wafat. Sebelum tokoh besar sufi itu wafat, ia
mengangkat Naqsyabandy sebagai khalifahnya. Naqsyabandy sendiri kemudian
bertolak ke Samarqand setelah gurunya meninggal dunia, selanjutnya pulang ke
Bukhara dan menikah di sana. Setelah itu ia pulang ke desa tempat kelahirannya.
Naqsyabandy belajar ilmu thariqat
kepada seorang quthub di Nasaf yaitu pada Amir Sayid Kulal Al-Bukhary (w. 722
H/1371 M). Amir Kulal adalah salah seorang khalifah Muhammad Baaba
As-Syammaasy. Dari Amir Kulal inilah Naqsyabandy memulai silsilah thariqat yang
didirikannya. Amir Kulal menerima thariqat tersebut dari Muhammad Baaba
As-Syammaasy, yang menerimanya dari ‘Aziizan Ali Ar-Romitani (w. 705 H/1306 M
atau 721 H/1321 M), dari Mahmud Anjir Faghnawi (w. 643 H/1245 M atau 670 H/1272 M), dari Arif Riwghary atau Arif
Riukiry (w. 675 H/1259 M), dari Abdul Khaliq Ghujdawany, dari Abu Ya’qub Yusuf
al-Hamadany, dari Abu Fadhl bin Muhammad At-Thusy Al-Farmady, dari Abu Hasan
Ali bin Ja’far Al-Kharqaany, dari Abu Yazid Al-Bisthaamy (188-264 H/2061 M),
dari Imam Ja’far As-Shadiq (w. 148 H), dari Qaasim bin Muhammad Abu Bakar
As-Shiddiiq, dari Salman Al-Farisy, dari Abu Bakar As-Shiddiiq, yang
menerimanya dari Rasulullah SAW. Rasulullah SAW sendiri menurut silsilah ini
mengambil thariqat (dzikir) tersebut dari Jibril, yang menerimanya dari Allah
SWT.
Meskipun tersusun rapih dari
Naqsyabandy sampai kepada Rasulullah SAW, silsilah tersebut tidak terlepas dari
kritik, karena beberapa nama dalam silsilah itu ternyata tidak saling berjumpa
secara fisik. Abu Yazid Al-Bishtaamy tidak berjumpa dengan Imam Ja’far
As-Shaadiq karena ia lahir (188 H) sekitar 40 tahun sesudah wafatnya Kharqaany
juga tidak bertemu dengan Abu Yazid Al-Bhistaamy, sebab ia lahir sesudah Abu
Yazid Al-Bisthaamy.
Kenyataan dari fakta sejarah ini
diakui pengikut thariqat Naqsyabandiyah, tetapi mereka hal itu tidak menjadi
masalah. Menurut mereka thariqat (dzikir) itu diterima melalui pertemua rohani
Ja’far As-Shaadiq dengan Ali Al-Kharqaany ataupun dengan Abu Yazid
Al-Bisthaamy. Bagi kalangan pengikut thariqat, pertemuan semacam ini diakui,
dan tidak menjadi masalah tidak mesti melalui perjumpaan fisik.
Meskpin Naqsyabandy belajar tasawuf
dari Muhammad Baaba, dan thariqat yang diperolehnya dari As-Syammaasy, namun
thariqat Naqsybandiyah tidak persisi sama dengan thariqat As-Syammaasy. Dzikir
thariqat Muhammad Baaba As-Syammaasy diucapkan dengan keras, sementara thariqat
Naqsyabandiyah lebih menyukai dzikir tanpa suara.
Dzikir Naqsyabandiyah sama dengan dzikir thariqat ‘Abdul Khaliq Al-Ghujdawaany (w. 1220), salah seorang
khalifah Abu Ya’qub Yusuf Al-Hammadany (w. 535 H/1140 M). Menurut salah satu
riwayat, ‘Abdul Khaliq Al-Ghujdawaany mengamalkan pendidikan Uwaisy Al-Qarni.
Karena itulah sistem tasawuf Naqsyabandy menyerupai sistem tasawuf Uwaisy
Al-Qarni.
Sekian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar