Tafsir Syari’at
اَعُوْذُ باِللهِ مِنَ
الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
A’udzubillahi minasy-syaitanir-rajiim
Aku berlindung kepada Allah dari godaan
syaitan yang terkutuk
Ulon meulindong bak daya chetan nyang keunong
rajam di jih bak Allah
I seek Allah’s protection from satan the
rejected one.
التجئ الى الله مستجيرا به من الشيطان المطرود
من رحمة الله والخير، لئلا يضرني فى شيئ.
Aku berlindung kepada Allah dari
pada syaitan yang terkutuk dari rahmat Allah dan kebaikan-kebaikan-Nya, semoga
aku tidak diganggu syaitan pada sesuatu apapun saja.
PERINTAH ALLAH AGAR MANUSIA BERLINDUNG
DARI SYAITAN
YANG TERKUTUK
Hal keadaan ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
Syaitan adalah makhluk yang jauh dari rahmat Allah, apakah
makhluk itu manusia, atau jin, atau binatang. Jangankan pada manusia biasa,
pada setiap nabi pun Allah ta’ala menjadikan ada musuhnya berupa
syaitan-syaitan dari berbagai jenis. Inilah makna firman Allah dalam surat 6
Al-An’am ayat 112:
y7Ï9ºxx.ur
$oYù=yèy_
Èe@ä3Ï9
@cÓÉ<tR
#xrßtã
tûüÏÜ»ux©
ħRM}$#
Çd`Éfø9$#ur
ÓÇrqã
öNßgàÒ÷èt/
4n<Î)
<Ù÷èt/
t$ã÷zã
ÉAöqs)ø9$#
#Yráäî
4 öqs9ur
uä!$x©
y7/u
$tB
çnqè=yèsù
( öNèdöxsù
$tBur
crçtIøÿt
ÇÊÊËÈ
Dan demikianlah kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu
musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin,
sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan
yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya
mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka
ada-adakan.
Binatang juga
disebutkan dengan syaitan apabila binatang itu bertingkah dan melawan si
pemiliknya atau sipengendarainya. Terbukti bahwa pada suatu kali Saidina Umar
bin Khattab mengendarai seekor kuda Turki. Waktu saidina umar naik atas kuda
itu, kuda itu membandel dan tidak mau jalan. Lantas beliau memukul kuda itu,
tetapi kuda itu semakin dipukul semakin membandel. Maka Umar berkata:
ماَ حَمَلْتُمُوْنِي إِلاَ عَلىَ شَيْطَانٍ.
Kalian tidak menunggangkan saya selain atas syaitan (maksudnya adalah kuda
yang membandel itu).
Syaitan juga dapat diartikan perusak, penghancur dan pelaku yang
takabbur. Maka apakah syaitan itu makhluk halus atau makhluk kasar seperti
manusia. Manusia bisa disebutkan sebagai syaitan apabila perbuatannya merusak
hal-hal yang berkaitan dengan kemaslahatan manusia lainnya.
PENGERTIAN AL ISTI’AZAH (BERLINDUNG KEPADA ALLAH)
Berlindung
kepada Allah adalah terdiri dari tiga unsur:
1.
Unsur Ilmu, artinya
manusia harus tahu dan sadar bahwa ia adalah makhluk yang lemah tidak dapat
menarik manfaat-manfaat yang bersifat agama dan dunia dan tidak dapat menolak
segala macam rintangan keagamaan dan keduniaan apabila tidak dilindungi oleh
Allah. Unsur ini harus diketahui dan disadari oleh manusia. Sesungguhnya Allah
SWT yang mampu dan kuasa menciptakan sekalian manfaat keagamaan dan keduniaan
serta menolak sekalian kemudharatan agama dan dunia. Kekuasaan yang demikian
tidak ada seorang pun dari makhluknya yang mampu selain hanya Allah. Apabila
hal keadaan ini telah diketahui dan disadari oleh manusia, maka barulah
menyelinap dalam hatinya rasa rendah diri dan terpaksa merendah diri kepada
Yang Maha Kuasa. Sentuhan perasaan yang demikian ini dalam hati manusia
dikatakan dengan:
اَلتَّضَرُّعُ إِلىَ اللهِ تَعَالىَ وَالْخُضُوْعُ
لَهُ.
Yakni merendahkan hati dan perasaan sepenuhnya tunduk
kepada Allah SWT.
Berhasilnya keadaan yang demikian itu dalam hati manusia
akan membawa pengaruh kepada berhasilnya sifat yang lain dalam hati dan sifat
pada lidah manusia. Sifat yang lain dalam hati ialah hati manusia sangat
berkehendak agar ia dipelihara oleh Allah dari segala kerusakan dan bencana
yang bersifat lahiriah dan batiniah dan semoga Allah melimpahkan secara khusus
kebaikan-kebaikan kepadanya. Dengan demikian jadilah ia selaku hamba Allah yang
hatinya senantiasa tunduk dan berhajat kepada-Nya.
Adapun sifat pada lidah dikarenakan keadaan yang telah
menyentuh dalam hatinya itu tentulah ia selaku hamba Allah akan senantiasa
dengan lidahnya memohon bantuan Allah. Itulah yang dimaksudkan dengan arti
lidahnya mohon perlindungan kepada Allah, lantas lidahnya mengucapkan:
اَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ
الرَّجِيْمِ.
Lidahnya
mengucapkan isti’azah, hatinya menghayati dengan ilmunya dan berhajatan pada
perlindungan Allah dibarengi dengan lidahnya yang mengucapkan kalimat al-isti’azah
tadi.
Apabila
hal keadaan di atas telah kita ketahui maka barulah jelas pada kita bahwa rukun
terbesar dalam berlindungnya kita kepada Allah ialah dua macam ilmu pengetahuan
yang tersentuh dalam batin kita yaitu ilmu kita terhadap Allah dan ilmu kita
terhadap diri kita sendiri.
Adapun
ilmu kita terhadap Allah adalah kita mengetahui dengan yakin bahwa Allah ta’ala
mengetahui segala sesuatu, apapun keadaannya. Jika tidak demikian tentulah
Allah tidak mengetahui kita dan segala sesuatu yang kita hadapi. Maka atas
segala ini tentulah mohon perlindungan kita kepada Allah tidak ada artinya (عبثا). Kita juga harus mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas
seluruh hal-hal yang bersifat mungkin apakah itu bersifat nikmat-Nya,
karunia-Nya ataukah itu bersifat azab-Nya. Apabila kita tidak mengetahui hal
keadaan ini tentu bisa saja kita mengira bahwa Allah itu lemah pada menciptakan
kehendak hamba-Nya, maka tentulah tidak ada artinya kita memohon
perlindungan-Nya.
Tak
dapat tidak pula kita mesti mengetahui bahwa Allah itu secara asbsolut adalah
Maha Pemurah dan apabila Allah itu pelit maka tidak ada artinya pula
kita memohon perlindungan dari pada-Nya.
Juga
tak dapat tidak kita mesti mengetahui bahwa tidak ada seorangpun selain hanya
Allah yang dapat membantu kita atas maksud-maksud kita atau cita-cita kita yang
kita berazam untuk memperolehnya. Andainya jika selain Allah juga dapat
membantu kita atas berbagai tujuan yang kita bermaksud untuk memperolehnya,
maka pastilah kegemaran dalam hati kita pada memohon perlindungan Allah lemah
dan lunglai.
Semua
apa yang telah diungkapkan di atas tidaklah sempurna kemantapan qalbu
kita apabila dalam penghayatan batiniah dan lahiriah tidak tertancap aqidah
tauhid yang bersifat absolute terhadap Allah SWT. Tauhid yang mutlak
mendatangkan ilmu dan yakin bahwasanya Yang Maha Pengatur alam ini semuanya
hanya Allah Yang Maha Esa, dan selain dari pada Allah tidak bisa terlepas dari
pada kehendak-Nya dengan segala gerak perbuatan mereka sebagai makhluk Allah.
Dan apabila tidak ada kemantapan yang begini maka tak ada artinya memohon
perlindungan kepada Allah, karena kita masih merasa ada faedahnya selain dari
pada Allah. Maka dengan demikian mantaplah lahiriah dan batiniah kita
bahwasanya manusia selama belum mengenal kemegahan Allah dengan sifat
ketuhanan-Nya dan belum mengenal kehinaan manusia dengan sifat kehambaannya
kepada Allah maka tidak ada artinya mulutnya mengucapkan al-isti’azah.
Apabila
ada sebagian manusia berpendapat tidak perlu dalam mengucapkan al-isti’azah
itu ada penghayatan ilmu kita sebagaimana yang telah diterangkan, bahkan mereka
berpendapat cukup mengucapkan aku berlindung kepada Allah secara garis
besar tetapi penghayatan hatinya kosong sama sekali. Maka pendapat itu adalah
sangat naif dan manusia yang demikian adalah batinnya kosong melompong dari
pada penghayatan ketauhidan. Atas inilah Nabi Ibrahim mengucapkan kata-kata
terhadap ayahnya yang menyembah berhala karena lidahnya memohon pertolongan
berhala selaku Tuhan yang ia percayai, sedangkan hati ayahnya itu kosong dari
pada penghayatan tauhid. Justeru itulah Ibrahim mengucapkan kepada ayahnya
seperti yang telah tersebut dalam kitab suci Al-Qur’an dalam Surat 19 Maryam,
ayat 42:
øÎ) tA$s% ÏmÎ/L{ ÏMt/r'¯»t zNÏ9 ßç7÷ès? $tB w ßìyJó¡t wur çÅÇö7ã wur ÓÍ_øóã y7Ytã $\«øx© ÇÍËÈ
Ingatlah
ketika ia berkata kepada bapaknya; "Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah
sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu
sedikitpun?
Itulah celaan Ibrahim kepada
ayahnya, lidah ayahnya mengucapkan isti’azah kepada tuhannya Namrud tetapi
hatinya tidak ada ilmu seperti yang telah kita ungkapkan di atas.
Adapun pengetahuan manusia terhadap
keadaan dirinya ialah ia harus mantap dan yakin dan mengakui dengan yakin atas
kelemahannya dan keterbatasannya yang mendinding untuk tidak sampai ia kepada
hajatnya dan kemuslihatan dirinya. Apabila hatinya mengetahui segala
kemuslihatan yang ia kehendaki dalam gambarannya dan bilangannya maka akan
kosong belaka apabila ilmu yang demikian itu tidak mantap dan berterusan dalam
penghayatannya. Akan tetapi apabila semua ilmu itu ada dalam hatinya maka
barulah hatinya mendesak permohonannya kepada Yang Maha Kuasa di samping
lidahnya mengucapkan permohonan pula agar semua halangan dan rintangan yang
datangnya dari syaitan semoga tidak berhasil dan ditolak oleh Allah SWT.
Inilah makna kalimah isti’azah:
اَعُوْذُ باِللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ.
Insyaallah unsur yang kedua akan kita lanjutkan pada hari Jum’at
yang akan datang.
KESIMPULAN
Adalah Nabi Muhammad SAW mengucapkan
isti’azah berdasarkan ayat tersebut di atas, walaupun isti’azah antara para
nabi dan hamba-hamba Allah yang shaleh (ash-siddiqin) berbeda antara satu
dengan yang lain.
Inilah
makna firman Allah SWT dalam surat An-Nahl ayat 98:
#sÎ*sù |Nù&ts% tb#uäöà)ø9$# õÏètGó$$sù «!$$Î/ z`ÏB Ç`»sÜø¤±9$# ÉOÅ_§9$# ÇÒÑÈ
“Apabila kamu membaca Al Quran hendaklah kamu
meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.” (Q.S. An-Nahl:
98) [terj. Depag RI]
“Berlindung aku kepada Allah ta’ala daripada
syaitan yang dipertolak daripada rahmat Allah ta’ala.” (Q.S. An-Nahl: 98)
[terj. Syiahkuala]
Ta lakee lindong bak daya chetan
Nyang
keunong rajam di jih bak Allah
Takheunnyan watee tabeut Qur’an
Nyan daya chetan cit ek tateugah
[Tgk. H.
Mahjiddin Jusuf, Terj. Bebas Bersajak Al-Qur’an dalam Bahasa Aceh]
Berdasarkan ayat di atas maka Nabi
dan sebagian para sahabat mengungkapkan perlindungan kepada Allah SWT dalam
berbagai kalimat.
1.
Menurut mufassir Najamuddin An-Nasafi berdasarkan hadits
Nabi SAW bahwa Baginda Nabi telah mengucapkan isti’adzah dengan kalimah:
أعوذ بعفو الله العظيم من عذابه الاليم ومن
همزات الشياطين ان الله هو السميع العليم.
“Aku berlindung pada kemaafan Allah dari azab-Nya yang sangat pedih
dan dari berbagai gangguan (gertaknya, umpatnya, fitnahnya, dan lain-lain)
syaitan, sesungguhnya Allah, Dialah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Demikian
isti’adzah Nabi menurut An-Nasafi.
2.
Isti’adzah
Abu Bakar as-Siddiq, menurut An-Nasafi juga, adalah:
أَعوذ بالله الواحد الما جد من كل عدوّ حاسد ومن كل
شَيَطِانِ مارد ان الله هو السميع العليم.
“Aku
berlindung kepada Allah Yang Maha Esa lagi Yang Maha Mulia dari setiap musuh
dan pendengki dan dari setiap syaitan yang keterlaluan, sesungguhnya Allah,
Dialah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
3.
Ucapan
Isti’adzah Umar bin Khattab r.a.:
أعوذ بالله المعين من الشيطان اللعين الى يوم
الدين
“Aku berlindung kepada Allah dari syaitan yang terkutuk hingga
hari kiamat.”
4.
Ucapan
Ustman bin Affan r.a., ialah:
أعوذ بالله من لشيطان والكفرو والطغيان وهو
المنعم المستعان.
“Aku berlindung kepada Allah dari syaitan, dari kekufuran
dan dari kesesatan, dan Dianya Allah Maha melimpahkan nikmat lagi Maha
memberikan pertolongan.”
5.
Isti’adzah
Ali bin Abi Thalib r.a.:
أعوذ
بالله العظيم ووجهه الكريم وسلطانه القديم من الشيطان الرجيم.
“Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Agung, Dzat-Nya
yang Maha Mulia dan kekuasaan-Nya yang tiada permulaan, dari pada syaitan yang
terkutuk.”
Akan tetapi Imam Rafi’ie r.a.
menukilkan sebuah pendapat bahwa isti’adzah Ali bin Abi Thalib ialah:
أعوذ بالله السميع العليم من الشيطان الرجيم.
“Aku
berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Yang Maha Mengetahui dari
syaitan yang terkutuk.”
Berkata Imam Nawawi r.a. dalam Syarah
Mahadzab, bahwa riwayat Imam Rafi’ie ini adalah tidak populer.
6.
Berkata Al-Qhurtubi bahwa Ibnu Mas’ud telah mengucapkan Isti’adzah,
sebagai berikut:
أعوذ بالله السميع العليم من الشيطان الرجيم.
“Aku
berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Yang Maha Mengetahui dari
syaitan yang terkutuk.”
7.
Bersabda
Rasulullah SAW:
أعوذ بالله من الشيطان الرجيم هكذ اقرأني
جبريل عن اللوح المحفوظ.
“Aku
berlindung kepada Allah dari gangguan syaitan yang terkutuk. Begitulah yang
telah dibacakan kepadaku oleh Jibril yang berasal dari Lauhil Mahfudz”
Berkata Imam Nawawi dalam Syarah Mahadzab bahwa isti’adzah
seperti tersebut di ataslah yang umum dibaca oleh kebanyakan umat Islam.r
Nabi Nuh a.s. mengungkapkan
isti’azah dalam bentuk do’a seperti diungkapkan dalam kitab suci Al-Qur’an
surat Huud ayat 47:
tA$s% Éb>u þÎoTÎ) èqããr& Î/ ÷br& n=t«ór& $tB }§øs9 Í< ¾ÏmÎ/ ÖNù=Ïã ( wÎ)ur öÏÿøós? Í< ûÓÍ_ôJymös?ur `à2r& z`ÏiB z`ÎÅ£»yø9$# ÇÍÐÈ
“Nuh berkata: Ya Tuhanku, Sesungguhnya Aku
berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau sesuatu yang Aku tiada
mengetahui (hakekat)nya. dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan
(tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya Aku akan termasuk orang-orang
yang merugi." (Q.S. Huud: 47)
Nabi Yusuf a.s.
mengucapkan isti’azah dengan kalimat seperti yang terungkap dalam Al-Qur’an
dalam surat Yusuf ayat 23:
çmø?yurºuur ÓÉL©9$# uqèd Îû $ygÏF÷t/ `tã ¾ÏmÅ¡øÿ¯R ÏMs)¯=yñur Uºuqö/F{$# ôMs9$s%ur |Møyd s9 4 tA$s% s$yètB «!$# ( ¼çm¯RÎ) þÎn1u z`|¡ômr& y#uq÷WtB ( ¼çm¯RÎ) w ßxÎ=øÿã cqßJÎ=»©à9$# ÇËÌÈ
“Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda
Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya
berkata: "Marilah ke sini." Yusuf berkata: "Aku berlindung
kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan Aku dengan baik."
Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan beruntung.” (Q.S. Yusuf: 23)
Nabi Musa a.s. berlindung kepada Allah
dengan kalimat:
tA$s%ur #ÓyqãB ÎoTÎ) ßNõãã În1tÎ/ Nà6În/uur `ÏiB Èe@ä. 9Éi9s3tFãB w ß`ÏB÷sã ÏQöquÎ/ É>$|¡Ïtø:$# ÇËÐÈ
Dan Musa berkata: "Sesungguhnya Aku berlindung kepada Tuhanku
dan Tuhanmu dari setiap orang yang menyombongkan diri yang tidak beriman kepada
hari berhisab". (Q.S. Al-Mu’min: 27)
Isteri
Imran mengucapkan isti’azah seperti yang termaktub dalam kitab suci Al-Qur’an
surat Ali Imran ayat 36:
$£Jn=sù $pk÷Jyè|Êur ôMs9$s% Éb>u ÎoTÎ) !$pkçJ÷è|Êur 4Ós\Ré& ª!$#ur ÞOn=÷ær& $yJÎ/ ôMyè|Êur }§øs9ur ãx.©%!$# 4Ós\RW{$%x. ( ÎoTÎ)ur $pkçJø£Jy zOtötB þÎoTÎ)ur $ydäÏãé& Î/ $ygtGÍhèur z`ÏB Ç`»sÜø¤±9$# ÉOÅ_§9$# ÇÌÏÈ
Maka tatkala
isteri 'Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: "Ya Tuhanku, Sesunguhnya
aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang
dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan.
Sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam dan aku mohon perlindungan
untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada
syaitan yang terkutuk." (Q.S. Ali Imran: 36)
Sedangkan Nabi Muhammad SAW memohonkan
perlindungan kepada Allah SWT seperti dalam ayat 1-5 surat Al-Falaq:
Bahwa membaca Isti’adzah boleh dengan kalimat apa saja tetapi
mengandung di dalamnya mohon perlindungan kepada Allah dari Syaitan.
Sedangkan kalimah isti’adzah yang paling rendah pada fadhilat
ialah:
أعوذ بالله العلي من الشيطان الغوي
“Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Tinggi dari syaitan yang
begitu sesat.”
(Lihat
Kitab Nuzhatul Majaalis wa Muntakhabu An-Nafaais, hal. 30)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar