Oleh: Abuya Prof.Dr.KH.Muhibbuddin Waly,MA
I
Judul ini
mari kita bahas sebagai berikut:
I.
Pengertian Aqidah
Aqidah disebutkan juga dengan i’tiqad
atau dengan mazhab atau dengan creed atau believe,
artinya: ajaran yang telah terikat dalam hati sehingga menjadi kenyataan
dalam kepercayaan dan keyakinan sehingga dapat juga disebutkan dengan faith dan
doctrine. Apakah aqidah itu benar menurut ajaran Islam atau tidak meskipun
pada sebagian orang mengatakan aqidahnya benar tetapi pada hakikatnya adalah
tidak benar. Itulah sebabnya, maka dalam kitab-kitab tauhid diistilahkan
kepercayaan dengan aqidah yang artinya ma’rifah yang hakikat dari pada ma’rifah
itu ialah keimanan yang sejalan dengan kenyataan yang timbul dari dalil yang
benar. Kenyataan yang dikehendaki menurut ulama tauhid ialah yang sejalan
menurut ilmu Allah, seperti yang terungkap dalam Lauhul Mahfuzh dan kemudian
dijelaskan oleh kitab-kitab suci yang sah yaitu Taurat, Zabur, Injil, dan
ditutup dengan kitab suci Al-Qur’an.
Apabila aqidah itu tidak
sejalan dengan kenyataan yang benar menurut dasar di atas, maka dikatakan
dengan juhul murakkab (kejahilan berganda) seperti aqidah orang Nasrani
tentang Trinitas dan aqidah-aqidah yang tidak benar.
II.
Tauhid Selaku Aqidah
Setiap Nabi dan Rasul
dan umat yang beriman kepada mereka mempunyai keimanan yang benar tentang
kemahaesaan Allah SWT. Aqidah tauhid bagi setiap Nabi dan Rasul adalah
merupakan keterpaduan dari kenabian dan kerasulan yang tidak bisa dipisahkan
dan untuk tauhid itulah para Nabi dan Rasul diangkat oleh Allah selaku Nabi
atau selaku Rasul. Belum ada tauhid pada setiap zaman mereka merupakan
disiplin ilmu pengetahuan seperti tauhid yang kita kenal sekarang ini.
III. Berbagai Nama Ilmu Tauhid
Dalam
memahami soal-soal aqidah dalam Islam lebih baik terlebih dahulu dimaklumi
istilah-istilah yang terpakai dalam lingkungan ini.
- Ilmu
Ushuluddin,
yakni ilmu mengenai pokok-pokok agama yang membicarakan soal-soal aqidah
dalam Islam, yaitu :
a. Kepercayaan
(aqidah, i’tikad) yang bertalian dengan ketuhanan (ilahiyah).
b. Kepercayaan
yang bertalian dengan kenabian (nubuwat)
c. Kepercayaan
yang bertalian dengan hal keadaan yang ghaib (hari akhirat, surga, neraka, dan
lain-lain)
d. Dan lain-lain
soal kepercayaan
- Ilmu
Kalam, yakni kalamullah,
karena dalam ilmu ini banyak dibicarakan sifat-sifat Allah, di antaranya
kalam (berkata), di antara sifat-sifatnya. Ulama-ulama dan ahli-ahli ilmu kalam dinamai
mutaqallimin atau mutaqallimun.
- Ilmu
Tauhid, yakni ilmu
keesaan tuhan karenanya banyak dibicarakan dari ilmu ialah tentang keesaan
tuhan.
- Ilmu Aqaidh, atau ilmu aqidah yakni ilmu i’tiqad karena
yang banyak dibicarakan dalam ilmu
ini ialah masalah-masalah i’tiqad atau kepercayaan (keimanan).
- Ilmu Sifat Dua Puluh, menurut sebagian orang-orang Islam yang berbahasa dengan bahasa melayu karena di dalam ilmu ini dibicarakan dua puluh sifat yang wajib bagi Allah.
Semua istilah di atas
hakikatnya satu, yakni kepercayaan tentang ketuhanan, kenabian dan keakhiratan.
Dan ini disebutkan dengan ilmu mengenai
ushul agama atau pokok-pokoknya.
Kalaulah demikian maka istilah
keagamaan yang disebutkan dengan furu’ syari’at ialah ilmu yang bertalian
dengan ibadah, perkawinan, jual beli, politik, dan lain-lain.
Kesimpulan bahwa ushuluddin
dan istilah-istilah yang berkenaan dengannya merupakan i’tiqad-i’tiqad atau
aqidah-aqidah sedangkan furu’ syari’at merupakan nilai-nilai hukum yang
bersifat lahiriah.
IV. Aqidah
Pada Masa Hidup Nabi Muhammad SAW
Pada
masa hidup Nabi Muhammad SAW tidak ada permasalahan pada aqidah karena semuanya
mudah dan segala sesuatu dapat ditanyakan kepada baginda.
Sahabat-sahabat
Nabi berada di hadapan Baginda mendengarkan wahyu Illahi yang turun
sewaktu-waktu, ada yang menuliskan wahyu itu dan ada yang menghafalnya di luar
kepala.
Al-Qur’an
berbahasa Arab, sedangkan Rasulullah S.A.W. dan para sahabat Baginda adalah
orang-orang Arab, maka mereka dapat menangkap isi dan arti yang hakiki dari
ayat-ayat Al-Qur’an yang berbahasa Arab itu.
Apabila
mereka masih belum mantap pemahaman tentang ayat Al-Qur’an, mereka langsung
bertanya kepada Baginda Rasulullah, di mana Rasulullah menjelaskan kepada
mereka persoalan-persoalan dengan sebaik-baiknya sehingga tidak terjadi perselisihan paham antara sesama
mereka.
V.
Perselisihan Paham Setelah Baginda Nabi Meninggal Dunia
Pada
tanggal 2 Rabiul Awal tahun 11 H bertepatan dengan 8 Juni tahun 632 M
Rasulullah SAW meninggal dunia, akan tetapi pada masa Baginda masih hidup,
Baginda telah mengungkapkan perselisihan yang akan terjadi di kalangan
ummatnya, di mana Rasulullah sudah tidak ada lagi di kalangan mereka. Nabi
mengungkapkan perpecahan yang akan terjadi di kalangan ummatnya sebagaimana
perpecahan yang telah terjadi pada ummat Yahudi dan Nasrani. Hal keadaan ini
dapat dipahami dari tiga hadist sebagai berikut:
١ عن ابىهريرة ان رسول الله صلى الله
عليه وسلم قال تفرقت اليهودعلى احدى وسبعين فرقة والنصـارى مثل ذلك وتفترق امتى على
ثلاث وسبعين فرقة. رواه الترمذى
Artinya :
“Dari Abu Hurairah rda.
Beliau berkata, bahwa Nabi Muhammad SAW. bersabda : “Telah berfirqah-firqah
orang Yahudi atas 71 firqah dan orang Nashara seperti itu pula dan akan
berfirqah umatku atas 73 firqah”. (Hadits riwayat Imam Tirmidzi Lihat Sahih
Tirmidzi Juzu’ X, pagina 109)
Nabi Bersabda:
٢ .ان بنى اسرائيـل تفرقت على ثنتين وسبعين ملة وتفترق امتى
على ثلاث وسبعين ملة كلهـم فى النار الا ملة واحدة قالوا: ومن هي يا رسول الله؟
قال: ماانا عليه واصحابى. (روه الترمـذى)
Artinya:
“Bahwasanya Bani Israil telah berfirqah-firqah sebanyak 72 millah
(firqah) dan akan berfirqah umatku
sebanyak 73 firqah, semuanya masuk neraka kecuali satu”.
Sahabat-sahabat yang mendengar ucapan ini bertanya: “Siapakah yang satu
itu Rasulullah?”
Nabi menjawab: “Yang satu itu ialah orang yang berpegang (beri’tiqad)
sebagai peganganku (i’tiqadku) dan pegangan sahabat-sahabatku”.
(Hadits
Riwayat Imam Tirmidzi, Lihat sahih Tirmidzi juzu’ X, pagina 109)
Tersebut
dalam kitab Imam Thabrani, bahwa Nabi bersabda:
٣ .والذى نفس محمد بيده
لتفترق امتى على ثلاث وسبعين فرقة فواحدة فى الجنة وثنتان وسبعون فى النار قيل: من
هم يارسول الله؟ قال: اهـل الســنة والجماعة. (رواه الطبرنى)
Artinya:
“Demi Tuhan yangn memegang jiwa Muhammad di tangan-Nya, akan berfirqah
ummatku sebanyak 73 firqah yang satu masuk surga dan yang lain masuk neraka”.
Bertanya para sahabat: “Siapakah firqah (yang tidak masuk neraka) itu
ya Rasulullah?”
Nabi menjawab: “Ahlussunnah wal jama’ah”.
(Hadits
Riwayat Imam Thabrani).
٤. قال رسول الله صلى الله
عليه وسـلم: لاتزال طاتفة من امة ظاهريه على الحق حت يانيهم امرالله وهم ظاهرون
رواه البخارى: فتح البارى ج ١٧
ص ٥٦
Artinya:
“Akan ada golongan dari umatku yang tetap atas kebenaran sampai hari
kiamat dan mereka tetap atas kebenaran itu.”
(Hadits Riwayat Imam Bukhari, lihat Fathul Bari, Juzu XVII, pagina 56.
II
BAGIAN-BAGIAN
ILMU TAUHID
The
Parts in Knowledge of Unity Of God or Monotheism (الاعتقاد)
1. Tentang Dzat Allah SWT
Wajib atas setiap manusia yang sudah sampai umur dan
mempunyai akal mengetahui tentang Dzat Allah SWT. Bahwa Dzat Allah ta’ala itu
adalah wajib wujudnya dan akal tidak dapat menerima bahwa Dia tidak mawjud
berdasarkan ciptaan-ciptaan-Nya yang semua manusia berakal tidak dapat menolak
hal keadaan ini dan Dzat Allah SWT itu mempunyai sifat-sifat kesempurnaan dan
Maha Suci dari segala sifat kekurangan.
2. Tentang sifat-sifat Allah
Bahwa sifat-sifat Allah ta’ala terbagi atas empat
gambaran:
Pertama, Sifat-sifat Salbiah, yakni sifat-sifat yang menafikan keadaan-keadaan yang mustahil pada
Allah SWT
Gambaran sifat-sifat Salbiah itu ialah:
- واحد لاشريك له
Yang Maha Esa artinya tiada menyekutui bagi-Nya
- فرد لامثل له
Yang Tunggal artinya tiada mengumpamai
bagi-Nya
- صمد لاضدله
Yang diperlukan oleh segala hamba-Nya
artinya tiada lawan bagi-Nya
- منفرد لانظيرله
Yang Maha bersendiri artinya tiada yang membandingi-Nya ()
- قديم لأول له
Yang Maha terdahulunya Allah ta’ala artinya tiada yang
mendahului bagi-Nya
- ازلى لابد اية له
Maha terdahulunya Allah ta’ala artinya tiada bagi-Nya
permulaan
- مستمر الوجود لاآخرله
Maha kekal wujud-Nya artinya tiada
bagi-Nya akhir
- أبدى لانهاية له
Maha
kekal selama-lamanya artinya tiada
bagi-Nya kesudahan
- قيوم لاانقطاع له
Maha berdiri dengan
sendirinya artinya tiada yang memutuskan bagi-Nya
- له دأم لاانصرام
Maha kekal selama-lamanya artinya tiada yang memutuskan bagi-Nya
- لم يزل ولايز الموصوفابنعوت الجلال
Selama-lamanya dan senantiasa bersifat dengan segala
sifat kebesaran dan ketinggian.
- لايقض عليه ب لانقضاء بتصرم الأيام
وانقراض الآجال
Tiada
yang menyudahi atas-Nya dengan kesudahan disebabkan putus segala zaman dan
dengan sampainya segala ajal. Bahkan dianya Allah ta’ala adalah Maha permulaan,
Maha kesudahan, Maha Dhahir, Maha Batin, dan tiada yang Maha lebih mengetahui
dan Dia lah yang Maha lebih mengetahui dengan segala sesuatu.
Kedua, Sifat-sifat
Tanzih, artinya sifat-sifat Allah ta’ala dalam gambaran kemaha
suciannya.
1.
ليس كمثله شيء ولا هو مثل شيء
Tiada yang mengumpamai akan Allah ta’ala
oleh sesuatu dan tiada mengumpamai ia akan sesuatu dari segala yang baharu
2.
وأنه لايحده المقدار ولاتحويه الأقطار
Tiada dibatasi oleh perkiraan dan tiada
diliputi oleh benua (kampung, negeri, dan lain-lain).
3.
ولا تحيط به الجهات
Tiada diliputi oleh segala penjuru
(kanan, kiri, atas, bawah, dan lain-lain)
4. dan lain-lain
Ketiga, sifat wujudiyah (وجودية)dan dinamakan pula dengan sifat ma’ani.
Sebagaimana
dimaklumi bahwa tujuan dari pada ilmu tauhid ialah ma’rifatullah, yakni
mengenal Allah yang tidak ada akhir dari padanya.
Karena ma’rifatullah merupakan laut yang sangat dalam yang tak dapat diukur
kedalamannya
"واعلم أن أشرف العلوم وغايتها معرفة الله تعالى وهو بحر لا يدرك منتهى غوره وأقص درجات
الشرفية الأنبياء ثم الأولياء ثم الذين يلونهم"
Artinya: “Laut yang tidak dapat diketahui kedalamannya dan merupakan
derajat-derajat terakhir dari para Nabi kemudian turun kepada para Wali,
kemudian para hamba Allah yang Shalihin hingga seterusnya.
Menurut Imam Ghazali
r.a. dan beliau menetapkan inilah ilmu yang begitu mulia dan itulah
sehabis-habis ilmu antara manusia dengan Allah SWT.
Ilmu ini harus belajar
kepada ulama yang shaleh yang terkumpul padanya ilmu syari’at, tariqat dan
hakikat.
Orang yang mempelajari
ilmu ini harus ada padanya dua syarat; syarat pertama adab
yang berkenaan dengan dirinya dalam gambaran sebagai berikut:
1. Harus suci hatinya dari sifat kejahatan dan perangai
yang tercela lahir dan batin, seperti ria, ujub, takabur, dengki (hasad),
ikhlas, benar, zuhud (tidak condong hatinya kepada dunia), tawadhu’,
merendahkan diri, dan lain-lain dari sifat-sifat yang terpuji. Inilah
pengertian dari perkataan Ibnu Mas’ud r.a.:
(ليس العلم بكثرة الرواية انما العلم نور يقذف
فىالقلب)
“Bukanlah ilmu itu tergambar
dengan banyaknya riwayat (pengajian dari para ahli melalui kitab-kitab dan
sebagainya), hanyasanya ilmu itu ialah nur yang diberikan Allah ta’ala ke dalam
hati.”
Inilah ucapan Abdullah bin Mas’ud yang meninggal dunia
pada tahun 32 H bersamaan dengan tahun 652 M. beliau salah seorang sahabat
Rasulullah dan seorang ahli hadits yang termasuk para sahabat Nabi yang
mula-mula menganut agama Islam, beliau berkhidmat kepada Nabi dalam masa
hidupnya dan beliau seorang sahabat yang terbagus dalam membaca kitab suci
Al-Qur’an.
2. Mengosongkan hatinya dari segala kesibukkan dunia,
seperti kesibukkan dengan anak dan istri, kesibukkan dari jual beli, dan segala
yang membimbangkan hatinya, agar hatinya betul-betul terarah mendapatkan ilmu
pengetahuan di atas. Hal keadaan ini berdasarkan firman Allah SWT dalam surat
33 Al Ahzab ayat 4:
$¨B
@yèy_
ª!$#
9@ã_tÏ9
`ÏiB
Éú÷üt7ù=s%
Îû
¾ÏmÏùöqy_
…4
“Allah sekali-kali tidak
menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya;”
Maksudnya bahwa ilmu ma’rifat ini tertahan masuk dalam
hati seorang muslim yang disibukkan oleh hal-hal yang bersifat duniawi yang sama sekali tidak ada
hubungannya dengan keimanan yang murni terhadap Allah SWT.
3. Harus merendah diri dan tidak boleh takabur terhadap
gurunya, tidak boleh melangkah bahwa ilmu yang diajarkan oleh gurunya adalah
kecil dan menganggap bahwa ilmunya lebih banyak dari ilmu gurunya dan andalah
yang taat dan patuh terhadap gurunya.
4. Menjauhkan dirinya dari pada ilmu yang membawa kepada
perbedaan faham antara para ulama karena pada akhirnya akan membawa kepada
heran dan membingungkan, terkecuali apabila murid itu sudah sampai ke tingkat
ulama yang mengetahui tarjih dalam ikhtilaf yakni keputusan yang terkuat dalam
perbedaan faham para ulama ahli.
5. Hendaklah murid itu mendahulukan menuntut ilmu yang
terpuji dalam syariat Islam, tegasnya hendaklah mementingkan ilmu tauhid dan
tasawuf seperti kitab-kitab tulisan Imam Ghazali dan Al-Hikam, karena kitab
Al-Hikam merupakan sari pati tauhid dan tasawuf (seorang sufi Mesir, wafat 709
H/1309 M). Beliau bermazhab Maliki dan menganut tarikat Asyadziliyyah.
6. Ilmu yang dituntut dan dipelajari itu adalah ilmu yang
memberi manfaat dalam akhirat. Itulah ilmu yang arahnya sama dari kitab-kitab
di atas. Tegasnya ilmu yang sangat dipentingkan ialah ilmu Ushuluddin karena
dalam ilmu Ushuluddin terkumpul padanya ilmu aqidah, ilmu fiqh yang titik
beratnya pada ibadat, ilmu muamalah, bagaimana dengan mujahadah yang
bersangkutan akan sampai Insya Allah dalam mukasyafah yakni ma’rifat terhadap
Allah SWT.
7. Pelajar itu hendaklah ada niat dalam hatinya
semata-mata karena Allah SWT dan karena kebahagiaan yang abadi di negeri
akhirat, maka dalam gambaran lahiriah harus banyak ibadahnya dan dalam gambaran
batiniah hendaklah ia bersifat-sifat dengan sifat-sifat terpuji dan mensucikan
dirinya dari sifat-sifat tercela dan hendaklah ia membiasakan pengertian al-ihsan yakni seolah-olah dia melihat
Allah dan apabila ia belum merasakannya maka ia merasakan bahwa ia dilihat oleh
Allah.
Adapun Syarat Kedua, bahwa pelajar itu
mesti adab kepada gurunya. Dalam hal ini mestilah ia menjaga sebelas syarat
keadaban, sebagai berikut:
- Hendaklah ia memberi salam yang terhormat kepada
gurunya
- Tidak boleh banyak perkataan di hadapan gurunya
- Tidak boleh berkata pada gurunya tanpa izin
gurunya
- Tidak boleh bertanya kepada gurunya terkecuali
harus ada izinnya
- Tidak boleh mendebat gurunya dengan mendasarkan
bahwa orang-orang lain berpendapat tidak seperti pendapat gurunya
- Tidak boleh memberi isyarat kepada gurunya yang
menggambarkan dia lebih tahu dari gurunya
- Tidak boleh berbisik-bisik dengan siapa saja di
hadapan gurunya, yakni orang yang sama tarafnya dengan si murid tersebut
- Tidak boleh berpaling ke kiri dan ke kanan di
hadapan gurunya, dan hendaklah ia duduk dan tunduk seperti adab dalam
sembahyang
- Tidak boleh banyak bertanya kepada gurunya
apabila gurunya kelihatan segan menjawabnya atau gurunya sedang
berkata-kata dengan orang lain atau gurunya dalam keadaan lelah
- Hendaklah murid itu berdiri apabila gurunya
datang karena takdim kepada gurunya, dan jangan berkata-kata apabila belum
duduk, terkecuali karena darurat
- Jangan jahat sangka terhadap gurunya pada segala
perbuatannya yang lahiriah apabila bertentangan dengan aqidah atau
perbuatan gurunya. Hendaklah ditempatkan bahwa gurunya itu lebih tahu dari
muridnya pada hukum-hukum syariat dan rahasia-rahasianya.
Pahamilah ajaran ini seperti sejarah yang telah terjadi
antara Nabi Musa dengan Nabi Khidir.
HAKIKAT HIKMAH TUJUAN AQIDAH ISLAMIAH YANG BENAR
(MUSTAQIMAH)
Hakikat hikmah tujuan aqidah
islamiah ialah ma'rifatullah, yakni mengenal Allah SWT berdasarkan
dalil-dalil yang bersifat yakin berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits dan
berdasarkan daya tangkap akal manusia yang terdiri dari pemahaman wajib pada
akal, mustahil pada akal dan boleh jadi pada akal. Hal keadaan ini untuk
mencapai kesuksesan dalam gambaran kebahagiaan yang abadi.
(معرفة الله
بالبراهين القطعية والفوزبالسعادةالأبدية)
Inilah
pengertian dari pada hakikat hikmah tujuan ilmu tauhid yang merupakan aqidah
islamiah yang benar. Meskipun keyakinan yang tumbuh dari pada ma'rifat
itu tidak terlepas dari martabat ilmul yaqin) ( علم اليقينkemudian naik kepada ainul yaqin (عين اليقين) dan yang terakhir adalah haqqul yaqin -
(حق اليقين) .
Ilmul
yaqin ialah hasil dari pengetahuan yang merupakan keyakinan dan kepastian,
tanpa disaksikan oleh panca indera ( إدراك الشيء من غير مشاهدة). Misalnya
keimanan kita pada rukun-rukun iman.
Ainul
yaqin ialah mengetahui secara yakin yang disaksikan oleh panca indera,
apakah seluruhnya atau sebahagiannya. Seperti kesaksian mata atau lain-lain ( الرؤية التي هي العلم به مع المشاهدة).
Adapun
Haqqul yaqin ialah penglihatan yang menyentuh sesuatu yang dilihat dan
dirasakan oleh batin. (المشاهدة مع الملا صقة والممازجة)
Maka
adalah ma'rifat merupakan kesucian batin yang telah bersih dari
segala debu-debu hati, lantas timbullah dari padanya ma'rifat kepada
Allah, baik pada perasaan ((ذوق maupun pada kejiwaan yakni
kekuatannya yang bersifat kebatinan (وجدانا). Maka dengan ma'rifat
kepada Allah bersinarlah dan sucilah batinnya, dan terbukalah hatinya melihat
hal-hal yang besar (agung) dan hal-hal yang bersifat keajaiban. Batinnya
dapat melihat dengan nur ma'rifat di mana orang yang belum sampai ke
tingkat ini tidak dapat melihatnya.
v
UNSUR-UNSUR ILMU MA'RIFAT
Ilmu
ma'rifat atau ma'rifatullah, baru dilimpahkan Allah kepada
hamba-Nya yang diistilahkan dengan Wali Allah apabila yang bersangkutan
ada padanya empat macam ilmu pengetahuan yang tidak terlepas dari pada dirinya.
Perlu dimaklumi bahwa definisi Waliullah
ialah :
العالم بالله تعالى (المواظب) على طاعته المخلص فى عبادته
“Pribadi
yang mengenal Allah lagi, tidak pernah meninggalkan ketaatannya kepada Allah,
dengan keikhlasannya dalam melaksanakan ibadahnya”.
Inilah makna firman Allah dalam
surat Yunus ayat 62-64:
الآان اوليـآءالله لا خوف عليهم ولاهم يحزنون. الذين امنوا وكانوا يتقون.
لهم البشرا فى الحيوة الدنيا وفى الاخرة, لاتبديل لكلمت الله ذلك هو الفوز العظيم.
“Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu,
tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka
selalu bertaqwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan
(dalam kehidupan) di akhirat, tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat
(janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.”
Maka para Wali Allah
adalah orang-orang yang bersih lahir batinnya lagi senantiasa melaksanakan
ketaatannya kepada Allah dengan ikhlas atau dengan kata lain seperti pemahaman
dari kata Ibnu Hajar Al ‘Asqalany dalam kitabnya Fathul Baary :
أن كليته مشغولة بالله فلا يصغى بسمعه إلا إلى مايرضيه ولا يرى ببصره إلا
إلى ما أمره الله به.
Bahwa fisik Wali
Allah itu disibukkan dengan Allah, maka dia tidak mengarahkan pendengarannya
terkecuali kepada yang diridhai Allah, dan penglihatannya tidak melihat selain
kepada apa yang Allah perintahkan kepadanya. Maka adalah seluruh anggota
tubuhnya terarah kepada ridha Allah dalam arti yang luas.
Empat macam ilmu yang dimaksudkan di atas ialah:
Pertama;
Ilmu Syariat,
artinya ada padanya pengetahuan mengenai hukum-hukum agama yang telah
diturunkan Allah kepada Rasulullah SAW, menurut pemahaman para ulama ahli dari kitab
suci Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW. Baik pemahaman itu bersifat teks (نصا) atau hasil
penggalian dari para ulama syariat ((إستنباطا.
Hukum-hukum yang demikian termasuk dalam ilmu tauhid, dalam ilmu fiqh, dan ilmu
tasawuf.
Kedua;
Ilmu Thariqat, yakni ilmu pengetahuan pada mengamalkan syariat Islam
dan menjauhkan diri dari pada hal-hal yang bersifat mencari
kemudahan-kemudahan. Dapat juga dikatakan menjauhkan segala larangan Allah
lahir dan batin, dan mematuhi perintah-perintah Allah menurut kemampuan. Atau
dengan kata lain, menjauhkan diri dari pada hal-hal yang bersifat haram,
hal-hal yang bersifat makruh dan hal-hal yang bersifat mubazzir, yaitu hal-hal
yang boleh dalam hukum tetapi kurang baik pada mengerjakannya. Demikian pula
menunaikan hal-hal yang fardhu, hal-hal yang sunat di bawah petunjuk pimpinan
Al Mursyid atau wakilnya. Oleh karena itu penuntun atau yang memberikan
pimpinan dalam thariqat adalah seorang alim yang mengetahui ilmu syariat, ilmu
thariqat dan ilmu hakikat.
Ketiga; Ilmu Hakikat. Ilmu ini terbagi kepada tiga bagian:
1. Bagaimana usaha
menjauhkan hijab atau mengecilkannya dan kalau berhasil menghilangkannya; yakni
hijab-hijab atau penghalang-penghalang lahiriah
dan batiniah antara kita dengan apa yang kita imani berupa Dzat Allah,
sifat-sifat-Nya, kebesaran-Nya, dan kejombangan-Nya, sehingga hati kita dan
penghayatan kita dapat hampir, bahkan lebih hampir kepada Allah SWT.
Demikian juga ilmu mengenai
dengan hakikat kenabian dan sifat-sifatnya, dan pengetahuan
berkenaan dengan kesempurnaan para sahabatnya para Nabi, lebih-lebih hakikat
kenabian Nabi Muhammad SAW dan kesempurnaan para sahabat Baginda.
Harus diketahui pula apa-apa yang telah disampaikan oleh Rasulullah SAW tentang
nikmat kubur dan azabnya, tentang kiamat dan iqab-iqabnya, tentang
neraka dan kandungannya. Demikian
juga tentang syurga dan nikmat-nikmatnya, dan lain-lain. Dengan pengetahuan
yang demikian dia dapat melihat secara batin dan penghayatan lahiriah.
Dalam bahagian ini pula
ada pengetahuan bagi yang bersangkutan mengenai sifat-sifat yang terpuji dalam
mengamalkan thariqat, seperti zuhud, artinya hatinya terhadap dunia adalah
renggang tetapi mencintai akhirat. Begitulah pendiriannya terhadap dunia dan
kedudukan-kedudukannya dan hal-hal yang bersifat keduniaan.
Dalam perjalanannya
mengenai ilmu hakikat kadang kala dia mabuk tidak sadarkan diri apabila hatinya terarah
pada hakikat, adakala menimbulkan kelalaian karena sibuknya dengan
penghayatan batinnya. Maka adakala menimbulkan kerinduan dan keasyikan
yang luar biasa, hingga kadang-kadang ia bingung sendiri. Begitulah
yang dapat diterangkan secara ringkas. Dan adakala di samping hal yang demikian
datang pula Kasyaf dari Allah, sehingga ia mengetahui kejadian-kejadian
yang tidak diketahui oleh orang lain, apalagi hal keadaan di atas disertai dengan
Kasyaf dari Allah SWT pada apa yang dikehendaki-Nya, dan banyak lagi
hal-hal lain yang terjadi seperti itu. Apakah itu bersifat alam-atas atau
alam-bawah, kejadian-kejadian pada masa yang lalu atau
kejadian-kejadian pada masa yang akan datang.
Atas inilah hadits
Haritsah Bin Malik Al Anshari pada ketika Nabi bertanya kepadanya. “Bagaimana
keadaanmu pagi ini?” Haritsah menjawab “Aku menghayati keimanan yang
benar.” Nabi bertanya kepada Haritsah :
"إن لكل قول حقيقة فما حقيقة
إيمانك"
“Sesungguhnya setiap
perkataan ada hakikatnya. Maka apakah hakikat imanmu?”
Pada satu riwayat yang
lain, Nabi bertanya lagi kali kedua kepadanya:
."اعلم ما تقول أو انظر ما
تقول"
“Ketahuilah apa yang
kamu katakan, atau perhatikanlah apa yang kamu katakan”.
Haritsah menjawab “Aku sabarkan diriku menjauhi
dunia (aku berpaling dari padanya). Maka samalah padaku batunya dunia dan
emasnya dunia. Aku berjaga pada malamku dan aku dahaga pada siangku.
Seolah-olah aku melihat Arasy’ dan kelihatanlah Tuhanku dengan jelas.
Seolah-olah aku lihat kepada penduduk surga berziarah sesama mereka.
Seolah-olahan aku juga mendengar raungan tangisan isi neraka.” Kemudian
Nabi berkata kepadanya “Engkau telah benar-benar mengenal Allah. Maka
lazimilah itu.”
Pada riwayat yang lain Rasulullah SAW telah bersabda:
“Barang siapa yang suka melihat orang yang Allah ta’ala berikan cahaya pada
hatinya maka hendaklah dia memandang Haritsah Bin Malik.” (Hadits Riwayat
Thabrani, Al Bazar, dll.)
Bahagian pertama ini adalah bahagian yang top dan yang
paling mulia, karena dari padanya bercabang dua bahagian yang lain dan ini
merupakan dasar pembinaan dari pada dua bahagian yang lain itu.
2. Dari pada ilmu
hakikat itu maka kosonglah hatinya dan dirinya dari akhlak dan kelakuan yang
hina dan tidak terhormat, akan tetapi hatinya dan dirinya telah penuh dengan
sifat-sifat yang diridhai oleh Allah, dan budi pekerti yang baik sehingga tapak
kakinya tertancap pada kebaikan-kebaikan itu. Dan itu sudah merupakan
pribadinya.
3. Apabila hakikat
telah menyentuh hatinya maka mudahlah pengamalan segala amal kebajikan dan
entenglah segala perbuatan yang baik, sehingga yang bersangkutan tidak
merasakan kesukaran dan tidak merasakan keberatan, bahkan jikalau ia bermaksud
meninggalkan amal shaleh dan perbuatan kebaikan, hatinya menolak dan enggan
sedemikian rupa. Dadanya telah lapang dan terbuka, karena Islam dengan segala
nilainya, hatinya telah begitu tenang sedemikian rupa dalam menjauhkan segala
yang diharamkan Allah, melaksanakan perintah-perintah-Nya, dan tersentuhlah
padanya hakikat kelapangan sehingga seolah-olah dia merupakan malaikat
dalam gambaran manusia.
Apabila
anda telah memahami ini maka anda akan mengenal begitu banyak yang tercakup
dalam definisi hakikat, sedangkan ini adalah sebagian kecil dari padanya.
Ketahuilah bahwa hakikat itu adalah hasil, faedah dari pada thariqat. Maka tak
dapat tidaklah bagi orang yang berjalan pada jalan akhirat (السـالك الى الله) mengumpulkan tiga
bahagian tadi, dan jangan ada sesuatu yang tertinggal dari padanya karena
hakikat tanpa syariat adalah batal, dan syariat tanpa hakikat adalah kosong.
ان الحقيقة بلا شريعة باطلة والشريعة بلا حقيقة عاطلة
Telah berkata Imam
Malik r.a.
من تشرع ولم يتحقق فقد تقسق, ومن تحقق ولم يتشرع فقد
تذندق ومن جمع بينهما فقد تحقق.
“Barang siapa yang mengamalkan syariat tetapi
belum ada padanya sentuhan hakikat, maka sungguh dia telah durhaka kepada Allah.
Dan barang siapa yang melakukan hakikat sedangkan dia tidak mengamalkan syariat
maka dia adalah seorang yang zindiq (lahiriahnya beriman tetapi hakikatnya ia
kufur). Dan barang siapa yang mengumpulkan antara syariat dan hakikat berarti
ia seorang muslim yang benar keimanannya dan keislamannya.”
Karena itu maka para
ulama aqidah yang mempunyai ilmu syariat, thariqat dan hakikat telah membuat
contoh mengenai tiga bahagian di atas. Mereka berkata:
“Bahwa
syariat adalah seperti kapal untuk sampai kepada tujuan dan selamat dari
kebinasaan.
Bahwa thariqat adalah umpama laut yang di dalamnya
mengandung mutiara. Tentang sama-sama bagaimana laut tempat tujuan untuk
memperoleh mutiara, maka demikian pulalah thariqat. Kita tidak dapat mengambil
mutiara apabila kita tidak masuk dalam laut dan kita tidak dapat melakukan amal
shaleh yang di dalamnya ilmu tauhid, ilmu fiqh, dan ilmu tasawuf, kalau tidak
melalui thariqat yakni, mengamalkan dengan baik ilmu syariat dan thariqat.
Sedangkan hakikat laksana mutiara agung. Kita tidak
akan dapat mengambil mutiara itu melainkan kita harus menyelam ke dasar laut
dan kita tidak akan bisa melompat ke dasar laut terkecuali harus sampai ke
tempat tujuan melalui kapal. Maka demikian pulalah hakikat, baru diperoleh
apabila hilang hijab yang mendinding antara kita dengan Allah dan apabila hati
kita telah tersentuh dengan hakikat dan kita tidak akan sampai kepada hakikat
tanpa melalui syariat dan thariqat.
فمثل الشريعة كالسفينة في أنها سبب للوصول إلى المقصد
والنجاة من الهلاك, والطريقة مثل البحر الذي فيه الدر في أنها محل المقصود,
والحقيقة مثل اللؤلؤ العظيم فلا يوجد اللؤلؤ إلا في البحر ولا يوصل لذلك البحر إلا
البسفينة, فمن نظر إلى حقائق الأشياء كلها بالله وجد أن الشريعة والحقيقة متلازمان
تلازم الماء للعود والروح للجسد. (والشريعة شجرة والطريقة أغصانها والحقيقة
أثمارها).
Maka kesimpulannya:
Barang siapa yang melihat kepada hakikat bahwa segala
sesuatu adalah dengan bantuan Allah, berarti orang yang demikian akan
mendapatkan syariat dan hakikat di mana antara keduanya tidak terlepas yang satu
dengan lainnya, sebagaimana antara air dengan pohon, bahwa apabila pohon itu
masih hidup maka tidak bisa berpisah pohon itu dari air dan demikian juga air
dari kayu. Demikian pulalah antara roh dengan jasad.
Hakikat kesimpulan ialah syariat laksana pohon,
thariqat laksana dahannya, dan hakikat adalah buah-buahnya.
v
WAHDATUL WUJUD & WAHDATUL SYUHUD
Apabila
kita pahami uraian di atas maka dari padanyalah berasal wahdatul wujud atau
wahdatul syuhud.
1. Wahdatul
Wujud
Wahdatul
wujud adalah kesatuan wujud dan ini dapat dipahami sebagai satu wujud atau
kesatuan dari bagian-bagian wujud sedemikian rupa sehingga merupakan satu
kesatuan wujud.
Wahdatul
wujud itu telah menjadi istilah yang cukup terkenal dalam perkembangan
tasawuf. Istilah tersebut mengacu kepada faham atau aliran yang dibangun oleh
seorang sufi terkemuka dari Andalusia Ibnu Arabi (w. 1240 M/630 H). Beliau
mempunyai pengikut yang cukup banyak.
Kelihatannya
istilah wahdatul wujud belum muncul dari Ibnu Arabi sendiri tapi dari
kalangan para pengikutnya dan dari kalangan yang menyerang faham atau aliran
tersebut. Faham wahdatul wujud Ibnu Arabi itu menurut yang dapat
dipahami para sarjana tasawuf, lebih kurang sebagai berikut:
Wujud itu hanya satu, bukan banyak.
Wujud yang satu itu adalah wujud dengan pengertian: yang ada dengan
sendirinya, keberadaannya
tidak karena yang lain dan tidak bergantung pada yang lain. Wujud yang satu
ini disebut juga wujud hakiki yang dapat dipandang dengan dua macam
pandangan.
Pertama, ia dapat dipandang sebagai wujud
mutlak tanpa terkait dengan sifat-sifat dan nama-nama. Hakikat wujud mutlak itu
tidak bisa diterangkan, tidak bisa dibayangkan oleh pikiran dan tidak bisa
digambarkan dengan ungkapan-ungkapan positif, ia hanya bisa dibicarakan dengan
ungkapan-ungkapan negatif sebagaimana telah diisyaratkan oleh kitab suci
Al-Qur’an dalam surat 42 Asy Syuraa ayat 11:
...ليس كمثله شيء, وهو السميع
البصير.
“…tidak ada sesuatupun yang
serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan Melihat.”
Pendeknya wujud mutlak
itu adalah transenden, yakni maha ghaib dan sama sekali berbeda dengan apa yang
dapat ditangkap oleh panca indera serta berbeda dengan apa yang dapat
dibayangkan oleh fikiran manusia atau dalam ungkapan-ungkapan negatif, seperti
: Ia tidak seperti ini atau tidak seperti itu. Wujud hakiki yang dipandang
sebagai wujud mutlak ini disebut oleh Ibnu Arabi dengan berbagai sebutan,
seperti العم (kebutaan), النقطة (titik),
مركزالدائرة (pusat lingkaran), dan
lain-lain.
Kedua, wujud
hakiki itu dapat dipandang sebagai wujud yang tidak mutlak tapi sudah terkait
dengan nama-nama dan sifat-sifat, yang menggambarkan ‘ain (hakikat, identitas
atau bentuk) wujud hakiki itu.
Wujud hakiki dalam
pandangan kedua ini, dikatakan sebagai wujud hakiki yang bertajalli, berta’ayyun,
atau menyatakan diri dan identitas melalui nama dan sifat. Dengan kata lain:
wujud hakiki yang sudah bernama dan bersifat itu adalah wujud hakiki yang dapat
diketahui identitas atau hakikat-Nya. Al Asmaul Husna (nama-nama yang indah)
adalah nama-nama wujud hakiki itu dan di antara nama-nama itu adalah Allah,
nama yang menghimpun segala nama dan sifat yang dapat dikaitkan dengan wujud
hakiki tersebut.
Bagaimana dengan
keberadaan alam atau makhluk ini?
Alam dalam faham wahdatul
wujud tidaklah berwujud, dengan pengertian tidak berwujud hakiki.
Keberadaan alam adalah karena wujud hakiki (Allah) dan selalu bergantung
pada-Nya. Keberadaan alam tidak wajib (mesti) karena dirinya tapi wajib karena
yang lain yakni Allah. Alam ini diciptakan oleh Allah. Dengan demikian Ia
dikenal oleh alam. Alam ini diciptakan berdasar pada ‘ain Allah sendiri. Dengan
kata lain ‘ain (hakikat) Ketuhanan pada Allah menjadi pola dasar bagi
penciptaan alam. Alam diciptakan Allah sedemikian rupa sehingga ciptaan itu
selain menjadi bayangan yang tidak sempurna dari Dzat Yang Maha Sempurna, juga
menjadi tempat bagi tajalli (penampakan diri secara tidak langsung)
nama-nama, sifat-sifat atau hakikat Tuhan. Sifat-sifat tuhan, seperti:
mendengar, mengetahui, adil, dan sebagainya menjadi contoh bagi adanya
sifat-sifat yang demikian pada makhluknya seperti manusia.
2.
Wahdatusy
Syuhud (wahdath asy syuhud)
Pengertiannya yang berdasarkan harfiah ialah keesaan
penyaksian. Ia adalah satu faham dalam tasawuf tentang keesaan Tuhan dan
sekaligus keesaan wujud, yang tampak dalam penyaksian hati nurani.
Istilah wahdatusy syuhud sebagaimana faham tersebut
dimunculkan oleh kalangan sufi yang tidak menyetujui faham wahdatul wujud yang
ditegakkan oleh Ibnu Arabi dan para pengikutnya. Mereka yang memunculkan atau
memasyhurkan istilah tersebut antara lain adalah Ala’ud Daulah As Shimnani (w.
1337 M/737 H) dan Ahmad As Sirhindi (w. 1624 M/1034 H).
Faham wahdatusy syuhud ialah keesaan Allah yang
disaksikan oleh mata batin manusia yang mengalami kasyaf (terbukanya
atau lenyapnya hijab atau dinding yang membatasi penglihatan mata hati dengan
Tuhan). Sebagai akibat penyaksian mata batin itu maka adalah keyakinan orang
yang mengalami penyaksian tersebut tentang keesaan Tuhan meningkat ke taraf
yang tertinggi, atau dengan kata lain lebih tinggi dari taraf keyakinan yang
hanya berupa membenarkan berita Al-Qur’an dan Hadits atau telah diperkuat
dengan dalil-dalil rasional. Penyaksian keesaan Allah itu sekaligus berarti
penyaksian satu-satunya wujud. Hanya Allah saja satu-satunya wujud yang
disaksikan oleh mata batin seseorang pada pengalaman kasyaf itu. Wujud
segenap alam empiris (berdasarkan pengalaman dan penghayatan orang yang
berpengalaman) termasuk wujud dirinya, pada saat itu lenyap atau sirna dari
penyaksiannya, baik diri maupun batinnya, maupun dari mata kepalanya.
Kehadiran Tuhan dalam penyaksian mata batin seseorang telah menyebabkan lenyapnya kehadiran alam empiris dan dirinya sendiri, baik
dari penyaksian mata kepalanya maupun dari penyaksian mata hatinya. Keadaan itu
dapat ditamsilkan seperti kehadiran matahari yang terang benderang yang telah
menyebabkan lenyapnya bintang-bintang yang banyak dari penyaksian mata kepala
manusia. Pesona keindahan wujud Tuhan adalah sedemikian rupa sehingga dapat
menyerap segenap perhatian orang yang sedang menyaksikannya. Sebagai akibatnya
mata kepalanya kendati tampak masih terbuka dan berhadapan dengan empiris,
menjadi tertutup oleh kehadiran wujud Allah dalam penyaksian mata
hatinya. Keberadaan alam empiris dari dirinya menjadi tersembunyi di balik
kehadiran wujud Tuhan. Hanya wujud Tuhan saja dengan berbagai rahasianya yang
tampak oleh penyaksian mata batin tersebut.
Tidak seperti faham wahdatul wujud, faham wahdatusy syuhud ini tidak menimbulkan sikap
kontroversial (bertolak belakang; sangat berbeda) di kalangan kaum sufi,
kendati istilah wahdatusy syuhud itu muncul sebagai reaksi terhadap
faham wahdatul wujud. Namun esensi (inti sari, hakikat) faham wahdatusy
syuhud itu sudah terdapat pada keterangan-keterangan para sufi abad ke-9
dan 10 (abad ke-3 dan 4 H), seperti Junaid Al Baghdadi, Al Kalabazi, dan
lain-lain. Melalui wibawa Al Ghazali (w. 1111M/505 H) esensi faham wahdatusy
syuhud dapat diterima oleh umumnya kalangan sufi. Para sufi yang mengeluarkan
ungkapan-ungkapan aneh (syathahat) seperti Al Bistami, Al Hallaj, dan lain-lain
dianggap sedang mengalami wahdatusy syuhud ketika mengeluarkan kata-kata
aneh tersebut (ungkapan aneh itu seperti: Tidak ada dalam jubahku kecuali
Allah).
Menurut faham wahdatusy syuhud,
penyaksian mata batin terhadap wujud Tuhan saja tidaklah mengandung arti bahwa
wujud alam dan diri yang sedang menyaksikan itu sungguh-sungguh tidak ada. Alam
dan dirinya tetap saja ada, tetapi pada saat itu sedang lenyap atau tersembunyi
di balik kehadiran Tuhan dengan segala rahasia-Nya. Bila kasyaf atau
penyaksian itu telah berakhir (mungkin setelah berlangsung beberapa menit,
beberapa jam, atau beberapa hari), alam empiris dan dirinya kembali tampak oleh
mata kepalanya atau hadir dalam kesadarannya yang biasa. Dalam persepsi
(pengamatan; tanggapan indera; daya memahami) kalangan sufi menerima faham
wahdatusy syuhud, tetapi menolak faham wahdatul wujud, tentu kedua faham
tersebut tampak berbeda bahkan bertentangan. Mereka memandang wahdatul wujud
sebagai faham yang mengingkari adanya wujud selain dari wujud Tuhan dan itu
berarti berbeda atau bertentangan dengan faham wahdatusy syuhud, yang
tidak mengingkari adanya wujud alam (termasuk manusia) di samping wujud Tuhan,
kendati dalam penyaksian mata batin, hanya wujud Tuhan saja yang tampak.
Masalah pertentangan kedua faham tersebut masih bisa diperdebatkan, karena
persepsi pendukung wahdatul wujud dan persepsi penentangnya tentang
faham wahdatul wujud itu sendiri tidak sama. Tampaknya pengamat wahdatul
wujud hanya mengingkari wujud alam sebagai wujud yang berdiri sendiri dan
yang ada karena dirinya sendiri tetapi tidak mengingkarinya sebagai wujud yang
terkandung selamanya pada wujud Tuhan yang hakiki. Tampaknya wahdatul wujud
dalam persepsi penganutnya tidak mengandung pertentangan dengan faham wahdatusy
syuhud.
3.
Perbedaan
Antara Wahdatul Wujud dengan Wahdatusy Syuhud
Wahdatul wujud
ialah kesatuan wujud, yakni wujud itu hanya satu bukan banyak. Wujud yang satu
itu pengertiannya bahwa wujud Dzat Allah dengan sendiri-Nya, tidak didahului
oleh tiada dan juga tidak diakhiri oleh tiada. Keberadaannya tidak karena yang
lain dan tidak bergantung pada yang lain. Inilah yang dimaksud dengan wujud
hakiki.
Bagi sebagian hamba Allah yang saalikin lagi shaalihin,
Allah berikan limpahan pada pandangannya dan perasaannya melihat wujud yang
hakiki itu. Yakni wujud mutlak tanpa terkait dengan sifat-sifat dan nama-nama. Hakikat
wujud mutlak itu sebagaimana diterangkan di atas tidak dapat diterangkan,
tidak dapat dibayangkan oleh pikiran dan tidak dapat digambarkan dengan
ungkapan positif, tetapi dapat diungkapkan dengan ungkapan negatif.
Sebagaimana dalam Surat 42, As Syuura ayat 11 di atas. Maka hakikat wahdatul
wujud ialah dalam gambaran tanzih (kemahasucian Allah ta’ala) dan
tidak dalam gambaran tasybih dalam ungkapan-ungkapan positif.
Adapun wujud hakiki yang terkait dengan ismudzat (اسم الذات) yakni dzat yang maha mutlak yang dinamakan dengan
Allah atau yang dikaitkan dengan sifat-sifat-Nya seperti dalam gambaran Asmaul
Husna, maka itu adalah gambaran ‘ain atau ta’ayyun yang
menyatakan dzat dan identitasnya melalui nama dan sifat. Wahdatul wujud
yang begini adalah wahdatul wujud yang tidak keluar dari tauhid, bahkan
pemantapan dan penghayatan tauhid yang luar biasa. Apakah dalam keadaan
sadar atau tidak sadar.
Dalam hal inilah Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah Al
Banjari.[1]
Dia bergelar dengan Datuk Kelampayan dan telah mengungkapkan, yang ungkapan itu
dinukilkan oleh Syekh Daud bin Abdullah Al Pattani[2]
dalam manuskrip beliau berjudul Tuhfat Al Raghibin Kitab Jinayah sebagai
berikut:
“Ketahuilah olehmu. Adapun kaum wujudiyah itu
terbagi dua bagi. 1). Kaum wujudiyah yang Muwahhid, 2). Kaum wujudiyah yang
Mulhid. Maka wujudiyah yang muwahhid itu yaitu segala ahli sufi yang
sebenarnya. Dan dinamakan mereka wujudiyah karena adalah bicara mereka itu dan
perkataan mereka itu dan i’tikad mereka itu pada wujud Allah.” Pada
bahagian lain dalam manuskrip itu juga Syekh Daud bin Abdullah Al Pattani
menulis : “Wujudyah yang mulhid (kafir), itulah wujudiyah yang dimaksudkan
atau dinamakan dengan zindiq (mukmin lahiriah, kafir secara batiniahnya).”
Tentang ini telah diakui oleh Syekh
Nurruddin Ar-Raniry[3] sendiri yang beliau
menyatakan dalam tulisannya yang berjudul Hujjah Ash Shiddiq tentang
adanya wujudiyah yang muwahhid dan wujudiyah yang Mulhid. Beliau menulis
sebagai berikut : “Maka menitahkan daku oleh Tuan kita yang maha mulia lagi
maha besar martabat, anak raja yang turun temurun, dan ialah anak raja besar,
iaitu Seri Sultan Tajul Alam Shafiyatuddin Syah Daulat Zhillullah fil ‘Alam
ibnati al Sultan Iskandar Muda Ibnu Sultan Muda. Ialah raja yang sinar segala
matahari daulatnya dengan kesudahan bersinar dan masyhurlah adilnya. Maka
teranglah segala tepi alam. Ialah raja yang menguatkan agama Allah dan
mendirikan Syariat Rasulillah. Dan ialah raja yang memeliharakan segala hamba
Allah. Dan ialah raja yang memijakkan segala akar bid’ah dan segala yang
sesat. Dipeliharakan Allah kiranya akan dia daripada sekalian bahaya dalam
kandang peliharaannya. Bahwa aku karang akan suatu risalah yang menyatakan
mazhab Shufi yang mengesakan Haq Ta’ala dari pada mazhab wujudiyah yang
mulhid niscaya nyata agama yang benar daripada agama yang sesat…”
Dari keterangan ini dapat kita pahami
bahwa Syekh Nuruddin Ar-Raniry membenarkan wahdatul wujud yang berdasarkan
tauhid dan mengatakan tidak benar wahdatul wujud yang sentuhannya tidak ada
kemurnian tauhid lagi padanya. Dan ini adalah zikir atau aqidah yang membawa
kepada kufur. Akan tetapi sangat mengherankan sehingga kita tidak mengerti
kenapa Syekh Nuruddin Ar-Raniry seorang ulama sufi yang berpengaruh besar di
istana kerajaan Aceh maupun kepada rakyatnya seperti mana yang telah
diungkapkan oleh beliau “Maka sekarang aku jagakan dan aku nyatakan segala
i’tikad wujudiyah yang mulhid lagi zindiq ialah Hamzah Fansuri dan Syamsuddin
As Sumatrani.”
Dalam tulisan Ar-Raniry yang lain,
yang ditulis dalam manuskrip yang berjudul Ma’al Hayati, beliau berkata
“adapun kemudian dari pada itu, maka berkata hamba yang muhtaj kepada Allah
Yang Maha Kaya, yaitu Syekh Nuruddin Ibnu Ali Ibnu Hasanji Ibnu Muhammad Hamid
Asy Syafi’i. Maka tatkala zahirlah kaum wujudiyah yang mulhid lagi zindiq dan
masyhurlah mazhab mereka itu pada kebanyakan negeri di bawah angin, dan dakwa
mereka itu seperti dakwa Syadad dan Namrud dan Fir’aun. Tetapi terlebih jahat
diikut dari pada yang demikian.”
Yang dimaksud dengan kalimat dari
“maka tatkala zahirlah…” hingga akhir kalimat beliau ialah bersifat menyerang
pada pihak pahaman Syekh Hamzah Fansuri dan Syekh Syamsuddin As
Sumatrani yang tidak sependapat dengan Syekh Nuruddin Ar-Raniry. Beliau
mebangsakannya kepada “wujudiyah yang mulhid lagi zindiq” padahal menurut Syekh
Daud bin Abdullah Al Pattani di dalam manuskripnya di atas dan kemudian
disetujui oleh Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah Al Banjari bahwa aqidah Syekh
Hamzah Fansuri dan Syekh Syamsuddin As Sumatrani adalah aqidah yang
benar, tidak mulhid dan tidak zindiq.
Apakah serangan Ar-Raniry atas aqidah
Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As Sumatrani karena masalah politik, yakni
pengaruh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As Sumatrani seperti telah menjalar di
seluruh Aceh, padahal Ar-Raniry seorang ulama yang paling dekat dengan raja dan
menduduki kedudukan mufti tertinggi di daerah ini. Ataukah pengetahuan beliau
hanya sanya terbatas seolah-olahan wahdatul wujud bersifat mutlak adalah aqidah
ilhadiah dan zindiqiah, padahal ulama besar lainnya menyatakan adanya wahdatul
wujud yang tauhidiah dan ada wahdatul wujud yang ilhadiah.
Atau kemungkinan pula dikarenakan
Syekh Nuruddin Ar-Raniry adalah seorang ulama yang berasal dari keturunan Arab
kelahiran kota pelabuhan Ranir (Randeer), Gujarat India yang hanya mengetahui
secara kenyataan yang terjadi bahwa wahdatul wujud yang berkembang di negerinya
adalah wahdatul wujud yang berdasarkan atas tasybih (تشبيه) dan bukan tanzih (تنزيه), meskipun beliau selaku Syekh thariqat Rifa’iyah
dan bermazhab Syafi’i atau mungkin saja fatwa Syekh Nuruddin Ar-Raniry itu
terjadi setelah wafatnya Syekh Abdurrauf As Singkili (Syiah Kuala) karena masa
hidup Ar-Raniry adalah sekian tahun setelah meninggalnya Syiah Kuala.
Dalam pada itu Syekh Nuruddin
Ar-Raniry hanya menyatakan keesaan Tuhan secara mutlak dengan pengertian bahwa
wujudiyah yang beliau nyatakan adalah wujud Allah itu adalah wujud makhluk
dan wujud makhluk adalah wujud Allah, yang berarti mengandung empat
kemungkinan yang mustahil terjadi pada Allah SWT.
1.
Intiqal
(انتقال), artinya wujud Allah SWT
berpindah kepada makhluk seperti seorang berpindah dari suatu tempat yang lain.
2.
Ittihad (اتحـاد), artinya dua wujud menjadi satu seperti
bersatunya emas dengan tembaga.
3.
Hulul (حلول), artinya wujud Allah SWT masuk ke dalam makhluk,
seperti air masuk ke dalam kendi.
4.
Ittisal (اتصـال), artinya wujud Allah SWT berhubungan dengan
makhluk seperti manusia dengan anggotanya.
Ini adalah paham wahdatul wujud yang
membawa kepada kekufuran dan sepakat para ulama seperti telah diungkapkan oleh
Syekh Daud Pattani, Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, dan lain-lain dari ulama
tauhid apabila hal keadaan ini merupakan aqidah. Akan tetapi apabila
hal keadaan ini timbulnya dalam keadaan fana, yakni di luar kesadaran maka
tidak ada hukum baginya. Yang anehnya ialah bahwa Syekh Nuruddin Ar-Raniry
menyatakan bahwa Syekh Hamzah Fansuri dan Syekh Syamsuddin As Sumatrani
adalah mulhid lagi zindiq sebagaimana ungkapannya di atas. Padahal Syekh
Hamzah Fansuri seorang ulama besar dan mu'tabarah pada masa kesultanan Aceh
yang diperintah oleh Sultan Alaiddin Riayatsyah Said Al Mukammal (1589 – 1604
M).
Para sarjana tidaklah meragukan
keberadaan pribadinya dan beliau mengungkapkan tentang tulisan-tulisannya yang
bersifat syair sebagai berikut:
Hamba mengikat syair ini di bawah
hadrat raja yang wali, syah alam raja yang adil, raja kutub sempurna kamil,
wali allah sempurna wasil, raja arif bagi mukammil.
Dan ia telah menjadi penulis yang
terkenal pada zaman itu, dan beliau dapat dikatakan sebagai peletak dasar bagi
peranan bahasa melayu sebagai bahasa keempat di dunia Islam setelah bahasa
Arab, Persia, dan Turki Ustmani. Bahkan karya-karya beliau tersebar berkat jasa
Sultan Iskandar Muda yang telah mengirimkan kitab-kitab Hamzah Fansuri, antara
lain ke Melaka, Kedah, Sumatera Barat, Kalimantan, Banten, Gresik, Kudus,
Makassar, dan Ternate.
Di samping itu banyak pula
syair-syair beliau yang bersifat tasawuf, suluk, dan tauhid. Syair-syair beliau
yang menarik dalam ilmu kebatinan Islam dengan judul-judul yang menarik pula di
antaranya: Syair Burung Pingai, Syair Burung Pungguk, Syair Perahu, dan
Syair Dagang. Ada pula yang bersifat prosa (karangan bebas yang tidak
terikat oleh irama dan rima, persamaan bunyi yang berulang pada sajak), yang di
antaranya ialah : Asrar al-'Arifin fi Bayan Ilm as-Suluk wa at-Tauhid (Keterangan
Mengenai Perjalanan Ilmu Suluk dan Keesaan Allah) dan Syarab al 'Asyiqin
(Minuman Orang-orang yang Cinta Kepada Tuhan). Karya puisinya tergabung
dalam kitab Ruba'i. Karya ini kemudian disyarah (diulas) oleh Syekh
Syamsuddin As-Sumatrani.
Dari uraian di atas menimbulkan tanda
tanya pada kita, di antaranya sebagai berikut:
- Apakah tuduhan Ar-Raniry
terhadap Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As Sumatrani tidak kembali menimpa
dirinya sendiri, yaitu mulhid dan zindiq? Padahal sudah jelas bagi semua
umat Islam, bahwa apabila kita mencap seseorang muslim dengan mulhid
(kafir) dan zindiq (muslim lahiriah kafir batiniah).
- Ar-Raniry telah memutuskan bahwa
thariqat itu hukumnya sesat dan salah dan penganut thariqat yang diberi
nama wujudiyah harus taubat dan kembali kepada hukum syariat, kalau tidak
mereka diberi hukum kafir dan murtad dan harus dibunuh. Maka
dilaksanakanlah hukum itu, sehingga 70 orang dari pengikut Hamzah Fansuri
dan Syamsuddin As Sumatrani telah dibunuh dan selain dari pada mereka
dapat melarikan diri ke pedalaman. Apakah kepergian Syamsuddin As
Sumatrani ke Melaka dan beliau meninggal di Melaka, kemungkinan berat karena
fatwa dari Ar-Raniry selaku mufti Aceh setelah Syamsuddin As Sumatrani
saat itu?
- Pada masa Sultan Iskandar
Tsani, para ulama Aceh dipanggil ke Banda Aceh mengadakan satu
pertemuan besar dan dikatakan juga dihadiri oleh tokoh-tokoh thariqat
telah memutuskan bahwa thariqat itu hukumnya sesat dan salah. Para
penganut thariqat yang diberi nama kaum wujudiyah diputuskan dalam
pertemuan itu juga, bahwa mereka adalah kafir, murtad dan harus dibunuh.
Apakah pertemuan pada masa itu tidak ada sentuhan politik kerajaan
setelah melihat bahwa ajaran thariqat telah berkembang sedemikian rupa dan
dikhawatirkan para ulama thariqat mempengaruhi kerajaan dan itu tidak
disenangi oleh Ar-Raniry.
Sedangkan sebelumnya Ar-Raniry terpaksa meninggalkan
Aceh dan melanglang buana sampai ke Pahang, oleh karena mufti pada masa
pemerintahan Sultan Iskandar Muda (w. 1637 M/1048 H) adalah Syekh Syamsuddin
As Sumatrani (w. 1630 M/1041 H) yang berpaham dengan wujudiyah
yang berdasarkan tauhid dan bukan berdasarkan ilhad. Dan Nuruddin Ar-Raniry
tidak dapat berbuat apa-apa karena tertutup dengan pengaruhnya Syekh Syamsuddin
As Sumatrani pada zaman itu.
Kemudian setelah meninggal Sultan Iskandar Muda dan
pada masa Iskandar Tsani menjadi Sultan, barulah dapat Nuruddin Ar-Raniry masuk
ke dalam struktur kerajaan dan menjadi mufti Kerajaan Aceh Darussalam saat itu,
oleh karena visi dan misinya dalam kerajaan adalah untuk menghantam paham
wujudiyah selama 7 tahun menjadi mufti, akan tetapi ia tidak berhasil menurut
apa yang diharapkannya. Maka dipengaruhilah Kerajaan Aceh pada masa itu untuk
mengundang para ulama dan penganut thariqat selaku penganut-penganut dari
ajaran-ajaran Islam yang sebelumnya telah disampaikan oleh Hamzah Fansuri dan
dilanjutkan oleh Syamsuddin As Sumatrani. Padahal mereka adalah orang-orang
awam, dan kalaupun mereka mengamalkan wahdatul wujud dalam keadaan asyiq
dan fana di luar dari pada kesadaran, tidak ada jalan untuk
mengatakan mereka adalah mulhid dan zindiq. Di atas inilah dipahami pendirian
Syekh Daud Pattani dan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari. Kalaulah Syekh Hamzah
Fansuri dan Syekh Syamsuddin As Sumatrani mengamalkan wahdatul wujud
dalam keadaan sadar, kedua mereka adalah ulama syariat, thariqat, dan ma'rifat.
Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As Sumatrani diakui oleh dunia nusantara sebagai
ulama syariat, thariqat, dan ma'rifat. Berdasarkan di atas inilah
latar belakang pembunuhan yang terjadi sebagai tersebut di atas.
Pada zaman itu Syekh Hamzah Fansuri telah wafat di
desanya Fansur, Singkil, berarti Allah ta'ala telah menyelamatkan beliau dari
fitnah besar, sedangkan Syekh Syamsuddin As Sumatrani menyelamatkan diri ke
Melaka.
Kenapa Nuruddin Ar-Raniry tidak mencontoh keputusan
hukum yang disepakati oleh Wali Sanga terhadap Syekh Siti Jenar di pulau
Jawa, yakni bukan menghukum murid-murid Syekh Siti Jenar, karena mereka adalah
orang awam, tetapi menghukum pancung atas Syekh Siti Jenar karena menganut
paham wahdatul wujud. Alasan Wali Sanga membunuh Syekh Siti Jenar
bukan seperti alasan Nuruddin Ar-Raniry menuduh Hamzah Fansuri dengan
Syamsuddin As Sumatrani sebagai mulhid dan zindiq, tetapi demi untuk
menyelamatkan orang-orang awam, akan tetapi hal keadaan ini tidak terlepas dari
pada sentuhan politik sebagaimana yang telah diungkapkan di atas. Sedangkan
budaya Jawa sejak zaman dahulu kala begitu hormat kepada ulama yang membawa
mereka kepada fanatik sedemikian rupa dan kebanyakan mereka adalah sangat
dangkal dalam ilmu syariat. Akan tetapi dengan orang awam kita di Aceh ini,
mereka menghormati ulama sedemikian rupa juga, tetapi syariat pada umumnya
tidak mereka tinggalkan karena mereka para ulama adalah panutan utama bagi umat
Aceh dalam ajaran keagamaan, syariat, thariqat, dan ma'rifat.
Justru karena itulah salah seorang Wali Sanga yang bernama Syekh Malaya
yang masyhur dengan panggilan Sunan Kalijaga sebelum memancung Syekh Siti Jenar
beliau mengungkapkan sebagai pernyataan dari Wali Sanga yang disaksikan
oleh sebagian rakyat pada waktu itu bahwa Syekh Siti Jenar mukminun 'indallah
kafirun 'indannas (مؤمن عند
الله كافر عند الناس) yang berarti: Syekh Siti Jenar adalah "Orang beriman
di sisi Allah, tetapi kafir menurut penglihatan manusia".
Adapun hal-hal yang terjadi dalam dunia tasawuf,
seorang ilmuwan Barat yang telah menulis sebuah buku yang berjudul Sufisme
Ibnu 'Atha'illah: Kajian Kitab Al Hikam, Victor Danner,
mengungkapkan sebagai berikut:
"Orang seharusnya mengingat bahwa Sufisme
merupakan esensi Islam itu sendiri, inti spiritualnya, dan ajaran
yang tidak asing lagi dalam tradisi Islam. Meski benar bahwa abad ke-3
H/ke-9 M, orang-orang Neoplatonis (penganut ajaran Plato; pengagum
Plato)[4].
Maka tindakan (usaha mencampuri ajaran Sufisme)[5]
berarti mencampuri pandangan atau perspektif (tinjauan) Sufisme, namun ia tidak
menjadikannya sebagai suatu transformasi radikal (تغير اساسي) sebagaimana diperkirakan banyak orang. Bagi kaum
Neoplatonis, tindakan (usaha mencampuri ajaran Sufisme) ini sepenuhnya sesuai
dan tidak bertentangan dengan doktrin-doktrin (ajaran-ajaran) Sufi tentang
Ketauhidan (Divine Unity). Dan bagaimanapun, semua itu bukan merupakan
gagasan-gagasan (hasil pemikiran palsu, namun benar adanya. Dan oleh karenanya
semua dapat dengan mudah diasimilasikan[6] oleh para guru
thariqat Sufi kemudian.
Tentunya, term[7]
Sufi dan term-term lainnya adalah sumber berikutnya dari Al-Qur'an (Qur'anic
Revelation), namun tidak dimaksudkan bahwa thariqat itu sendiri
merupakan hasil ciptaan berikutnya. Dari sudut pandang Sufi, thariqat
sebagaimana syariat adalah bersumber dari Nabi Muhammad SAW dan dari
sumber-sumber yang diwahyukan. Ia hanya muncul kemudian (setelah Nabi SAW)
manakala dibutuhkan sebagai klarifikasi (penjelasan ilmiah) dan kodifikasi
(penetapan keputusan-keputusan), saat term sufi muncul, tepat sekali ketika
lainnya, yakni aspek-aspek Islam yang eksoterik (ilmu yang dapat diketahui oleh
semua orang), muncul dengan predikat-predikat (sebutan; gelar) mereka sendiri,
seperti Madzhab Maliki, Hanbali dan lainnya. Oleh karena itu, esoterisme
(nilai-nilai yang bersifat batin) sufi muncul di waktu eksoterisme-legalistik
Islam[8]
mulai mengkristal (mulai kelihatan kecemerlangannya). Bagaimanapun realitas
thariqat dan sufisme selalu ada. Hanya ketika term sufi dan lain-lainnya
tersosialisasikan (memasyarakat), kita dapat mengatakan bahwa thariqat dan
sufisme adalah sinonim (muradif; dua perkataan dengan satu makna).
Mengenai esensi ajaran dan metode realisasi, orang
seharusnya menyadari bahwa kaum sufi begitu banyak mengingatkan kembali kepada
ajaran Nabi SAW sendiri. Karenanya tanpa pilar-pilar (tonggak) fundamental,
yakni Al-Qur'an dan As-Sunnah, maka tidak ada thariqat, tidak ada sufisme.
Syariat (hukum) Islam mengedepankan
pandangan keselamatan (salvation) anumerta individu (diri manusia
sesudah meninggal dunia), sementara thariqat mengedepankan pandangan
kebebasan (liberation) individu, melalui ma'rifat (gnosis)
dalam hidup ini.[9] Dilihat dari masanya, dua
segi Islam, esoterik (العلم
الضرورى) dan
eksoterik (العلم النظرى), terpisah dari periode
historis Islam awal, masing-masing punya guru, metode, terminologi, dan
pandangan-pandangannya sendiri. Bila terjadi konflik, itu tidak dapat dielakkan
karena ketidakpahaman eksoterik Islam. Perlu diingat bahwa selalu ada
rekonsiliasi-rekonsiliasi (permufakatan atau musyawarah dan rujuk kembali
kepada asal semula), dan banyak ahli hukum (fuqaha') yang memberi
pengesahan, serta masih adanya integritas (kesempurnaan; kejujuran) dan
independensinya guru-guru thariqat (kebebasannya mereka dalam menghayati
hasil-hasil mujahadah mereka). Semua ini telah dan akan selalu mengiringi
perjalanan Islam.
Adalah jelas bahwa syariat itu penting bagi
orang-orang muslim secara luas, namun thariqat hanya untuk sekelompok terbatas;
tetapi ini tidak berarti bahwa thariqat meniadakan syariat (law). Sebaliknya, tanpa syariat, maka tidak ada thariqat,
sebagaimana telah dinyatakan oleh kaum Sufi agung. Perbedaan besar antara kedua
dimensi (اتسـاع, مسـاحة, بعد, حجم, قدر) Islam terletak pada
pemahaman mendalam kandungan spiritual wahyu yang selalu ditunjukkan oleh kaum
Sufi. Bagaimanapun, kaum sufi selalu menunjukkan cinta kasihnya yang
spesifik terhadap kaum yang beriman (faith), namun belum mencapai
tingkatan sufisme, dan ini telah mereka lakukan karena menyadari betapa
langkanya iman di dunia ini. Keimanan yang dimaksudkan di sini bukan sekadar
keyakinan belaka.
Kata ma'rifat adalah term istimewa dalam
sufisme, yang merupakan pengetahuan hakiki (al-Haqq) yang dicapai oleh
seorang penempuh jalan thariqat. Tidak selayaknya ma'rifat dirancukan
(dipalsukan) dengan ma'rifat (gnoticism) tertentu sebagaimana
yang terjadi dalam agama Kristen awal. Sebagaimana pemahaman kaum sufi, bahwa
ma'rifat tercapai sebagai puncak keimanan dan bukan sebaliknya, sebagai puncak
kekufuran. Dalam hal ini mereka juga menggunakan term
"pengetahuan" secara umum (knowledge) atau "ilmu"
secara khusus (science), namun ini segera menjadi terlalu teoritis dan
abstrak, mengingat ma'rifat, disamping implikasi-implikasi (kesimpulan)
teoritisnya, punya pengertian pengetahuan Tuhan yang dirasakan atau yang
konkrit."
KESIMPULAN
1.
Seorang
muslim apabila keimanan dan keislamannya didasari atas pengamalan syariat, naik
kepada thariqat dan naik kepada ma'rifat, maka barulah terdapat kesempurnaan
selaku manusia yang mengetahui nilai-nilai syariat yang diciptakan oleh Allah
yang disampaikan oleh Baginda Rasulullah; berarti dia telah mempunyai
pengetahuan keagamaan berdasarkan yaqin yang wajib ia taati sehingga telah ada
padanya lampu tingkat dasar.
Maka barulah ia naik ke tingkat thariqat atau ainul
yaqin karena pengamalannya tidak hanya bersifat lahiriah semata tetapi
telah menyentuh nuraninya dalam hablum min allah setelah tingkat dasar
tadi yang bersifat hablum minan naas. Dan apabila hablum min allah
yang dibarengi dengan hablum minan naas naik lagi, barulah sampai pada
permulaan tingkat akhir yaitu ma'rifat kepada Allah SWT dan dapat dikatakan
pula dengan haqqul yaqin. Inilah hikmah yang terkandung dalam firman Allah
Surat 47 Muhammad ayat 19 :
فاعلم انه لآاله الا الله واستغفر لذنبك وللمؤمنين
والمؤمنات والله يعلم متقلبكم ومثواكم.
Artinya: "Maka ketahuilah, bahwa tak ada Tuhan (yang patut
disembah) selain Allah, dan mohonlah ampunan atas dosamu dan atas (dosa)
orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat usaha
dan tempat tinggalmu."
2.
Tandanya
seorang hamba Allah yang dapat dikatakan telah sampai kepada ma'rifatullah di
kalangan ulama Aceh di antaranya adalah:
Pertama, Syekh Abdurrauf As Singkili yang masyhur dengan panggilan Syiah Kuala. Beliau adalah seorang ulama
besar yang menguasai ilmu-ilmu agama dan pimpinan pusat pendidikan Baiturrahman
pada zaman Sultan Iskandar Muda dan kemudian berlanjut pada masa Sri Ratu
Safiatuddin Tajul Alam selaku mufti Kerajaan Aceh. Ia adalah mursyid thariqat
Syattariah yang beliau ambil ijazah dari Syekh Ahmad Khusyasyi (1583 – 1661 M)
di Madinah dan beliau kembali ke Aceh sekitar tahun 1083 H/1662 M. Thariqat
yang beliau amalkan dan kembangkan itu bertujuan untuk membangkitkan kesadaran
akan Allah SWT dalam batin manusia. Hal ini dicapai melalui pengamalan beberapa
macam zikir. Syiah Kuala menganut faham bahwa satu-satunya wujud
hakiki adalah Allah SWT. Alam ciptaan-Nya adalah wujud bayangan,
yakni bayangan dari wujud hakiki. walaupun wujud hakiki (tuhan) berbeda dengan wujud
bayangan (alam) terdapat keserupaan antara kedua wujud ini. Tuhan melakukan
tajalli (penampakan diri dalam bentuk alam). Sifat-sifat Tuhan secara
tidak langsung tampak pada manusia dan secara relative paling sempurna pada
insan kamil.
Beliau tidak setuju dengan tindakan pengkafiran yang
dilakukan oleh Nuruddin Ar-Raniry terhadap para pengikut Hamzah Fansuri dan
Syamsuddin as Sumatrani yang berfaham wahdatul wujud atau wujudiyah. Menurutnya, jika tuduhan pengafiran itu tidak benar, maka orang yang
menuduh dapat disebut kafir.
Pandangannya terhadap faham wahdatul wujud
dinyatakan dalam kitabnya Bayan Tajalli, buku ini juga merupakan
usahanya dalam merumuskan keyakinan terhadap ajaran Islam. Ia mengatakan bahwa betapapun
asyiqnya seorang hamba terhadap Allah SWT, Khalik dan makhluk tetap memiliki
arti sendiri.
Karena Syekh Abdurrauf As Singkili mengajar dan
kemudian dimakamkan di Kuala (muara) Krueng Aceh ia kemudian juga terkenal
dengan nama Tgk. Syiah Kuala, yang nama ini diabadikan menjadi nama Perguruan
Tinggi di Aceh (pada tahun 1961), Universitas Syiah Kuala. Ia juga sering
disebut sebagai WALI TANAH ACEH, makamnya dianggap tempat suci dan ramai
dikunjungi oleh penziarah termsauk dari
luar negeri/.
Setelah Sultan Iskandar Muda meninggal dunia maka
digantikan oleh puterinya yang juga janda Iskandar Tsani meminta kepada Syekh
Abdur Rauf dari Singkil untuk menulis beberapa kitab sebagai pegangan dan
pedoman bagi Aceh. Maka atas permintaan itu beliau menulis beberapa kitab di
antaranya Mir'at at Tullab fi Tahshil Ma'rifat Ahkam asy-Syar'iyyah li
al-Malik al-Wahhab
(مرآة الطلاب فى تفصيل معرفة الاحكام الشرعية للملك الوهاب).
"Cermin bagi Mereka yang Menuntut Ilmu Fikih dan Memudahkan
Mengenal Segala Hukum Syara' Allah"
Kedua, Hamzah Fansuri. Beliau
adalah sufi terkemuka dari Aceh apabila Syekh Abdurrauf Al Fansuri atau As
Singkili pendekar besar dalam syariat di
dan nusantara Islam. maka demikian pulalah Hamzah Fansuri adalah
pendekar besar dalam tasawuf Islam di Aceh. Konon saudara Hamzah Fansuri
bernama Ali Fansuri adalah ayah dari Abdurrauf As Singkili Al Fansuri.
Pada tahun 1417 H/1977 M, kami telah menulis susunan
syair yang berjudul Pertemuan Ma'rifat antara Syekh Hamzah Fansuri dengan
Syekh H. Muhammad Waly dalam syair Tauhid Sufi, sebagai berikut:
بسم الله
الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله سيدينا محمد
وعلى آله وصحبه ومن تبعه وبعد.
Syekh Hamzah Fansuri mengucapkan
dalam syairnya sebagai berikut:
I.
Hamzah Fansuri di dalam Makkah
Mencari Tuhan di Baitul Ka'bah
Dari Barus ke Kudus terlalu payah
Akhirnya terdapat di dalam rumah
Syarahku
Desa Fansur lahir Fansuri
Singkel itu kotanya negeri
Pantai barat Sumatra daerah ini
Alauddin Riayatsyah IV
sultannya Asyi
|
Sayyidil Mukammal gelar
sulthani
Abad lima belas penguasa Asyi
Kekuasaan Aceh stabil kembali
Iskandar Muda datang mengganti
|
Dengan Syiah Kuala satunya
negeri
Desa lahirnya juga Fansuri
Syiah Kuala ulama fiqhi
Hamzah Fansuri pendekar sufi
|
Hamzah berkunjung ke banyak
negeri
Sumatera dan Jawa beliau pergi
Siam dan Pahang dia masuki
Makkah Madinah apatah lagi
|
Mencari ilmu tauhidnya Rabby
Tekad mencari ilmu haqiqy
Mencari kepuasan dalam hal ini
Di mana saja beliau dapati
|
Semuanya itu beliau cari
Tanah suci tempat menggali
Tidak didapat maksud di hati
Tapi dapat di Barus negeri
|
Ilmu hakikat susah dicari
Kemana-mana beliau pergi
Berkat yakin 'azam di hati
Mendapatkan juga seizin Rabby
II.
Shalawat Nabi tali bobotnya
Istighfar Allah akan layarnya
Allahu Akbar nama anginnya
Subhanallah akan lajunya
Syarahku :
Ini gambaran thariqat sufi
Pengikatnya shalawat Nabi
Karena Nabi pintu Rabbani
Masuk di pintu adab yang murni
|
Ampun-Nya Allah Rabbul 'Izzaty
Ini harapan penting sekali
Baru di terima ibadat diri
Amal dan doa dia perhati
|
Allahu Akbar kaguman hati
Kebesaran-Nya jelas tajalli
Taqwa pun nikmat tanpa dicari
Berkat zikir pada illahi
|
Subhanallah hakikat inti
Zikir pada-Nya setiap kali
Barulah laju zikirnya hati
Sehingga lupa kepada diri
|
Tali bobotnya kuatkan akhi
Layar dikembang berhati-hati
Angin berhembus gembira diri
Kapal pun laju senang di hati
|
Kalau begitu dalam hal ini
Kepada Nabi ikatkan hati
Ma'rifat Allah ma'rifat Nabi
Barulah sampai tujuan asli
|
III.
Satu (kanlah) dengan dingin
Tinggal (kanlah) loba dan ingin
Hancur hendaklah seperti lilin
Maka dapat kerjamu licin
Syarahku :
Syair tadi membawa arti
Bahwa semua ciptaan illahi
Tauhid af'al istilah ini
Asma dan sifat masuk sendiri
|
Dingin menyatu sama sekali
Tidak berbagi hal keadaan ini
Hancurnya
lilin misalnya ini
Baru
ibadat sifat haqiqy
|
Martabat tauhid gambaran ini
Insan khawash sampai ke sini
Melalui jalan thariqat sufi
Dapat berhasil ke derajat ini
|
|
IV.
Hunuskan pedang bakarkan sarung
Isbatkan Allah nafikan patung
Laut tauhid juga kau harung
Di sanalah engkau dapat bernaung
Syarahku:
Beliau mengungkapkan di syair
ini
Wahdatul wujud Tauhid Rabbany
Ilmu hakikat dalamnya arti
Ilmu ma'rifat pada Illahi
|
Jangan terlihat sama sekali
Akal dan rasa di dalam diri
Penglihatan mata tidak berarti
Melihat alam semua ini
|
Kalau ma'rifat sudah begini
Tak ada yang maujud selain
Rabbi
Hilanglah diri terlihat Illahi
Itulah rupamu yang haqiqy
|
Ketika itulah wahai akhi
Sarung pedangmu tak ada arti
Bakarkan saja ke dalam api
Baru kau lihat pedang haqiqy
|
Pedang yang itu hunuskan akhiy
Memancung akwan sama sekali
Isbatkan Allah lahir bathini
Wahdatul wujud inilah arti
|
Sila berlayar di samudera ini
Lautnya tauhid luas sekali
Bathin merdeka terus mencari
Mencapai maujud sifat haqiqy
|
V.
Wujud nama perahunya
Ilmu Allah akan kruengnya
Iman Allah nama kemudinya
Yaqin ke Allah nama pawangnya
Syarahku :
Maksud dari syairnya ini
Tamsil gambaran wujud haqiqy
Iman Allah nama kendali
Wahdatul wujud Allahu Rabby
|
Nama perahu wujud Illahi
Sungai bernama ilmu haqiqy
Nama kemudi iman di hati
Nama pawangnya yaqin ke rabby
|
Apakah dengan sebagian gambaran syair tasawuf Hamzah Fansuri di atas,
wajarkah dikatakan Hamzah Fansuri mulhid dan zindiq seperti tuduhan Ar-Raniry?
Manusia yang mempunyai akal yang waras tidak sampai ke taraf demikian, selain
karena masalah politik di mana sebelumnya pengaruh Hamzah Fansuri dan
Syamsuddin As Sumatrani telah sangat besar dalam Kerajaan Aceh sehingga seperti
menutup pengaruhnya Syekh Nuruddin Ar-Raniry sendiri. Inilah salah satu sebab
sebagian orang yang dapat menerima fatwa Ar-Raniry seperti terbawa pula anti
terhadap thariqat-thariqat sifuyah.
Ketiga, Syekh H. Muhammad Hasan Krueng Kalee. Beliau lahir pada tanggal 13
Rajab 1303 H/18 April 1886 di Meunasah Keutembu Kabupaten Pidie. Beliau ulama
besar ahlussunnah wal jamaah dan menganut Thariqat Haddadiyyah yaitu
thariqat yang berpangkal kepada Said Abdullah Al Hadad. Beliau bukanlah
termasuk dalam golongan ulama yang terlalu kolot karena beliau juga ikut dalam
Musyawarah Pendidikan Islam yang di adakan di Lubok Banda Aceh pada tanggal 1
dan 2 oktober 1932 (30 Jumadil Awal – 1 Jumadil Akhir 1351 H), yang
membicarakan masalah pembaharuan pendidikan Islam. Beliau alumni Dayah Yan
di Kedah yang waktu itu dipimpin oleh Tgk. Syekh H. Muhammad Arsyad seorang
ulama besar yang berasal dari Kerajaan Aceh Darussalam. Salah seorang dari
muridnya Syekh Hasan Krueng Kalee ialah Tgk. Muhammad Daud Beureeh, ulama
pejuang kemerdekaan/Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo. Tgk. H.
Ahmad Hasballah Indrapuri adalah alumni Dayah Yan juga tetapi kealiman
Tgk. H. Hasan Krueng Kalee dalam pandangan masyarakat Aceh melebihi dari Tgk.
Ahmad Hasballah Indrapuri dan Tgk. Syekh Muhammad Saman yang alumni Dayah
Yan di Kedah juga.
Pendek kata, dari seluruh ulama semasa atau lebih kurang seumur dengan
Syekh Hasan Krueng Kalee dalam bidang ilmu pengetahuan, Syekh Hasan lebih
unggul dari mereka dan mengeluarkan alumni pesantren yang banyak pada zamannya.
Keempat, Tgk. Syekh H. Muhammad Waly Al Khalidy yang masyhur dipanggil
masyarakat dengan Tgk. H. Mudawaly.[10] Lahir pada tahun 1337 H (1917 M). Akan tetapi Prof. A.
Hasymi membetulkan: kalau tahun 1337 H maka tahun masehinya adalah 1918/1919.
Beliau lahir di desa Blang Poroh Labuhan Haji Aceh Selatan. Kami kurang
berkenan mengungkapkan sejarah hidup beliau, tetapi para pembaca hendaklah
membaca sebuah buku susunan Prof. A. Hasymi yang berjudul "Ulama Aceh
Mujahid Pejuang Kemerdekaan dan Pembangunan Tamaddun Bangsa", dan
silahkan juga membaca sejarah hidup beliau yang telah kami tulis dengan judul
"Ayah Kami Maulana Syekh Haji Muhammad Waly Al Khalidy" yang
dicetak oleh JWB Printers & Binders PTE LTD Singapore pada masa kami
menjadi Guru Besar luar biasa di Kulliyyah of Laws International Islamic
University Malaysia pada tahun 1993, kemudian dicetak ulang oleh Bapak H. Bustanul
Arifin mantan Menteri Koperasi dan Kepala Bulog Indonesia.
Beliau adalah ulama utama dengan KH. Abdul Wahab Hasbullah, Rais Am
Nahdhatul Ulama Indonesia dalam memutuskan hukum bahwa Presiden Sukarno adalah waliul
amri adh dharuuri bisy syaukah. Karena itu haram bagi rakyat Indonesia
memberontak kepada Bung Karno selaku presiden dan beliau juga mengungkapkan
kepada kami mahasiswa Perguruan Tinggi Bustanul Muhaqiqiin Darussalam Labuhan
Haji yang di antara mahasiswanya adalah Tgk. Syekh Abdullah Tanoh Mirah dan
Tgk. Syekh Abdul Aziz Samalanga, dan Tgk. Syekh Syihabuddin Keumala, dan
lain-lain. Beliau mengatakan apabila Aceh (pada masa Abu Beureueh dan
para pengikutnya) sudah tidak mengakui pemerintah dan pusat dapat mengatasi
Aceh di bawah pemerintah kekuasaannya, maka kita wajib takluk di bawah
komandonya tetapi amat disayangkan kenapa Abu Beureueh sebelum memulai
perjuangannya itu tidak mengadakan kontak dengan saya. Maka terjadilah
pertumpahan darah di Aceh.
Beliau mempunyai murid-murid yang banyak sehingga semua ulama di
pesantren Aceh ini langsung atau tidak langsung adalah tidak terlepas dari pada
pendidikan dan pengajaran beliau.
Walhasil aqidah ahlussunnah wal jamaah dan perkembangan
nilai-nilai tasawuf di Aceh ini tidak terlepas dari pada limpahan pengetahuan
Syekh H. Hasan Krueng Kalee dan kemudian dilanjutkan dalam berbagai ilmu
pengetahuan agama termasuk tasawuf Islam dan berkembangnya thariqat
naqsyabandiyah. Maka adalah laqab thariqat naqsyabandiyah
sekarang ini disebutkan dengan Al-Waaliyyah di samping dengan berbagai laqab
dari penggal masa ke masa dalam perkembangan thariqat naqsyabandiyah,
sebagai berikut:
1. الصديقية 2. الطيفورية
3. الخوجكانية
4. النقشبندية
5. الأحرارية 6. المجددية 7. الخالدية 8. الوالية
Mengenai dengan masyrab (penghayatan) beliau dalam ma'rifat beliau
sering mengungkapkan di sela-sela shalat tharawih dalam bahasa Aceh sebagai
berikut:
Teusom akwan leumah Tuhan
Teusom akwan leumah Rabbii
Wa – in ghibtu badaa
Wa – in badaa ghayyabanii
|
Leumah Tuhan dengun wujdaan
Meukon meunan sesat achy
Karena wujdaan wahai tuan
Kamu sekalian datang keumari
|
Beuta yaqin wahai rakan
Musuh wujdaan wujud diri
Wujud diri kota syaithan
Penghancurnyan hidayah Rabbii
|
Jalan meuteumeung hidayah nyan
Suluk rakan thariqat sufi
Di Darussalam na thariqat nyan
Bubit nyoe meunan wahai ya
Rabby
|
Di Darussalam na gunong intan
Yang peugoet nyan salik sufi
Yang dimaksud bak peugot nyan
Keridhaan Allah wahai ya Rabbi
|
Khalifatii wa muriidii
Bek istighal dengan faani
Bak istighal deungon haqiqi
Serta dengan syariat Nabi
|
So istighal ngon haqiqi
Serta hana ngon syari'iy
Nyan keuh ureung yang zindiqi
Meunan neukheun le Maliky
|
So isytigal ngon syari'iy
Serta hana ngon haqiqi
Nyan keuh ureung wahai akhy
Berhampiran ngon Wahaby
|
Neupeu ampon lon wahe ya Rahman
Bak jeud berjalan deungon Nabi
Bak meurumpok dengan 'iyaan
Dengan junjungan di Kautsary
|
Neupeu ampon lon wahe ya
Mannaan
Ji kheun le rakan lon ka shufi
Bak jeud keu sabab ji kheun
meunan
Sitrul jamil wayaa sayyidii
|
Padahal lon tuan kon lagenyan
Jiuohnya panggang darinya nari
Ma'af sayyidii yang na harapan
Asirul akwan Muhammad Waly
|
3.
Mengenai dengan perkembangan thariqat di Nanggroe Aceh
Darussalam, saya melihat sebagai berikut:
a.
Bahwa thariqat suluk yang dipimpin oleh Tgk. Muhammad
Sa'id (Tgk. 'Id) di Teupin Raya Pidie, seorang ulama di Krueng Mideun bernama
Tgk. H. Ben diwaktu beliau naik haji ke Mekkah menanyakan pada ulama-ulama
Mekkah dan Madinah mengenai thariqat yang berkembang di Teupin Raya di masa
itu. Setelah H. Ben menguraikan ajaran-ajaran thariqat itu, ulama tersebut
memberi fatwa, thariqat itu salah dan orang yang mengerjakannya menjadi murtad.
Maka sepulangnya dari Mekkah oleh H. Ben mengadakan
musyawarah dengan beberapa ulama dan beberapa ulee balang di Pidie di antaranya
Bentara Keumangan dan Bentara Semasat. Mula-mula Tgk 'Id disuruh bertaubat dan
menyerah kepada ulama, tetapi karena ia berkeras, terjadilah serang menyerang
sampai tiga hari, dan akhirnya Tgk. 'Id dapat di bunuh serta beberapa
pengikutnya yaitu pada bulan Jumadil Akhir tahun 1287 H.
Demikian tulisan Tgk. H. Abdullah Ujong Rimba yang
beliau nukilkan dari cerita Tgk. H. Ben dalam sebuah hikayatnya yang bernama
Perang Salik.
Penulis risalah ini berpendapat. Cerita di atas masih diragukan karena
beberapa hal :
-
Thariqat apa yang disalahkan itu. Karena thariqat ada
dua macam. Ada thariqat mu'tabarah dan ada thariqat ghairu mu'tabarah.
Thariqat mu'tabarah tidak menyimpang dari tauhid, menurut pemahaman
ulama tauhid Asy Sya'irah dan Al Matrudiah, sedangkan thariqat ghairu
mu'tabarah adalah kebalikannya dan yang dipimpin oleh ulama yang tidak
menguasai ilmu syariat, ilmu thariqat dan ilmu ma'rifat. Karena itu masih
diragukan.
-
Thariqat itu mesti ada namanya, supaya kita dapat
menempatkan apakah thariqat itu benar atau tidak benar.
Apabila hal keadaan ini tidak ada dasar yang dapat diyakini maka ini
tidak lebih dari pada fitnah semata-mata.
b.
Fatwa dari seorang ulama mufti Syafi'i di Mekkah di
masa kerajaan Syarif Husain, bernama Muhammad Sa'id bin Muhammad Babusil
(Babasil), mengenai pertanyaan tentang thariqat Naqsyabandiyah yaitu bagaimana
pendapat tuan terhadap riadhah (latihan) yang terkenal dalam thariqat
naqasyabandiyah. Menurut cara berlaku di masa kami ini? Adakah cara itu
dilakukan di masa Rasulullah SAW, di masa sahabat dan di masa tabi'in? Adakah
cara itu cocok dengan syariat-sufi, atau tidak? Tunjukkanlah fatwa tuan kepada
kami.
Jawab dari mufti:
Menurut yang sampai kepada kami mengenai thariqat
naqsyabandyah dan bukan thariqat naqsyabandyah pada masa kami ini, bahwa
kebanyakan dari cara-cara itu bertentangan dengan syari'at Muhammad, dan
cara-cara itu tidak berlaku sedikit pun di masa sahabat, dan tidak berlaku pula
di masa tabi'in, karena itu wajib atas orang yang bertugas mencegah munkar
supaya mencegah segala di ada-adakan mereka dari perbuatan-perbuataan yang
bertentangan dengan syara'. Sebaik-baik thariqat dan sedekat-dekatnya untuk
sampai kepada Allah ialah mencari ilmu dan mengamalkannya secara jujur dan
ikhlas, Allah selalu memberi taufik kepada orang yang dirihai-Nya.
(Ditulis
oleh hamba yang arif kepada Tuhan yang amat Murah, Muhammad Sa'id dan Muhammad
Babasil, Mufti Syafi'i di Mekkah Al Mukarramah)
Kami berpendapat:
Bahwa mufti Mekkah tersebut rujukannya sangat kurang
sehingga ia mengatakan seperti di atas: bahwa kebanyakan dari cara-cara itu
yakni riadhah yang terkenal dalam thariqat naqsyabandiyah bertentangan dengan
syariat Muhammad adalah tidak benar sama sekali. Harap baca di antara
kitab-kitab thariqat naqsyabandiyah seperti (تنوير القلوب) oleh Syekh Muhammad Amin Al Kurdi, dan kitab (جامع الأصول) oleh Syekh Ahmad Dhiauddin An
Naqsyabandy al Mujaddidy dan banyak sumber-sumber yang lain baik yang sudah di
cetak atau yang masih bersifat manuskrip di Egyption Library Cairo. Maka seruan
untuk mencegah kemunkaran dalam hal ini adalah terbalik, bahwasanya seruan itu
harus ditujukan kepada mufti dan pengikut-pengikutnya di mana saja.
c.
Fatwa dari seorang ulama mazhab Maliki Syekh Syua'ib
bin Abdurrahman Ash Shiddiqi dari Maghribi Maroko mengenai pertanyaan tentang
thariqat naqsyabandiyah, yaitu bagaimana pendapat tuan, (tetaplah kemuliaan
Tuan) terhadap cara ibadah yang terkenal dalam thariqat naqsyabandiyah, menurut
cara yang berlaku di masa kami ini adakah cara itu berlaku di masa Rasulullah,
di masa sahabat, dan di masa tabi'in, apakah tidak? Apakah cara itu cocok
dengan syariat suci. Ataukah tidak? Uraikanlah kepada kami fatwa tuan.
Jawab mufti:
Allah jua yang memberi taufiq kepada yang benar,
bahwasanya apa yang ditanyakan mengenai pelaksanaan thariqat naqsyabandiyah
menurut setahu kami tidak pernah berlaku di masa Nabi, tidak pernah di
masa shabat dan tidak pernah di masa tabi'in, bahkan ulama-ulama yang
muhaqqiqin dari guru-guru kami tidak membernarkannya dan tidak membenarkan
adanya cara-cara itu di masa setelah salafus shalih.
Kami berpendapat:
Bahwa jawabannya ini tidak terlepas dari pada jawaban di atas.
Ketahuilah bahwa gambaran ibadat yang diistilahkan dengan thariqat belum
ada pada zaman Nabi, pada zaman sahabat dan pada zaman tabi'in. kalau pun sudah
ada hanya sanya sekedar menggambarkan pilihan antara para ulama dari
zikir-zikir atau nilai-nilai yang tersebar luas dalam arti pemahaman Al-Qur'an,
Hadits, Sejarah para Sahabat yang tidak bertentangan dengan Al-Qur'an, Hadits,
Ijma', Qiyas, dan Atsar (yakni perkataan para sahabat dan perbuatan mereka juga
perkataan dan perbuatan salafus shalih yang tidak bertentangan dengan semuanya
itu. Berarti istilah thariqat adalah baru tetapi kandungan thariqat adalah lama
dalam arti tidak bertentangan dengan nila-nilai aqidah syariat dan dasar-dasar
di atas. Justeru karena itulah maka ada istilah As-Salaf dan istilah Al
Khalaf.
Kemudian mufti di atas melanjutkan lagi:
Orang-orang yang mengatakan bahwa yang demikian pernah berlaku di masa
Nabi dikhawatirkan akan tergolong ke dalam umum kata Nabi.
من كذب علي متعمد فليتبواء مقعداه من النار
"Orang yang sengaja
mengada-adakan dusta kepada saya, pastilah ia masuk ke dalam neraka."
Mufti Al
Maghribi (Maroko)
Syu'aib bin
Abdurrahman Ash Shiddiqi Al Maghribi.
Pendapat di atas, kami menjawab sebagai berikut:
Bahwa tartibat pengamalan thariqat seperti yang
diamalkan oleh para ulama thariqat dan para pengikutnya memang tidak pernah
berlaku di masa Nabi, tidak pernah di masa sahabat, dan tidak pernah di masa
tabi'in, dan para ulama muhaqqiq tidak membenarkannya dan tidak membenarkan
adanya cara-cara itu di masa salafus shalih.
Pengertian tidak pernah, betul tidak pernah
tetapi ada. Ada di masa Nabi, ada di masa sahabat, dan ada di masa tabi'in.
"ada" dalam arti maddiyyah, bukan ada dalam arti tartibiyyah. Zikir
ada di masa Nabi, taubat ada di masa Nabi, membaca ayat sebelum dan sesudah
berzikir ada di masa Nabi dan tidak ternafi keberadaannya di masa sahabat,
tabi'in dan salafus shalih. Pendapat mufti itu adalah jawaban yang benar karena
dia mengatakan tidak pernah, bukan tidak ada. Ulama yang muhaqqiq itu ulama
yang mana, karena setiap ilmu ada muhaqqiqnya. Apakah ulama syariat, thariqat,
dan ma'rifat menolaknya? Tidak. Baca kitab-kitab tauhid/ushuluddin yang bersifat
salafi dan khalafi. Baca kitab-kitab ahlussunnah wal jamaah, bukan
ahlussunnah saja tetapi tambah wal jamaah yang alim, yang banyak
membaca, yang mu'tabar di kalangan ulama Islam yang mendunia, tidak ada yang
menyalahkan thariqat-thariqat yang mu'tabarah, terkecuali yang bukan
mu'tabarah. Periksalah mana yang mu'tabarah dan mana yang bukan mu'tabarah.
d.
Bagaimana dengan fatwa Syekh Ahmad Khatib Bin Abdul
Latif al Minangkabawi Imam Masjidil Haram Mekkah Al Mukarramah di masa kerajaan
Syarif Husain dengan judul kitabnya اظهارزغل
الكاذبين (Pengungkapan Tipuan Para Pembohong) cetakan kedua
pada Matba'ah Taqaddum, Mesir tahun 1344 H, adalah senada dengan fatwa-fatwa
mufti di atas dan dilihat judul dari kitab tersebut seakan-akan lebih dahsyat
lagi isinya dari fatwa-fatwa mufti lainnya.
Di sini kami berkata, bahwa Syekh Ahmad Khatib bukan pendekar dalam ilmu tasawuf thariqat
dan bukan pula pendekar dalam ilmu tauhid ma'rifat. Beliau adalah pendekar
dalam ilmu fiqh dan ushul fiqh, dan dalam hal ini diakui oleh sebagian ulama.
Dan ada catatan dari ulama Minangkabau zaman dahulu, bahwa pada masa 40 hari, yaitu
10 hari sebelum ramadhan dan 30 hari dalam bulan ramadhan, demikian juga 20
hari dalam bulan maulud , dan 20 hari dalam hulan haji halaqah pengajian ahmad
khatib sepi Karena para murid beliau pada masa-masa itu naik ke atas Jabal
Qubis mendalami ilmu tasawuf dan ilmu thariqat dan ini selaku manusia biasa
agak kurang mengenakkan bagi beliau. Maka timbullah karangan di atas di samping
itu di cap oleh para ulama Minangkabau pada masa itu : "Apabila tuan terus
menulis seperti yang demikian dan tidak rujuk kepada jalan yang benar, maka
nama tuan akan jatuh di alam minangkabau ini, tidak ada artinya".
Ada sebagian riwayat yang mengatakan bahwa Syekh Ahmad Khatib tidak
melanjutkan tulisannya lagi dan sudah rujuk kembali kepada mengakui adanya
thariqat mu'tabarah di hadapan para pelajar Minangkabau yang belajar di Mekkah
Al Mukarramah pada zaman itu.
e.
Fatwa dari Majelis Ulama Propinsi Daerah Istimewa Aceh
dalam rapat kerja tanggal 18 s/d 23 Syawal 1394 H bertepatan dengan tanggal 3
s/d 8 November 1974 M, berdasarkan berita-berita dan pertanyaan-pertanyaan yang
diterima dari daerah Tingkat II mengenai pelaksanaan thariqat-thariqat dan
thariqat Mufarridiyah setelah membahas dan meneliti secara mendalam
berpedoman kepada kitab suci dan hadits Nabi secara ijma' ulama, rapat
mengambil keputusan sebagai berikut:
·
seluruh thariqat yang pelaksanaannya bertentangan
dengan syariat islam tidak dibenarkan
·
thariqat-thariqat yang pada saat ini sedang berkembang
di Aceh, pada prakteknya bertentangan dengan syariat Islam
·
thariqat mufarridiyah yang telah diadakan
penelitiannya oleh Majelis Ulama adalah ajaran yang berada di luar ajaran Islam
·
Orang yang mengikut dan menganut serta menjabarkan
thariqat mufarridiyah adala sesat dan menyesatkan.
Kami menanggapi :
1. Bahwa
fatwa majelis ulama tersebut tidak teliti dan sama sekali tidak meyakinkan,
karena fatwa itu berdasarkan kepada berita-berita. Padahal yang namanya
berita-berita sama sekali tidak dapat dijadikan alasan yang meyakinkan.
Dikatakan lagi berdasarkan pertanyaan-pertanyaan. Kita bertanya siapa
orang-orang yang bertanya itu. Jangan-jangan dia tidak bisa membaca kitab-kitab
para ulama yang mendalam dalam bidangnya, artinya kitab hakikat-tauhid dan
tasawuf dengan berbagai judul. Jangan-jnagan pertanyaan-pertanyaan itu adalah
sekedar menghasut dan memecah belah kesatuan umat Islam di Aceh yang ahlussunnah
wal jamaah. Bahkan kitab suci Al-Qur'an, Hadits Nabi, serta Ijma' ulama,
manakah dalil-dalil itu yang jelas menerangkan baik secara manthuq maupun
secara mahfum yang mu'tabar mengungkapkan thariqat-thariqat sufiyah mu'tabarah
adalah sesat dan menyesatkan. Sehingga ditetapkan pula bahwa pelaksanaannya
bertentangan dengan syariat Islam dan tidak dibenarkan. Ini adalah fatwa yang
sangat keliru dan pada hakikatnya sesat menyesatkan.
2. Apakah
thariqat-thariqat mu'tabarah yang berkembang di Aceh sejak dulu sampai sekarang
bertentangan dengan syariat Islam? Coba buktikan, jangan menjual atau membeli
kucing dalam karung.
3. Bagaimana
gambaran thariqat mufarridiyah, sebab thariqat ini tidank terkenal bahkan tidak
ada dalam kelompok thariqat-thariqat mu'tabarah.
4. Oleh
karena itu maka tidak sah menghukum ajaran thariqat mufarridiyah apabila belum
mengetahui hakikat ajarannya. Bahkan semua thariqat mu'tabarah apabila tidak
diketahui dengan pasti ajaran-ajarannya, maka haram berfatwa ke atasnya. Kaidah
hukum berkata :
الحكم على الشيء بعد معرفة حقيقة
Menjatuhkan hukum atas sesuatu, mestilah setelah mengetahui hakikatnya
(sesuatu itu)
SARAN DAN
HIMBAUAN
1. Ulama
Aceh yang berasal dari Aceh, yang hidupnya adalah untuk Aceh seperti Syekhul
Akbar Hamzah Fansuri dan Syekhul Akbar Syamsuddin As Sumatrani
hendaklah kita semua menghormati kedua beliau dengan jalan meletakkan nama
keduanya pada lembaga yang bersifat perguruan tinggi atau pada lembaga islami
yang menjadi rujukan dan kemegahan bagi kita bersama. Kedua beliau ini lebih
dari pada Ar-Raniry apalagi Ar-Raniry telah mencap keduanya ini kafir dan
zindiq. Ar-Raniry melihat Syekh Abdul Rauf As Singkili laksana matahari yang
tidak bisa ditentang karena keilmuannya dan perjalanan ilmiah yang telah ia
capai yang bersifat internasional dan didukung oleh kerajaan Aceh sedemikian
rupa pada zamannya. Syamsuddin Sumatrani adalah murid Hamzah Fansuri, justeru
itu maka Ar-Raniry melalui kerajaan Aceh yang dia telah masuk dalam struktur
kerajaan pada masa itu dapat memukul Syamsuddin as Sumatrani dan pengaruh
beliau hingga beliau hijrah ke Pulau Melaka, dan pada waktu itu bertepatan pula
dengan rencana Aceh untuk menyerang Portugis di Melaka, maka Syekh Syamsuddin
As Sumatrani mantan Qadi Malikul Adil pada zamannya menggabungkan diri dalam
Laskar Mujahidin Aceh Armada Cakradonya II, maka terjadilah musibah yaitu
syahidnya Syamsuddin as Sumatrani dan sebelum berangkat armada cakradonya kedua
ke Melaka Sultan Iskandar Muda mendapat musibah dari Allah sehingga dengan hati
besar harus menjatuhkan hukuman mati kepada putera mahkotanya yang sedianya
menggantikan Iskandar Muda, walaupun qadi malikul adil pada masa itu
(mungkin Ar-Raniry), para wazir/menteri dan permaisuri Putri Pahang
menghadap Iskandar Muda memohon agar beliau mempergunakan "hak
istimewanya" untuk memberi ampunan kepada putera mahkotanya. Iskandar
Muda menjawab "Tidak, tidak mungkin! Dia telah mencemarkan Kerajaan Aceh
Darussalam, bahkan dia telah menodai agama Islam." Jawaban pastinya itu
ditutup dengan kata berhikmah, "matee aneuk na jeurat gadoh adat ho
tamita".
2. Mengusulkan
kepada pemerintah daerah NAD semoga membentuk sebuah badan penyelidik khusus
mengenai ajaran-ajaran kebatinan dan thariqat-thariqat yang ada, mana yang
mu'tabarah dan mana yang tidak mu'tabarah, mana yang benar dan mana yang
sesat menyesatkan. Apalagi sekarang ini banyak kita lihat kelompok yang
secara lahiriah berpakaian sufi tetapi menyimpang dari pada ajaran Islam dan
juga kelompok-kelompok tasawuf atau mungkin sebagian penganut thariqat
menjadikan ajaran yang disebarkannya itu sebagai usaha kepentingan ekonomi. Na'udzibillah
min zalik.
Catatan:
Kami menulis tulisan ini karena
memperkenankan permintaan para ulama dayah. Terlebih-lebih lagi memperkenankan
permintaan dari ketua Majelis Ulama Daerah Istimewa Aceh tanggal 18 s/d 21
Syawal 1394 H, bertepatan dengan 3 s/d 8 November 1974 M, yang berbunyi:
Kami sedia menerima
sanggahan-sanggahan dari kaum muslimin terhadap masalah-masalah yang tercantum
dalam risalah ini, kalau sanggahan-sanggahan itu dibarengi dengan fakta-fakta
yang menjadi pegangan dan landasan bagi Syariat Muhammad SAW. Karena tujuan kami
semata-mata untuk mencapai kebenaran bukan untuk mencari ketegangan.
Permohonan:
Mari kita mencari kebenaran dalam sifat pembahasan secara ilmu
pengetahuan dan mari kita menghindari hal-hal yang bersifat fanatic dan emosi.
Dahulukanlah hati yang ikhlas, akal yang waras, dan kepentingan masyarakat yang
lebih luas. Inilah isyarah logika dari Abdurrahman Al Akhdhari:
واصلح الفسـاد بالتأ مل – وان بد يهة فلا تبدل لاسيما فى
عاشر القرون- ذى الجهل والفسـاء والفتون.
Perbaikilah kerusakan dengan
berfikir secara ilmu pengetahuan.
Dan jika anda berfikir dengan
gampang tanpa ilmu pengetahuan
maka jangan anda robah apa yang
telah diungkapkan, lebih-lebih dalam 10 abad kurun waktu.
Orang bodoh, orang perusak,
tukang fitnah, berada dalam setiap masa dan setiap keadaan.
Wallahu a'alam bissawab,
الفقير الحقير
Prof.Dr. Muhibbuddin Muhammad Waly,MA
[1]Lahir, Lok
Gabang, Martapura, 15 Safar 1122 H/19 Maret 1710 (wafat , Kalampayan, Astambul,
Banjar, Kalimantan Selatan, 6 Syawal 1227 H/13 Oktober 1812). Seorang ulama
besar yang sangat berpengaruh dan memegang peranan penting dalam sejarah
perkembangan Islam, khususnya di Kalimantan; tokoh yang gigih mempertahankan
dan mengembangkan faham Ahlussunnah Wal Jamaah dengan teologi Asy
'ariyah dan fiqh mazhab Syafi'i; mufti kesultanan Banjar dan penulis
kitab-kitab agama yang cukup produktif.
[2] Tanggal
kelahirannya yang pasti tidak diketahui, diperkirakan dia lahir pada tahun 1709
(1122 H). Daud Pattani hidup sezaman dengan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari,
seorang ulama fiqh dan tasawuf yang berasal dari Banjarmasin. Malah dikatakan
mereka dua sahabat karib yang sama-sama belajar di Mekkah selama 30 tahun dan
di Madinah selama 5 tahun.
[3] Dengan nama lengkap Muhammad bin Ali bin Hasanji bin
Muhammad Hamid Ar-Raniry al-quraisy As Sata'i adalah seorang ulama terkemuka
yang menjadi seorang mufti di aceh dari 1637-1644 M (1047-1054 H). Ia keturunan
arab, kelahiran kota pelabuhan Ranir (Rander), Gujarat India, tapi tidak
diketahui tahun kelahirannya. Wafat 22 Zulhijjah 1069 H/21 September 1658 M. Hidup pada
zaman pemerintahan Sultan Iskandar Tsani
pada tahun 1636-1641 sebagai Mufti Kerajaan pada tahun 1637 M/1047 H – 1644
M/1054 H.
[4] Plato
hidup dalam tahun 427 – 348 SM, dipandang sebagai filosof yang pertama sekali
menyebut kalimat "idealis" yang ditujukan kepada pengertian rohani
semata-mata. Sebagai murid utama Socrates, seorang filosof Yunani yang hidup
pada abad ke-4 SM dan wafat pada tahun 399 SM. Plato mengembangkan doktrin
gurunya di samping menyempurnakan pemikiran-pemikirannya. Menurut ahli
fikir tersebut, perbuatan dan tingkah laku manusia difahamkan dengan
cita-citanya sekalipun mengerti bahwa cita-cita itu tidak bisa sampai. Segala
keadaan di dunia ini tidak kekal, selalu berubah. Karena itu menurut Plato,
dunia yang ditempati manusia ini adalah dunia bayangan, sedangkan
dunia cita-cita adalah dunia yang kekal yang tidak berubah, yang selalu
dicari manusia yang berfikir dan berpengetahuan menurut rasio.
Apakah yang dinamakan Tuhan
menurut pendapat Plato? DIA adalah sumber segala sesuatu dan tempat kembali
segala sesuatu. Dialah pikiran kebaikan yang ada dengan sendirinya sebelum ada
masa dan akan tetap ada sesudah masa, tidak ada perhubungannya dengan masa dan
tidak ada pengaruh masa bagi dirinya. Dari padanya terbit segala kebenaran yang
kekal.
Menurut Plato segala
keadaan di dunia ini tidak kekal, selalu berubah. Karena itu, dunia yang
ditempati manusia ini adalah dunia bayangan, sedangkan dunia cita-cita
adalah dunia yang kekal yang tidak berubah. Dan kalau dunia yang ditempati
manusia itu bersifat baharu maka jelas bahwa tiap-tiap baharu itu ada mempunyai
sebab yang membaharukannya.
Tidak dapat diterima akal
sesuatu terjadi dengan tidak ada sebab. Adalah
nyata sekali alam ini baharu, karena ia dilihat, dirasa, dan juga berbenda.
Semua sifat ini dapat dirasai.
Apa yang diungkapkan oleh
Plato diperkuat kebenarannya oleh Asy-Syarastani dalam Kitabnya Al-Milal wa
Al-Nihal.
Tentang socrates adalah
terkenal dengan semboyannya "Kenalilah diri engkau dengan diri engkau
sendiri". Semboyan ini diungkapkan oleh para ulama Tauhid-tasawuf dengan semboyan
: من عرف نفسه فقد عرف ربه "Barang
siapa yang kenal pada dirinya, maka ia pasti kenal pada Tuhannya".
Semboyan itulah yang berasal dari filsafat Socrates yang kemudian
ditafsirkan oleh muridnya Plato dan seterusnya kemudian diungkapkan pula oleh
Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadits yang masyhur dan kemudian menjadi dasar
utama bagi ketauhidan dalam ilmu Tauhid (Islamic Theology). "Theos"
yang berarti Tuhan dan "logos" yang berarti ilmu (ilmu
tentang Tuhan atau ilmu ketuhanan, yang bagi umat Islam dengan ilmu
ketuhanan yang Maha Esa).
[5] Yakni
ajaran sufisme itu harus menyertai semua disiplin ilmu pengetahuan.
[6]
Asimilasi : penyesuaian, penyelarasan.
[7] Term
: istilah
[8]
Nilai-nilai Islam yang ilmunya sudah terbuka dan sah.
[9]
Karena itu maka thariqat bermacam-macam, sesuai dengan amaliah yang dipandang
lebih mantap pada pengamalan lahiriah dan batiniah. Dan hal keadaan ini
berdasarkan ma'rifatnya (penghayatan batinnya yang begitu mantap dalam
mengisi hidup dan kehidupan).
[10] Asal
usul perkataan Muda dalam nama beliau adalah berasal dari Sumatera Barat karena
beliau lebih kurang dalam usia 20 tahun telah menjadi sambungan lidah bagi para
ulama Ahlussunnah wal jamah di Sumatera Barat. Apabila terjadi perdebatan di
mana-mana antara kelompok kaum Muda terhadap kelompok kaum tua, maka para ulama
Sumatera Barat mengemukakan beliau dalam menghadapi debat-debat yang
dikemparkan oleh kaum muda. Semua pertanyaan dalam istu dapat beliau jawab
berdasarkan disiplin ilmu pengetahuan agama, sehingga ulama kaum muda tidak
dapat berkutik lagi dan para ulama-ulama besar kaum tua merasa puas dengan
jawaban beliau. Maka lahirlah pemunculan panggilan para ulama terhadap beliau
dengan Tgk. Mudo Abdullah Waly dan kemudian diralat selanjutnya dengan Tuanku
Mudo Waly.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar