Jumat, 26 September 2014

TAFSIR AL-ISTI’ADZAH




Tafsir Syari’at
اَعُوْذُ باِللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ
A’udzubillahi minasy-syaitanir-rajiim
Aku berlindung kepada Allah dari godaan syaitan yang terkutuk
Ulon meulindong bak daya chetan nyang keunong rajam di jih bak Allah
I seek Allah’s protection from satan the rejected one.
التجئ الى الله مستجيرا به من الشيطان المطرود من رحمة الله والخير، لئلا يضرني فى شيئ.
Aku berlindung kepada Allah dari pada syaitan yang terkutuk dari rahmat Allah dan kebaikan-kebaikan-Nya, semoga aku tidak diganggu syaitan pada sesuatu apapun saja.

PERINTAH ALLAH AGAR MANUSIA BERLINDUNG
DARI SYAITAN YANG TERKUTUK
Hal keadaan ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
Syaitan adalah makhluk yang jauh dari rahmat Allah, apakah makhluk itu manusia, atau jin, atau binatang. Jangankan pada manusia biasa, pada setiap nabi pun Allah ta’ala menjadikan ada musuhnya berupa syaitan-syaitan dari berbagai jenis. Inilah makna firman Allah dalam surat 6 Al-An’am ayat 112:
y7Ï9ºxx.ur $oYù=yèy_ Èe@ä3Ï9 @cÓÉ<tR #xrßtã tûüÏÜ»ux© ħRM}$# Çd`Éfø9$#ur ÓÇrqムöNßgàÒ÷èt/ 4n<Î) <Ù÷èt/ t$ã÷zã ÉAöqs)ø9$# #Yráäî 4 öqs9ur uä!$x© y7/u $tB çnqè=yèsù ( öNèdöxsù $tBur šcrçŽtIøÿtƒ ÇÊÊËÈ
Dan demikianlah kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.
Binatang juga disebutkan dengan syaitan apabila binatang itu bertingkah dan melawan si pemiliknya atau sipengendarainya. Terbukti bahwa pada suatu kali Saidina Umar bin Khattab mengendarai seekor kuda Turki. Waktu saidina umar naik atas kuda itu, kuda itu membandel dan tidak mau jalan. Lantas beliau memukul kuda itu, tetapi kuda itu semakin dipukul semakin membandel. Maka Umar berkata:
ماَ حَمَلْتُمُوْنِي إِلاَ عَلىَ شَيْطَانٍ.
Kalian tidak menunggangkan saya selain atas syaitan (maksudnya adalah kuda yang membandel itu).

Syaitan juga dapat diartikan perusak, penghancur dan pelaku yang takabbur. Maka apakah syaitan itu makhluk halus atau makhluk kasar seperti manusia. Manusia bisa disebutkan sebagai syaitan apabila perbuatannya merusak hal-hal yang berkaitan dengan kemaslahatan manusia lainnya.

PENGERTIAN AL ISTI’AZAH (BERLINDUNG KEPADA ALLAH)
Berlindung kepada Allah adalah terdiri dari tiga unsur:
1.     Unsur Ilmu, artinya manusia harus tahu dan sadar bahwa ia adalah makhluk yang lemah tidak dapat menarik manfaat-manfaat yang bersifat agama dan dunia dan tidak dapat menolak segala macam rintangan keagamaan dan keduniaan apabila tidak dilindungi oleh Allah. Unsur ini harus diketahui dan disadari oleh manusia. Sesungguhnya Allah SWT yang mampu dan kuasa menciptakan sekalian manfaat keagamaan dan keduniaan serta menolak sekalian kemudharatan agama dan dunia. Kekuasaan yang demikian tidak ada seorang pun dari makhluknya yang mampu selain hanya Allah. Apabila hal keadaan ini telah diketahui dan disadari oleh manusia, maka barulah menyelinap dalam hatinya rasa rendah diri dan terpaksa merendah diri kepada Yang Maha Kuasa. Sentuhan perasaan yang demikian ini dalam hati manusia dikatakan dengan:
                  اَلتَّضَرُّعُ إِلىَ اللهِ تَعَالىَ وَالْخُضُوْعُ لَهُ.
Yakni merendahkan hati dan perasaan sepenuhnya tunduk kepada Allah SWT.
Berhasilnya keadaan yang demikian itu dalam hati manusia akan membawa pengaruh kepada berhasilnya sifat yang lain dalam hati dan sifat pada lidah manusia. Sifat yang lain dalam hati ialah hati manusia sangat berkehendak agar ia dipelihara oleh Allah dari segala kerusakan dan bencana yang bersifat lahiriah dan batiniah dan semoga Allah melimpahkan secara khusus kebaikan-kebaikan kepadanya. Dengan demikian jadilah ia selaku hamba Allah yang hatinya senantiasa tunduk dan berhajat kepada-Nya.
Adapun sifat pada lidah dikarenakan keadaan yang telah menyentuh dalam hatinya itu tentulah ia selaku hamba Allah akan senantiasa dengan lidahnya memohon bantuan Allah. Itulah yang dimaksudkan dengan arti lidahnya mohon perlindungan kepada Allah, lantas lidahnya mengucapkan:
اَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ.
Lidahnya mengucapkan isti’azah, hatinya menghayati dengan ilmunya dan berhajatan pada perlindungan Allah dibarengi dengan lidahnya yang mengucapkan kalimat al-isti’azah tadi.
Apabila hal keadaan di atas telah kita ketahui maka barulah jelas pada kita bahwa rukun terbesar dalam berlindungnya kita kepada Allah ialah dua macam ilmu pengetahuan yang tersentuh dalam batin kita yaitu ilmu kita terhadap Allah dan ilmu kita terhadap diri kita sendiri.
Adapun ilmu kita terhadap Allah adalah kita mengetahui dengan yakin bahwa Allah ta’ala mengetahui segala sesuatu, apapun keadaannya. Jika tidak demikian tentulah Allah tidak mengetahui kita dan segala sesuatu yang kita hadapi. Maka atas segala ini tentulah mohon perlindungan kita kepada Allah tidak ada artinya (عبثا). Kita juga harus mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas seluruh hal-hal yang bersifat mungkin apakah itu bersifat nikmat-Nya, karunia-Nya ataukah itu bersifat azab-Nya. Apabila kita tidak mengetahui hal keadaan ini tentu bisa saja kita mengira bahwa Allah itu lemah pada menciptakan kehendak hamba-Nya, maka tentulah tidak ada artinya kita memohon perlindungan-Nya.
Tak dapat tidak pula kita mesti mengetahui bahwa Allah itu secara asbsolut adalah Maha Pemurah dan apabila Allah itu pelit maka tidak ada artinya pula kita memohon perlindungan dari pada-Nya.
Juga tak dapat tidak kita mesti mengetahui bahwa tidak ada seorangpun selain hanya Allah yang dapat membantu kita atas maksud-maksud kita atau cita-cita kita yang kita berazam untuk memperolehnya. Andainya jika selain Allah juga dapat membantu kita atas berbagai tujuan yang kita bermaksud untuk memperolehnya, maka pastilah kegemaran dalam hati kita pada memohon perlindungan Allah lemah dan lunglai.
Semua apa yang telah diungkapkan di atas tidaklah sempurna kemantapan qalbu kita apabila dalam penghayatan batiniah dan lahiriah tidak tertancap aqidah tauhid yang bersifat absolute terhadap Allah SWT. Tauhid yang mutlak mendatangkan ilmu dan yakin bahwasanya Yang Maha Pengatur alam ini semuanya hanya Allah Yang Maha Esa, dan selain dari pada Allah tidak bisa terlepas dari pada kehendak-Nya dengan segala gerak perbuatan mereka sebagai makhluk Allah. Dan apabila tidak ada kemantapan yang begini maka tak ada artinya memohon perlindungan kepada Allah, karena kita masih merasa ada faedahnya selain dari pada Allah. Maka dengan demikian mantaplah lahiriah dan batiniah kita bahwasanya manusia selama belum mengenal kemegahan Allah dengan sifat ketuhanan-Nya dan belum mengenal kehinaan manusia dengan sifat kehambaannya kepada Allah maka tidak ada artinya mulutnya mengucapkan al-isti’azah
Apabila ada sebagian manusia berpendapat tidak perlu dalam mengucapkan al-isti’azah itu ada penghayatan ilmu kita sebagaimana yang telah diterangkan, bahkan mereka berpendapat cukup mengucapkan aku berlindung kepada Allah secara garis besar tetapi penghayatan hatinya kosong sama sekali. Maka pendapat itu adalah sangat naif dan manusia yang demikian adalah batinnya kosong melompong dari pada penghayatan ketauhidan. Atas inilah Nabi Ibrahim mengucapkan kata-kata terhadap ayahnya yang menyembah berhala karena lidahnya memohon pertolongan berhala selaku Tuhan yang ia percayai, sedangkan hati ayahnya itu kosong dari pada penghayatan tauhid. Justeru itulah Ibrahim mengucapkan kepada ayahnya seperti yang telah tersebut dalam kitab suci Al-Qur’an dalam Surat 19 Maryam, ayat 42:
øŒÎ) tA$s% ÏmÎ/L{ ÏMt/r'¯»tƒ zNÏ9 ßç7÷ès? $tB Ÿw ßìyJó¡tƒ Ÿwur çŽÅÇö7ムŸwur ÓÍ_øóムy7Ytã $\«øx© ÇÍËÈ
Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya; "Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun?
Itulah celaan Ibrahim kepada ayahnya, lidah ayahnya mengucapkan isti’azah kepada tuhannya Namrud tetapi hatinya tidak ada ilmu seperti yang telah kita ungkapkan di atas.
Adapun pengetahuan manusia terhadap keadaan dirinya ialah ia harus mantap dan yakin dan mengakui dengan yakin atas kelemahannya dan keterbatasannya yang mendinding untuk tidak sampai ia kepada hajatnya dan kemuslihatan dirinya. Apabila hatinya mengetahui segala kemuslihatan yang ia kehendaki dalam gambarannya dan bilangannya maka akan kosong belaka apabila ilmu yang demikian itu tidak mantap dan berterusan dalam penghayatannya. Akan tetapi apabila semua ilmu itu ada dalam hatinya maka barulah hatinya mendesak permohonannya kepada Yang Maha Kuasa di samping lidahnya mengucapkan permohonan pula agar semua halangan dan rintangan yang datangnya dari syaitan semoga tidak berhasil dan ditolak oleh Allah SWT.
Inilah makna kalimah isti’azah:
اَعُوْذُ باِللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ.
Insyaallah unsur yang kedua akan kita lanjutkan pada hari Jum’at yang akan datang.

KESIMPULAN
Adalah Nabi Muhammad SAW mengucapkan isti’azah berdasarkan ayat tersebut di atas, walaupun isti’azah antara para nabi dan hamba-hamba Allah yang shaleh (ash-siddiqin) berbeda antara satu dengan yang lain.
Inilah makna firman Allah SWT dalam surat An-Nahl ayat 98:
#sŒÎ*sù |Nù&ts% tb#uäöà)ø9$# õÏètGó$$sù «!$$Î/ z`ÏB Ç`»sÜø¤±9$# ÉOŠÅ_§9$# ÇÒÑÈ
“Apabila kamu membaca Al Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.” (Q.S. An-Nahl: 98) [terj. Depag RI]
“Berlindung aku kepada Allah ta’ala daripada syaitan yang dipertolak daripada rahmat Allah ta’ala.” (Q.S. An-Nahl: 98) [terj. Syiahkuala]
Ta lakee lindong bak daya chetan
Nyang keunong rajam di jih bak Allah
Takheunnyan watee tabeut Qur’an
Nyan daya chetan cit ek tateugah
[Tgk. H. Mahjiddin Jusuf, Terj. Bebas Bersajak Al-Qur’an dalam Bahasa Aceh]

Berdasarkan ayat di atas maka Nabi dan sebagian para sahabat mengungkapkan perlindungan kepada Allah SWT dalam berbagai kalimat.
1.     Menurut mufassir Najamuddin An-Nasafi berdasarkan hadits Nabi SAW bahwa Baginda Nabi telah mengucapkan isti’adzah dengan kalimah:
أعوذ بعفو الله العظيم من عذابه الاليم ومن همزات الشياطين ان الله هو السميع العليم.
“Aku berlindung pada kemaafan Allah dari azab-Nya yang sangat pedih dan dari berbagai gangguan (gertaknya, umpatnya, fitnahnya, dan lain-lain) syaitan, sesungguhnya Allah, Dialah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Demikian isti’adzah Nabi menurut An-Nasafi.  

2.     Isti’adzah Abu Bakar as-Siddiq, menurut An-Nasafi juga, adalah:
أَعوذ بالله الواحد الما جد من كل عدوّ حاسد ومن كل شَيَطِانِ مارد ان الله هو السميع العليم.
“Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Esa lagi Yang Maha Mulia dari setiap musuh dan pendengki dan dari setiap syaitan yang keterlaluan, sesungguhnya Allah, Dialah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

3.     Ucapan Isti’adzah Umar bin Khattab r.a.:
أعوذ بالله المعين من الشيطان اللعين الى يوم الدين
“Aku berlindung kepada Allah dari syaitan yang terkutuk hingga hari kiamat.”

4.     Ucapan Ustman bin Affan r.a., ialah:
أعوذ بالله من لشيطان والكفرو والطغيان وهو المنعم المستعان.
“Aku berlindung kepada Allah dari syaitan, dari kekufuran dan dari kesesatan, dan Dianya Allah Maha melimpahkan nikmat lagi Maha memberikan pertolongan.”


5.     Isti’adzah Ali bin Abi Thalib r.a.:
أعوذ بالله العظيم ووجهه الكريم وسلطانه القديم من الشيطان الرجيم. 
“Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Agung, Dzat-Nya yang Maha Mulia dan kekuasaan-Nya yang tiada permulaan, dari pada syaitan yang terkutuk.”
          Akan tetapi Imam Rafi’ie r.a. menukilkan sebuah pendapat bahwa isti’adzah Ali bin Abi Thalib ialah:
أعوذ بالله السميع العليم من الشيطان الرجيم.
“Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Yang Maha Mengetahui dari syaitan yang terkutuk.”
          Berkata Imam Nawawi r.a. dalam Syarah Mahadzab, bahwa riwayat Imam Rafi’ie ini adalah tidak populer.

6.     Berkata Al-Qhurtubi bahwa Ibnu Mas’ud telah mengucapkan Isti’adzah, sebagai berikut:
أعوذ بالله السميع العليم من الشيطان الرجيم.
“Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Yang Maha Mengetahui dari syaitan yang terkutuk.”

7.     Bersabda Rasulullah SAW:
أعوذ بالله من الشيطان الرجيم هكذ اقرأني جبريل عن اللوح المحفوظ.
“Aku berlindung kepada Allah dari gangguan syaitan yang terkutuk. Begitulah yang telah dibacakan kepadaku oleh Jibril yang berasal dari Lauhil Mahfudz”
Berkata Imam Nawawi dalam Syarah Mahadzab bahwa isti’adzah seperti tersebut di ataslah yang umum dibaca oleh kebanyakan umat Islam.r
Nabi Nuh a.s. mengungkapkan isti’azah dalam bentuk do’a seperti diungkapkan dalam kitab suci Al-Qur’an surat Huud ayat 47:
tA$s% Éb>u þÎoTÎ) èŒqããr& šÎ/ ÷br& šn=t«ór& $tB }§øŠs9 Í< ¾ÏmÎ/ ÖNù=Ïã ( žwÎ)ur öÏÿøós? Í< ûÓÍ_ôJymös?ur `à2r& z`ÏiB z`ƒÎŽÅ£»yø9$# ÇÍÐÈ
“Nuh berkata: Ya Tuhanku, Sesungguhnya Aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau sesuatu yang Aku tiada mengetahui (hakekat)nya. dan sekiranya Engkau tidak memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya Aku akan termasuk orang-orang yang merugi." (Q.S. Huud: 47)
          Nabi Yusuf a.s. mengucapkan isti’azah dengan kalimat seperti yang terungkap dalam Al-Qur’an dalam surat Yusuf ayat 23:
çmø?yŠurºuur ÓÉL©9$# uqèd Îû $ygÏF÷t/ `tã ¾ÏmÅ¡øÿ¯R ÏMs)¯=yñur šUºuqö/F{$# ôMs9$s%ur |Møyd šs9 4 tA$s% sŒ$yètB «!$# ( ¼çm¯RÎ) þÎn1u z`|¡ômr& y#uq÷WtB ( ¼çm¯RÎ) Ÿw ßxÎ=øÿムšcqßJÎ=»©à9$# ÇËÌÈ
“Dan wanita (Zulaikha) yang Yusuf tinggal di rumahnya menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadanya) dan dia menutup pintu-pintu, seraya berkata: "Marilah ke sini." Yusuf berkata: "Aku berlindung kepada Allah, sungguh tuanku telah memperlakukan Aku dengan baik." Sesungguhnya orang-orang yang zalim tiada akan beruntung.” (Q.S. Yusuf: 23)
          Nabi Musa a.s. berlindung kepada Allah dengan kalimat:
tA$s%ur #ÓyqãB ÎoTÎ) ßNõãã În1tÎ/ Nà6În/uur `ÏiB Èe@ä. 9ŽÉi9s3tFãB žw ß`ÏB÷sムÏQöquÎ/ É>$|¡Ïtø:$# ÇËÐÈ
Dan Musa berkata: "Sesungguhnya Aku berlindung kepada Tuhanku dan Tuhanmu dari setiap orang yang menyombongkan diri yang tidak beriman kepada hari berhisab". (Q.S. Al-Mu’min: 27)
Isteri Imran mengucapkan isti’azah seperti yang termaktub dalam kitab suci Al-Qur’an surat Ali Imran ayat 36:
$£Jn=sù $pk÷Jyè|Êur ôMs9$s% Éb>u ÎoTÎ) !$pkçJ÷è|Êur 4Ós\Ré& ª!$#ur ÞOn=÷ær& $yJÎ/ ôMyè|Êur }§øŠs9ur ãx.©%!$# 4Ós\RW{$%x. ( ÎoTÎ)ur $pkçJø£Jy zOtƒötB þÎoTÎ)ur $ydäŠÏãé& šÎ/ $ygtG­ƒÍhèŒur z`ÏB Ç`»sÜø¤±9$# ÉOŠÅ_§9$# ÇÌÏÈ
Maka tatkala isteri 'Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: "Ya Tuhanku, Sesunguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syaitan yang terkutuk." (Q.S. Ali Imran: 36)

          Sedangkan Nabi Muhammad SAW memohonkan perlindungan kepada Allah SWT seperti dalam ayat 1-5 surat Al-Falaq:
Bahwa membaca Isti’adzah boleh dengan kalimat apa saja tetapi mengandung di dalamnya mohon perlindungan kepada Allah dari Syaitan.
Sedangkan kalimah isti’adzah yang paling rendah pada fadhilat ialah:
أعوذ بالله العلي من الشيطان الغوي
“Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Tinggi dari syaitan yang begitu sesat.”

(Lihat Kitab Nuzhatul Majaalis wa Muntakhabu An-Nafaais, hal. 30) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar