Sabtu, 27 September 2014

AQIDAH ISLAMIYAH YANG BENAR (MUSTAQIMAH)


             
Oleh: Abuya Prof.Dr.KH.Muhibbuddin Waly,MA


I

Judul  ini mari kita bahas sebagai berikut:
I.         Pengertian Aqidah
Aqidah disebutkan juga dengan i’tiqad atau dengan mazhab atau dengan creed atau believe, artinya: ajaran yang telah terikat dalam hati sehingga menjadi kenyataan dalam kepercayaan dan keyakinan sehingga dapat juga disebutkan dengan faith dan doctrine. Apakah aqidah itu benar menurut ajaran Islam atau tidak meskipun pada sebagian orang mengatakan aqidahnya benar tetapi pada hakikatnya adalah tidak benar. Itulah sebabnya, maka dalam kitab-kitab tauhid diistilahkan kepercayaan dengan aqidah yang artinya ma’rifah yang hakikat dari pada ma’rifah itu ialah keimanan yang sejalan dengan kenyataan yang timbul dari dalil yang benar. Kenyataan yang dikehendaki menurut ulama tauhid ialah yang sejalan menurut ilmu Allah, seperti yang terungkap dalam Lauhul Mahfuzh dan kemudian dijelaskan oleh kitab-kitab suci yang sah yaitu Taurat, Zabur, Injil, dan ditutup dengan kitab suci Al-Qur’an.
Apabila aqidah itu tidak sejalan dengan kenyataan yang benar menurut dasar di atas, maka dikatakan dengan juhul murakkab (kejahilan berganda) seperti aqidah orang Nasrani tentang Trinitas dan aqidah-aqidah yang tidak benar.

II.        Tauhid Selaku Aqidah
Setiap Nabi dan Rasul dan umat yang beriman kepada mereka mempunyai keimanan yang benar tentang kemahaesaan Allah SWT. Aqidah tauhid bagi setiap Nabi dan Rasul adalah merupakan keterpaduan dari kenabian dan kerasulan yang tidak bisa dipisahkan dan untuk tauhid itulah para Nabi dan Rasul diangkat oleh Allah selaku Nabi atau selaku Rasul. Belum ada tauhid pada setiap zaman mereka merupakan disiplin ilmu pengetahuan seperti tauhid yang kita kenal sekarang ini.

III.   Berbagai Nama Ilmu Tauhid
            Dalam memahami soal-soal aqidah dalam Islam lebih baik terlebih dahulu dimaklumi istilah-istilah yang terpakai dalam lingkungan ini.
  1. Ilmu Ushuluddin, yakni ilmu mengenai pokok-pokok agama yang membicarakan soal-soal aqidah dalam Islam, yaitu :
a.       Kepercayaan (aqidah, i’tikad) yang bertalian dengan ketuhanan (ilahiyah).
b.      Kepercayaan yang bertalian dengan kenabian (nubuwat)
c.       Kepercayaan yang bertalian dengan hal keadaan yang ghaib (hari akhirat, surga, neraka, dan lain-lain)
d.      Dan lain-lain soal kepercayaan
  1. Ilmu Kalam, yakni kalamullah, karena dalam ilmu ini banyak dibicarakan sifat-sifat Allah, di antaranya kalam (berkata), di antara sifat-sifatnya. Ulama-ulama dan ahli-ahli ilmu kalam dinamai mutaqallimin atau mutaqallimun.
  2. Ilmu Tauhid, yakni ilmu keesaan tuhan karenanya banyak dibicarakan dari ilmu ialah tentang keesaan tuhan.
  3. Ilmu Aqaidh, atau ilmu aqidah yakni ilmu i’tiqad karena yang  banyak dibicarakan dalam ilmu ini ialah masalah-masalah i’tiqad atau kepercayaan (keimanan).
  4. Ilmu Sifat Dua Puluh, menurut sebagian orang-orang Islam yang berbahasa dengan bahasa melayu karena di dalam ilmu ini dibicarakan dua puluh sifat yang wajib bagi Allah.
Semua istilah di atas hakikatnya satu, yakni kepercayaan tentang ketuhanan, kenabian dan keakhiratan. Dan ini disebutkan dengan ilmu mengenai  ushul agama atau pokok-pokoknya.
Kalaulah demikian maka istilah keagamaan yang disebutkan dengan furu’ syari’at ialah ilmu yang bertalian dengan ibadah, perkawinan, jual beli, politik, dan lain-lain.
Kesimpulan bahwa ushuluddin dan istilah-istilah yang berkenaan dengannya merupakan i’tiqad-i’tiqad atau aqidah-aqidah sedangkan furu’ syari’at merupakan nilai-nilai hukum yang bersifat lahiriah.

IV.  Aqidah Pada Masa Hidup Nabi Muhammad SAW
            Pada masa hidup Nabi Muhammad SAW tidak ada permasalahan pada aqidah karena semuanya mudah dan segala sesuatu dapat ditanyakan kepada baginda.
            Sahabat-sahabat Nabi berada di hadapan Baginda mendengarkan wahyu Illahi yang turun sewaktu-waktu, ada yang menuliskan wahyu itu dan ada yang menghafalnya di luar kepala.
            Al-Qur’an berbahasa Arab, sedangkan Rasulullah S.A.W. dan para sahabat Baginda adalah orang-orang Arab, maka mereka dapat menangkap isi dan arti yang hakiki dari ayat-ayat Al-Qur’an yang berbahasa Arab itu.
            Apabila mereka masih belum mantap pemahaman tentang ayat Al-Qur’an, mereka langsung bertanya kepada Baginda Rasulullah, di mana Rasulullah menjelaskan kepada mereka persoalan-persoalan dengan sebaik-baiknya sehingga tidak  terjadi perselisihan paham antara sesama mereka.

V.   Perselisihan Paham Setelah Baginda Nabi Meninggal Dunia
            Pada tanggal 2 Rabiul Awal tahun 11 H bertepatan dengan 8 Juni tahun 632 M Rasulullah SAW meninggal dunia, akan tetapi pada masa Baginda masih hidup, Baginda telah mengungkapkan perselisihan yang akan terjadi di kalangan ummatnya, di mana Rasulullah sudah tidak ada lagi di kalangan mereka. Nabi mengungkapkan perpecahan yang akan terjadi di kalangan ummatnya sebagaimana perpecahan yang telah terjadi pada ummat Yahudi dan Nasrani. Hal keadaan ini dapat dipahami dari tiga hadist sebagai berikut:
١ عن ابىهريرة ان رسول الله صلى الله عليه وسلم قال تفرقت اليهودعلى احدى وسبعين فرقة والنصـارى مثل ذلك وتفترق امتى على ثلاث وسبعين فرقة. رواه الترمذى
Artinya :
Dari Abu Hurairah rda. Beliau berkata, bahwa Nabi Muhammad SAW. bersabda : “Telah berfirqah-firqah orang Yahudi atas 71 firqah dan orang Nashara seperti itu pula dan akan berfirqah umatku atas 73 firqah”. (Hadits riwayat Imam Tirmidzi Lihat Sahih Tirmidzi Juzu’ X, pagina 109)
Nabi Bersabda:
٢ .ان بنى اسرائيـل تفرقت على ثنتين وسبعين ملة وتفترق امتى على ثلاث وسبعين ملة كلهـم فى النار الا ملة واحدة قالوا: ومن هي يا رسول الله؟ قال: ماانا عليه واصحابى. (روه الترمـذى)
Artinya:
“Bahwasanya Bani Israil telah berfirqah-firqah sebanyak 72 millah (firqah) dan akan berfirqah  umatku sebanyak 73 firqah, semuanya masuk neraka kecuali satu”.
Sahabat-sahabat yang mendengar ucapan ini bertanya: “Siapakah yang satu itu Rasulullah?”
Nabi menjawab: “Yang satu itu ialah orang yang berpegang (beri’tiqad) sebagai peganganku (i’tiqadku) dan pegangan sahabat-sahabatku”.
(Hadits Riwayat Imam Tirmidzi, Lihat sahih Tirmidzi juzu’ X, pagina 109)
Tersebut dalam kitab Imam Thabrani, bahwa Nabi bersabda:
٣ .والذى نفس محمد بيده لتفترق امتى على ثلاث وسبعين فرقة فواحدة فى الجنة وثنتان وسبعون فى النار قيل: من هم يارسول الله؟ قال: اهـل الســنة والجماعة. (رواه الطبرنى)
Artinya:
“Demi Tuhan yangn memegang jiwa Muhammad di tangan-Nya, akan berfirqah ummatku sebanyak 73 firqah yang satu masuk surga dan yang lain masuk neraka”.
Bertanya para sahabat: “Siapakah firqah (yang tidak masuk neraka) itu ya Rasulullah?”
Nabi menjawab: “Ahlussunnah wal jama’ah”.
(Hadits Riwayat Imam Thabrani).
٤.  قال رسول الله صلى الله عليه وسـلم: لاتزال طاتفة من امة ظاهريه على الحق حت يانيهم امرالله وهم ظاهرون رواه البخارى: فتح البارى ج ١٧ ص ٥٦  
Artinya:
“Akan ada golongan dari umatku yang tetap atas kebenaran sampai hari kiamat dan mereka tetap atas kebenaran itu.” (Hadits Riwayat Imam Bukhari, lihat Fathul Bari, Juzu XVII, pagina 56.


II
BAGIAN-BAGIAN ILMU TAUHID
The Parts in Knowledge of Unity Of God or Monotheism (الاعتقاد)

1.      Tentang Dzat Allah SWT
Wajib atas setiap manusia yang sudah sampai umur dan mempunyai akal mengetahui tentang Dzat Allah SWT. Bahwa Dzat Allah ta’ala itu adalah wajib wujudnya dan akal tidak dapat menerima bahwa Dia tidak mawjud berdasarkan ciptaan-ciptaan-Nya yang semua manusia berakal tidak dapat menolak hal keadaan ini dan Dzat Allah SWT itu mempunyai sifat-sifat kesempurnaan dan Maha Suci dari segala sifat kekurangan. 
2.      Tentang sifat-sifat Allah
Bahwa sifat-sifat Allah ta’ala terbagi atas empat gambaran:
Pertama, Sifat-sifat Salbiah, yakni sifat-sifat yang menafikan keadaan-keadaan yang mustahil pada Allah SWT
Gambaran sifat-sifat Salbiah itu ialah:
  1. واحد لاشريك له
Yang Maha Esa artinya tiada menyekutui bagi-Nya
  1. فرد لامثل له
Yang Tunggal artinya tiada mengumpamai bagi-Nya
  1. صمد لاضدله
Yang diperlukan oleh segala hamba-Nya artinya tiada lawan bagi-Nya
  1. منفرد لانظيرله
Yang Maha bersendiri artinya tiada yang membandingi-Nya ()
  1. قديم لأول له
Yang Maha terdahulunya Allah ta’ala artinya tiada yang mendahului bagi-Nya
  1. ازلى لابد اية له
Maha terdahulunya Allah ta’ala artinya tiada bagi-Nya permulaan
  1. مستمر الوجود لاآخرله
Maha kekal wujud-Nya artinya tiada bagi-Nya akhir
  1. أبدى لانهاية له
Maha kekal selama-lamanya  artinya tiada bagi-Nya kesudahan
  1. قيوم لاانقطاع له
Maha berdiri dengan sendirinya artinya tiada yang memutuskan bagi-Nya
  1. له  دأم لاانصرام
Maha kekal selama-lamanya artinya tiada yang memutuskan bagi-Nya
  1. لم يزل ولايز الموصوفابنعوت الجلال
Selama-lamanya dan senantiasa bersifat dengan segala sifat kebesaran dan ketinggian.
  1. لايقض عليه ب لانقضاء بتصرم الأيام وانقراض الآجال
Tiada yang menyudahi atas-Nya dengan kesudahan disebabkan putus segala zaman dan dengan sampainya segala ajal. Bahkan dianya Allah ta’ala adalah Maha permulaan, Maha kesudahan, Maha Dhahir, Maha Batin, dan tiada yang Maha lebih mengetahui dan Dia lah yang Maha lebih mengetahui dengan segala sesuatu.

         Kedua, Sifat-sifat Tanzih, artinya sifat-sifat Allah ta’ala dalam gambaran kemaha suciannya.
1.       ليس كمثله شيء ولا هو مثل شيء
Tiada yang mengumpamai akan Allah ta’ala oleh sesuatu dan tiada mengumpamai ia akan sesuatu dari segala yang baharu
2.      وأنه لايحده المقدار ولاتحويه الأقطار
Tiada dibatasi oleh perkiraan dan tiada diliputi oleh benua (kampung, negeri, dan lain-lain).
3.      ولا تحيط به الجهات
Tiada diliputi oleh segala penjuru (kanan, kiri, atas, bawah, dan lain-lain)
4.      dan lain-lain

Ketiga, sifat wujudiyah (وجودية)dan dinamakan pula dengan sifat ma’ani.
            Sebagaimana dimaklumi bahwa tujuan dari pada ilmu tauhid ialah ma’rifatullah, yakni mengenal Allah yang tidak ada akhir dari padanya. Karena ma’rifatullah merupakan laut yang sangat dalam yang tak dapat diukur kedalamannya
"واعلم أن أشرف العلوم وغايتها معرفة الله تعالى وهو بحر لا يدرك منتهى غوره وأقص درجات الشرفية الأنبياء ثم الأولياء ثم الذين يلونهم"
Artinya: “Laut yang tidak dapat diketahui kedalamannya dan merupakan derajat-derajat terakhir dari para Nabi kemudian turun kepada para Wali, kemudian para hamba Allah yang Shalihin hingga seterusnya.
            Menurut Imam Ghazali r.a. dan beliau menetapkan inilah ilmu yang begitu mulia dan itulah sehabis-habis ilmu antara manusia dengan Allah SWT.
            Ilmu ini harus belajar kepada ulama yang shaleh yang terkumpul padanya ilmu syari’at, tariqat dan hakikat.
            Orang yang mempelajari ilmu ini harus ada padanya dua syarat; syarat pertama adab yang berkenaan dengan dirinya dalam gambaran sebagai berikut:
1.      Harus suci hatinya dari sifat kejahatan dan perangai yang tercela lahir dan batin, seperti ria, ujub, takabur, dengki (hasad), ikhlas, benar, zuhud (tidak condong hatinya kepada dunia), tawadhu’, merendahkan diri, dan lain-lain dari sifat-sifat yang terpuji. Inilah pengertian dari perkataan Ibnu Mas’ud r.a.:
(ليس العلم بكثرة الرواية انما العلم نور يقذف فىالقلب)
“Bukanlah ilmu itu tergambar dengan banyaknya riwayat (pengajian dari para ahli melalui kitab-kitab dan sebagainya), hanyasanya ilmu itu ialah nur yang diberikan Allah ta’ala ke dalam hati.”
Inilah ucapan Abdullah bin Mas’ud yang meninggal dunia pada tahun 32 H bersamaan dengan tahun 652 M. beliau salah seorang sahabat Rasulullah dan seorang ahli hadits yang termasuk para sahabat Nabi yang mula-mula menganut agama Islam, beliau berkhidmat kepada Nabi dalam masa hidupnya dan beliau seorang sahabat yang terbagus dalam membaca kitab suci Al-Qur’an.
2.      Mengosongkan hatinya dari segala kesibukkan dunia, seperti kesibukkan dengan anak dan istri, kesibukkan dari jual beli, dan segala yang membimbangkan hatinya, agar hatinya betul-betul terarah mendapatkan ilmu pengetahuan di atas. Hal keadaan ini berdasarkan firman Allah SWT dalam surat 33 Al Ahzab ayat 4:
$¨B Ÿ@yèy_ ª!$# 9@ã_tÏ9 `ÏiB Éú÷üt7ù=s% Îû ¾ÏmÏùöqy_ 4
“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya;
Maksudnya bahwa ilmu ma’rifat ini tertahan masuk dalam hati seorang muslim yang disibukkan oleh hal-hal yang  bersifat duniawi yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan keimanan yang murni terhadap Allah SWT.
3.      Harus merendah diri dan tidak boleh takabur terhadap gurunya, tidak boleh melangkah bahwa ilmu yang diajarkan oleh gurunya adalah kecil dan menganggap bahwa ilmunya lebih banyak dari ilmu gurunya dan andalah yang taat dan patuh terhadap gurunya.
4.      Menjauhkan dirinya dari pada ilmu yang membawa kepada perbedaan faham antara para ulama karena pada akhirnya akan membawa kepada heran dan membingungkan, terkecuali apabila murid itu sudah sampai ke tingkat ulama yang mengetahui tarjih dalam ikhtilaf yakni keputusan yang terkuat dalam perbedaan faham para ulama ahli.
5.      Hendaklah murid itu mendahulukan menuntut ilmu yang terpuji dalam syariat Islam, tegasnya hendaklah mementingkan ilmu tauhid dan tasawuf seperti kitab-kitab tulisan Imam Ghazali dan Al-Hikam, karena kitab Al-Hikam merupakan sari pati tauhid dan tasawuf (seorang sufi Mesir, wafat 709 H/1309 M). Beliau bermazhab Maliki dan menganut tarikat Asyadziliyyah.
6.      Ilmu yang dituntut dan dipelajari itu adalah ilmu yang memberi manfaat dalam akhirat. Itulah ilmu yang arahnya sama dari kitab-kitab di atas. Tegasnya ilmu yang sangat dipentingkan ialah ilmu Ushuluddin karena dalam ilmu Ushuluddin terkumpul padanya ilmu aqidah, ilmu fiqh yang titik beratnya pada ibadat, ilmu muamalah, bagaimana dengan mujahadah yang bersangkutan akan sampai Insya Allah dalam mukasyafah yakni ma’rifat terhadap Allah SWT.
7.      Pelajar itu hendaklah ada niat dalam hatinya semata-mata karena Allah SWT dan karena kebahagiaan yang abadi di negeri akhirat, maka dalam gambaran lahiriah harus banyak ibadahnya dan dalam gambaran batiniah hendaklah ia bersifat-sifat dengan sifat-sifat terpuji dan mensucikan dirinya dari sifat-sifat tercela dan hendaklah ia membiasakan pengertian al-ihsan yakni seolah-olah dia melihat Allah dan apabila ia belum merasakannya maka ia merasakan bahwa ia dilihat oleh Allah.
Adapun Syarat Kedua, bahwa pelajar itu mesti adab kepada gurunya. Dalam hal ini mestilah ia menjaga sebelas syarat keadaban, sebagai berikut:
  1. Hendaklah ia memberi salam yang terhormat kepada gurunya
  2. Tidak boleh banyak perkataan di hadapan gurunya
  3. Tidak boleh berkata pada gurunya tanpa izin gurunya
  4. Tidak boleh bertanya kepada gurunya terkecuali harus ada izinnya
  5. Tidak boleh mendebat gurunya dengan mendasarkan bahwa orang-orang lain berpendapat tidak seperti pendapat gurunya
  6. Tidak boleh memberi isyarat kepada gurunya yang menggambarkan dia lebih tahu dari gurunya
  7. Tidak boleh berbisik-bisik dengan siapa saja di hadapan gurunya, yakni orang yang sama tarafnya dengan si murid tersebut
  8. Tidak boleh berpaling ke kiri dan ke kanan di hadapan gurunya, dan hendaklah ia duduk dan tunduk seperti adab dalam sembahyang
  9. Tidak boleh banyak bertanya kepada gurunya apabila gurunya kelihatan segan menjawabnya atau gurunya sedang berkata-kata dengan orang lain atau gurunya dalam keadaan lelah
  10. Hendaklah murid itu berdiri apabila gurunya datang karena takdim kepada gurunya, dan jangan berkata-kata apabila belum duduk, terkecuali karena darurat
  11. Jangan jahat sangka terhadap gurunya pada segala perbuatannya yang lahiriah apabila bertentangan dengan aqidah atau perbuatan gurunya. Hendaklah ditempatkan bahwa gurunya itu lebih tahu dari muridnya pada hukum-hukum syariat dan rahasia-rahasianya.
Pahamilah ajaran ini seperti sejarah yang telah terjadi antara Nabi Musa dengan Nabi Khidir.


HAKIKAT HIKMAH TUJUAN AQIDAH ISLAMIAH YANG BENAR (MUSTAQIMAH)

            Hakikat hikmah tujuan aqidah islamiah ialah ma'rifatullah, yakni mengenal Allah SWT berdasarkan dalil-dalil yang bersifat yakin berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits dan berdasarkan daya tangkap akal manusia yang terdiri dari pemahaman wajib pada akal, mustahil pada akal dan boleh jadi pada akal. Hal keadaan ini untuk mencapai kesuksesan dalam gambaran kebahagiaan yang abadi.
(معرفة الله بالبراهين القطعية والفوزبالسعادةالأبدية)
            Inilah pengertian dari pada hakikat hikmah tujuan ilmu tauhid yang merupakan aqidah islamiah yang benar. Meskipun keyakinan yang tumbuh dari pada ma'rifat itu tidak terlepas dari martabat ilmul yaqin)   ( علم اليقينkemudian naik kepada ainul yaqin (عين اليقين) dan yang terakhir adalah haqqul yaqin -
 (حق اليقين) .
            Ilmul yaqin ialah hasil dari pengetahuan yang merupakan keyakinan dan kepastian, tanpa disaksikan oleh panca indera ( إدراك الشيء من غير مشاهدة). Misalnya keimanan kita pada rukun-rukun iman.
            Ainul yaqin ialah mengetahui secara yakin yang disaksikan oleh panca indera, apakah seluruhnya atau sebahagiannya. Seperti kesaksian mata atau lain-lain ( الرؤية التي هي العلم به مع المشاهدة). 
            Adapun Haqqul yaqin ialah penglihatan yang menyentuh sesuatu yang dilihat dan dirasakan oleh batin.  (المشاهدة مع الملا صقة والممازجة)
            Maka adalah ma'rifat merupakan kesucian batin yang telah bersih dari segala debu-debu hati, lantas timbullah dari padanya ma'rifat kepada Allah, baik pada perasaan ((ذوق maupun pada kejiwaan yakni kekuatannya yang bersifat kebatinan (وجدانا). Maka dengan ma'rifat kepada Allah bersinarlah dan sucilah batinnya, dan terbukalah hatinya melihat hal-hal yang besar (agung) dan hal-hal yang bersifat keajaiban. Batinnya dapat melihat dengan nur ma'rifat di mana orang yang belum sampai ke tingkat ini tidak dapat melihatnya.


v  UNSUR-UNSUR ILMU MA'RIFAT
            Ilmu ma'rifat atau ma'rifatullah, baru dilimpahkan Allah kepada hamba-Nya yang diistilahkan dengan Wali Allah apabila yang bersangkutan ada padanya empat macam ilmu pengetahuan yang tidak terlepas dari pada dirinya.
Perlu dimaklumi bahwa definisi Waliullah ialah :
العالم بالله تعالى (المواظب) على طاعته المخلص فى عبادته
“Pribadi yang mengenal Allah lagi, tidak pernah meninggalkan ketaatannya kepada Allah, dengan keikhlasannya dalam melaksanakan ibadahnya”.
Inilah makna firman Allah dalam surat Yunus ayat 62-64:
الآان اوليـآءالله لا خوف عليهم ولاهم يحزنون. الذين امنوا وكانوا يتقون. لهم البشرا فى الحيوة الدنيا وفى الاخرة, لاتبديل لكلمت الله ذلك هو الفوز العظيم.
 “Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.  (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat, tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.”
            Maka para Wali Allah adalah orang-orang yang bersih lahir batinnya lagi senantiasa melaksanakan ketaatannya kepada Allah dengan ikhlas atau dengan kata lain seperti pemahaman dari kata Ibnu Hajar Al ‘Asqalany dalam kitabnya Fathul Baary :
أن كليته مشغولة بالله فلا يصغى بسمعه إلا إلى مايرضيه ولا يرى ببصره إلا إلى ما أمره الله به.
            Bahwa fisik Wali Allah itu disibukkan dengan Allah, maka dia tidak mengarahkan pendengarannya terkecuali kepada yang diridhai Allah, dan penglihatannya tidak melihat selain kepada apa yang Allah perintahkan kepadanya. Maka adalah seluruh anggota tubuhnya terarah kepada ridha Allah dalam arti yang luas.
Empat macam ilmu yang dimaksudkan di atas ialah:
            Pertama; Ilmu Syariat, artinya ada padanya pengetahuan mengenai hukum-hukum agama yang telah diturunkan Allah kepada Rasulullah SAW, menurut pemahaman para ulama ahli dari kitab suci Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW. Baik pemahaman itu bersifat teks (نصا) atau hasil penggalian dari para ulama syariat ((إستنباطا. Hukum-hukum yang demikian termasuk dalam ilmu tauhid, dalam ilmu fiqh, dan ilmu tasawuf.
            Kedua; Ilmu Thariqat, yakni ilmu pengetahuan pada mengamalkan syariat Islam dan menjauhkan diri dari pada hal-hal yang bersifat mencari kemudahan-kemudahan. Dapat juga dikatakan menjauhkan segala larangan Allah lahir dan batin, dan mematuhi perintah-perintah Allah menurut kemampuan. Atau dengan kata lain, menjauhkan diri dari pada hal-hal yang bersifat haram, hal-hal yang bersifat makruh dan hal-hal yang bersifat mubazzir, yaitu hal-hal yang boleh dalam hukum tetapi kurang baik pada mengerjakannya. Demikian pula menunaikan hal-hal yang fardhu, hal-hal yang sunat di bawah petunjuk pimpinan Al Mursyid atau wakilnya. Oleh karena itu penuntun atau yang memberikan pimpinan dalam thariqat adalah seorang alim yang mengetahui ilmu syariat, ilmu thariqat dan ilmu hakikat.
            Ketiga; Ilmu Hakikat. Ilmu ini terbagi kepada tiga bagian:
1.      Bagaimana usaha menjauhkan hijab atau mengecilkannya dan kalau berhasil menghilangkannya; yakni hijab-hijab atau penghalang-penghalang lahiriah  dan batiniah antara kita dengan apa yang kita imani berupa Dzat Allah, sifat-sifat-Nya, kebesaran-Nya, dan kejombangan-Nya, sehingga hati kita dan penghayatan kita dapat hampir, bahkan lebih hampir kepada Allah SWT.
Demikian juga ilmu mengenai dengan hakikat kenabian dan sifat-sifatnya, dan pengetahuan berkenaan dengan kesempurnaan para sahabatnya para Nabi, lebih-lebih hakikat kenabian Nabi Muhammad SAW dan kesempurnaan para sahabat Baginda. Harus diketahui pula apa-apa yang telah disampaikan oleh Rasulullah SAW tentang nikmat kubur dan azabnya, tentang kiamat dan iqab-iqabnya, tentang neraka dan kandungannya. Demikian juga tentang syurga dan nikmat-nikmatnya, dan lain-lain. Dengan pengetahuan yang demikian dia dapat melihat secara batin dan penghayatan lahiriah.
Dalam bahagian ini pula ada pengetahuan bagi yang bersangkutan mengenai sifat-sifat yang terpuji dalam mengamalkan thariqat, seperti zuhud, artinya hatinya terhadap dunia adalah renggang tetapi mencintai akhirat. Begitulah pendiriannya terhadap dunia dan kedudukan-kedudukannya dan hal-hal yang bersifat keduniaan.
Dalam perjalanannya mengenai ilmu hakikat kadang kala dia mabuk tidak sadarkan diri apabila hatinya terarah pada hakikat, adakala menimbulkan kelalaian karena sibuknya dengan penghayatan batinnya. Maka adakala menimbulkan kerinduan dan keasyikan yang luar biasa, hingga kadang-kadang ia bingung sendiri. Begitulah yang dapat diterangkan secara ringkas. Dan adakala di samping hal yang demikian datang pula Kasyaf dari Allah, sehingga ia mengetahui kejadian-kejadian yang tidak diketahui oleh orang lain, apalagi hal keadaan di atas disertai dengan Kasyaf dari Allah SWT pada apa yang dikehendaki-Nya, dan banyak lagi hal-hal lain yang terjadi seperti itu. Apakah itu bersifat alam-atas atau alam-bawah, kejadian-kejadian pada masa yang lalu atau kejadian-kejadian pada masa yang akan datang.
Atas inilah hadits Haritsah Bin Malik Al Anshari pada ketika Nabi bertanya kepadanya. “Bagaimana keadaanmu pagi ini?” Haritsah menjawab “Aku menghayati keimanan yang benar.” Nabi bertanya kepada Haritsah :
"إن لكل قول حقيقة فما حقيقة إيمانك"
Sesungguhnya setiap perkataan ada hakikatnya. Maka apakah hakikat imanmu?”
Pada satu riwayat yang lain, Nabi bertanya lagi kali kedua kepadanya:
."اعلم ما تقول أو انظر ما تقول"
Ketahuilah apa yang kamu katakan, atau perhatikanlah apa yang kamu katakan”.
Haritsah menjawab “Aku sabarkan diriku menjauhi dunia (aku berpaling dari padanya). Maka samalah padaku batunya dunia dan emasnya dunia. Aku berjaga pada malamku dan aku dahaga pada siangku. Seolah-olah aku melihat Arasy’ dan kelihatanlah Tuhanku dengan jelas. Seolah-olah aku lihat kepada penduduk surga berziarah sesama mereka. Seolah-olahan aku juga mendengar raungan tangisan isi neraka.” Kemudian Nabi berkata kepadanya “Engkau telah benar-benar mengenal Allah. Maka lazimilah itu.”
Pada riwayat yang lain Rasulullah SAW telah bersabda: “Barang siapa yang suka melihat orang yang Allah ta’ala berikan cahaya pada hatinya maka hendaklah dia memandang Haritsah Bin Malik.” (Hadits Riwayat Thabrani, Al Bazar, dll.)
Bahagian pertama ini adalah bahagian yang top dan yang paling mulia, karena dari padanya bercabang dua bahagian yang lain dan ini merupakan dasar pembinaan dari pada dua bahagian yang lain itu.

2.      Dari pada ilmu hakikat itu maka kosonglah hatinya dan dirinya dari akhlak dan kelakuan yang hina dan tidak terhormat, akan tetapi hatinya dan dirinya telah penuh dengan sifat-sifat yang diridhai oleh Allah, dan budi pekerti yang baik sehingga tapak kakinya tertancap pada kebaikan-kebaikan itu. Dan itu sudah merupakan pribadinya.

3.      Apabila hakikat telah menyentuh hatinya maka mudahlah pengamalan segala amal kebajikan dan entenglah segala perbuatan yang baik, sehingga yang bersangkutan tidak merasakan kesukaran dan tidak merasakan keberatan, bahkan jikalau ia bermaksud meninggalkan amal shaleh dan perbuatan kebaikan, hatinya menolak dan enggan sedemikian rupa. Dadanya telah lapang dan terbuka, karena Islam dengan segala nilainya, hatinya telah begitu tenang sedemikian rupa dalam menjauhkan segala yang diharamkan Allah, melaksanakan perintah-perintah-Nya, dan tersentuhlah padanya hakikat kelapangan sehingga seolah-olah dia merupakan malaikat dalam gambaran manusia.
Apabila anda telah memahami ini maka anda akan mengenal begitu banyak yang tercakup dalam definisi hakikat, sedangkan ini adalah sebagian kecil dari padanya. Ketahuilah bahwa hakikat itu adalah hasil, faedah dari pada thariqat. Maka tak dapat tidaklah bagi orang yang berjalan pada jalan akhirat (السـالك الى الله) mengumpulkan tiga bahagian tadi, dan jangan ada sesuatu yang tertinggal dari padanya karena hakikat tanpa syariat adalah batal, dan syariat tanpa hakikat adalah kosong.
ان الحقيقة بلا شريعة باطلة والشريعة بلا حقيقة عاطلة
            Telah berkata Imam Malik r.a.
من تشرع ولم يتحقق فقد تقسق, ومن تحقق ولم يتشرع فقد تذندق ومن جمع بينهما فقد تحقق.
Barang siapa yang mengamalkan syariat tetapi belum ada padanya sentuhan hakikat, maka sungguh dia telah durhaka kepada Allah. Dan barang siapa yang melakukan hakikat sedangkan dia tidak mengamalkan syariat maka dia adalah seorang yang zindiq (lahiriahnya beriman tetapi hakikatnya ia kufur). Dan barang siapa yang mengumpulkan antara syariat dan hakikat berarti ia seorang muslim yang benar keimanannya  dan keislamannya.”
            Karena itu maka para ulama aqidah yang mempunyai ilmu syariat, thariqat dan hakikat telah membuat contoh mengenai tiga bahagian di atas. Mereka berkata:
“Bahwa syariat adalah seperti kapal untuk sampai kepada tujuan dan selamat dari kebinasaan.
Bahwa thariqat adalah umpama laut yang di dalamnya mengandung mutiara. Tentang sama-sama bagaimana laut tempat tujuan untuk memperoleh mutiara, maka demikian pulalah thariqat. Kita tidak dapat mengambil mutiara apabila kita tidak masuk dalam laut dan kita tidak dapat melakukan amal shaleh yang di dalamnya ilmu tauhid, ilmu fiqh, dan ilmu tasawuf, kalau tidak melalui thariqat yakni, mengamalkan dengan baik ilmu syariat dan thariqat.
Sedangkan hakikat laksana mutiara agung. Kita tidak akan dapat mengambil mutiara itu melainkan kita harus menyelam ke dasar laut dan kita tidak akan bisa melompat ke dasar laut terkecuali harus sampai ke tempat tujuan melalui kapal. Maka demikian pulalah hakikat, baru diperoleh apabila hilang hijab yang mendinding antara kita dengan Allah dan apabila hati kita telah tersentuh dengan hakikat dan kita tidak akan sampai kepada hakikat tanpa melalui syariat dan thariqat.
فمثل الشريعة كالسفينة في أنها سبب للوصول إلى المقصد والنجاة من الهلاك, والطريقة مثل البحر الذي فيه الدر في أنها محل المقصود, والحقيقة مثل اللؤلؤ العظيم فلا يوجد اللؤلؤ إلا في البحر ولا يوصل لذلك البحر إلا البسفينة, فمن نظر إلى حقائق الأشياء كلها بالله وجد أن الشريعة والحقيقة متلازمان تلازم الماء للعود والروح للجسد. (والشريعة شجرة والطريقة أغصانها والحقيقة أثمارها).

            Maka kesimpulannya:
Barang siapa yang melihat kepada hakikat bahwa segala sesuatu adalah dengan bantuan Allah, berarti orang yang demikian akan mendapatkan syariat dan hakikat di mana antara keduanya tidak terlepas yang satu dengan lainnya, sebagaimana antara air dengan pohon, bahwa apabila pohon itu masih hidup maka tidak bisa berpisah pohon itu dari air dan demikian juga air dari kayu. Demikian pulalah antara roh dengan jasad.
Hakikat kesimpulan ialah syariat laksana pohon, thariqat laksana dahannya, dan hakikat adalah buah-buahnya.

v  WAHDATUL WUJUD & WAHDATUL SYUHUD
            Apabila kita pahami uraian di atas maka dari padanyalah berasal wahdatul wujud atau wahdatul syuhud.
1.      Wahdatul Wujud
            Wahdatul wujud adalah kesatuan wujud dan ini dapat dipahami sebagai satu wujud atau kesatuan dari bagian-bagian wujud sedemikian rupa sehingga merupakan satu kesatuan wujud.
            Wahdatul wujud itu telah menjadi istilah yang cukup terkenal dalam perkembangan tasawuf. Istilah tersebut mengacu kepada faham atau aliran yang dibangun oleh seorang sufi terkemuka dari Andalusia Ibnu Arabi (w. 1240 M/630 H). Beliau mempunyai pengikut yang cukup banyak.
            Kelihatannya istilah wahdatul wujud belum muncul dari Ibnu Arabi sendiri tapi dari kalangan para pengikutnya dan dari kalangan yang menyerang faham atau aliran tersebut. Faham wahdatul wujud Ibnu Arabi itu menurut yang dapat dipahami para sarjana tasawuf, lebih kurang sebagai berikut:
Wujud itu hanya satu, bukan banyak. Wujud yang satu itu adalah wujud dengan pengertian: yang ada dengan sendirinya, keberadaannya tidak karena yang lain dan tidak bergantung pada yang lain. Wujud yang satu ini disebut juga wujud hakiki yang dapat dipandang dengan dua macam pandangan.
            Pertama, ia dapat dipandang sebagai wujud mutlak tanpa terkait dengan sifat-sifat dan nama-nama. Hakikat wujud mutlak itu tidak bisa diterangkan, tidak bisa dibayangkan oleh pikiran dan tidak bisa digambarkan dengan ungkapan-ungkapan positif, ia hanya bisa dibicarakan dengan ungkapan-ungkapan negatif sebagaimana telah diisyaratkan oleh kitab suci Al-Qur’an dalam surat 42 Asy Syuraa ayat 11:
...ليس كمثله شيء, وهو السميع البصير.
“…tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan Melihat.”
            Pendeknya wujud mutlak itu adalah transenden, yakni maha ghaib dan sama sekali berbeda dengan apa yang dapat ditangkap oleh panca indera serta berbeda dengan apa yang dapat dibayangkan oleh fikiran manusia atau dalam ungkapan-ungkapan negatif, seperti : Ia tidak seperti ini atau tidak seperti itu. Wujud hakiki yang dipandang sebagai wujud mutlak ini disebut oleh Ibnu Arabi dengan berbagai sebutan, seperti العم (kebutaan), النقطة (titik), مركزالدائرة (pusat lingkaran), dan lain-lain.
            Kedua, wujud hakiki itu dapat dipandang sebagai wujud yang tidak mutlak tapi sudah terkait dengan nama-nama dan sifat-sifat, yang menggambarkan ‘ain (hakikat, identitas atau bentuk) wujud hakiki itu.  
            Wujud hakiki dalam pandangan kedua ini, dikatakan sebagai wujud hakiki yang bertajalli, berta’ayyun, atau menyatakan diri dan identitas melalui nama dan sifat. Dengan kata lain: wujud hakiki yang sudah bernama dan bersifat itu adalah wujud hakiki yang dapat diketahui identitas atau hakikat-Nya. Al Asmaul Husna (nama-nama yang indah) adalah nama-nama wujud hakiki itu dan di antara nama-nama itu adalah Allah, nama yang menghimpun segala nama dan sifat yang dapat dikaitkan dengan wujud hakiki tersebut.
            Bagaimana dengan keberadaan alam atau makhluk ini?
            Alam dalam faham wahdatul wujud tidaklah berwujud, dengan pengertian tidak berwujud hakiki. Keberadaan alam adalah karena wujud hakiki (Allah) dan selalu bergantung pada-Nya. Keberadaan alam tidak wajib (mesti) karena dirinya tapi wajib karena yang lain yakni Allah. Alam ini diciptakan oleh Allah. Dengan demikian Ia dikenal oleh alam. Alam ini diciptakan berdasar pada ‘ain Allah sendiri. Dengan kata lain ‘ain (hakikat) Ketuhanan pada Allah menjadi pola dasar bagi penciptaan alam. Alam diciptakan Allah sedemikian rupa sehingga ciptaan itu selain menjadi bayangan yang tidak sempurna dari Dzat Yang Maha Sempurna, juga menjadi tempat bagi tajalli (penampakan diri secara tidak langsung) nama-nama, sifat-sifat atau hakikat Tuhan. Sifat-sifat tuhan, seperti: mendengar, mengetahui, adil, dan sebagainya menjadi contoh bagi adanya sifat-sifat yang demikian pada makhluknya seperti manusia.

2.      Wahdatusy Syuhud (wahdath asy syuhud)
Pengertiannya yang berdasarkan harfiah ialah keesaan penyaksian. Ia adalah satu faham dalam tasawuf tentang keesaan Tuhan dan sekaligus keesaan wujud, yang tampak dalam penyaksian hati nurani.
Istilah wahdatusy syuhud sebagaimana faham tersebut dimunculkan oleh kalangan sufi yang tidak menyetujui faham wahdatul wujud yang ditegakkan oleh Ibnu Arabi dan para pengikutnya. Mereka yang memunculkan atau memasyhurkan istilah tersebut antara lain adalah Ala’ud Daulah As Shimnani (w. 1337 M/737 H) dan Ahmad As Sirhindi (w. 1624 M/1034 H).
Faham wahdatusy syuhud ialah keesaan Allah yang disaksikan oleh mata batin manusia yang mengalami kasyaf (terbukanya atau lenyapnya hijab atau dinding yang membatasi penglihatan mata hati dengan Tuhan). Sebagai akibat penyaksian mata batin itu maka adalah keyakinan orang yang mengalami penyaksian tersebut tentang keesaan Tuhan meningkat ke taraf yang tertinggi, atau dengan kata lain lebih tinggi dari taraf keyakinan yang hanya berupa membenarkan berita Al-Qur’an dan Hadits atau telah diperkuat dengan dalil-dalil rasional. Penyaksian keesaan Allah itu sekaligus berarti penyaksian satu-satunya wujud. Hanya Allah saja satu-satunya wujud yang disaksikan oleh mata batin seseorang pada pengalaman kasyaf itu. Wujud segenap alam empiris (berdasarkan pengalaman dan penghayatan orang yang berpengalaman) termasuk wujud dirinya, pada saat itu lenyap atau sirna dari penyaksiannya, baik diri maupun batinnya, maupun dari mata kepalanya.
Kehadiran Tuhan dalam penyaksian mata batin seseorang telah menyebabkan lenyapnya kehadiran alam empiris dan dirinya sendiri, baik dari penyaksian mata kepalanya maupun dari penyaksian mata hatinya. Keadaan itu dapat ditamsilkan seperti kehadiran matahari yang terang benderang yang telah menyebabkan lenyapnya bintang-bintang yang banyak dari penyaksian mata kepala manusia. Pesona keindahan wujud Tuhan adalah sedemikian rupa sehingga dapat menyerap segenap perhatian orang yang sedang menyaksikannya. Sebagai akibatnya mata kepalanya kendati tampak masih terbuka dan berhadapan dengan empiris, menjadi tertutup oleh kehadiran wujud Allah dalam penyaksian mata hatinya. Keberadaan alam empiris dari dirinya menjadi tersembunyi di balik kehadiran wujud Tuhan. Hanya wujud Tuhan saja dengan berbagai rahasianya yang tampak oleh penyaksian mata batin tersebut.
Tidak seperti faham wahdatul wujud, faham wahdatusy syuhud ini tidak menimbulkan sikap kontroversial (bertolak belakang; sangat berbeda) di kalangan kaum sufi, kendati istilah wahdatusy syuhud itu muncul sebagai reaksi terhadap faham wahdatul wujud. Namun esensi (inti sari, hakikat) faham wahdatusy syuhud itu sudah terdapat pada keterangan-keterangan para sufi abad ke-9 dan 10 (abad ke-3 dan 4 H), seperti Junaid Al Baghdadi, Al Kalabazi, dan lain-lain. Melalui wibawa Al Ghazali (w. 1111M/505 H) esensi faham wahdatusy syuhud dapat diterima oleh umumnya kalangan sufi. Para sufi yang mengeluarkan ungkapan-ungkapan aneh (syathahat) seperti Al Bistami, Al Hallaj, dan lain-lain dianggap sedang mengalami wahdatusy syuhud ketika mengeluarkan kata-kata aneh tersebut (ungkapan aneh itu seperti: Tidak ada dalam jubahku kecuali Allah).
Menurut faham wahdatusy syuhud, penyaksian mata batin terhadap wujud Tuhan saja tidaklah mengandung arti bahwa wujud alam dan diri yang sedang menyaksikan itu sungguh-sungguh tidak ada. Alam dan dirinya tetap saja ada, tetapi pada saat itu sedang lenyap atau tersembunyi di balik kehadiran Tuhan dengan segala rahasia-Nya. Bila kasyaf atau penyaksian itu telah berakhir (mungkin setelah berlangsung beberapa menit, beberapa jam, atau beberapa hari), alam empiris dan dirinya kembali tampak oleh mata kepalanya atau hadir dalam kesadarannya yang biasa. Dalam persepsi (pengamatan; tanggapan indera; daya memahami) kalangan sufi menerima faham wahdatusy syuhud, tetapi menolak faham wahdatul wujud, tentu kedua faham tersebut tampak berbeda bahkan bertentangan. Mereka memandang wahdatul wujud sebagai faham yang mengingkari adanya wujud selain dari wujud Tuhan dan itu berarti berbeda atau bertentangan dengan faham wahdatusy syuhud, yang tidak mengingkari adanya wujud alam (termasuk manusia) di samping wujud Tuhan, kendati dalam penyaksian mata batin, hanya wujud Tuhan saja yang tampak. Masalah pertentangan kedua faham tersebut masih bisa diperdebatkan, karena persepsi pendukung wahdatul wujud dan persepsi penentangnya tentang faham wahdatul wujud itu sendiri tidak sama. Tampaknya pengamat wahdatul wujud hanya mengingkari wujud alam sebagai wujud yang berdiri sendiri dan yang ada karena dirinya sendiri tetapi tidak mengingkarinya sebagai wujud yang terkandung selamanya pada wujud Tuhan yang hakiki. Tampaknya wahdatul wujud dalam persepsi penganutnya tidak mengandung pertentangan dengan faham wahdatusy syuhud.


3.      Perbedaan Antara Wahdatul Wujud dengan Wahdatusy Syuhud
Wahdatul wujud ialah kesatuan wujud, yakni wujud itu hanya satu bukan banyak. Wujud yang satu itu pengertiannya bahwa wujud Dzat Allah dengan sendiri-Nya, tidak didahului oleh tiada dan juga tidak diakhiri oleh tiada. Keberadaannya tidak karena yang lain dan tidak bergantung pada yang lain. Inilah yang dimaksud dengan wujud hakiki.
Bagi sebagian hamba Allah yang saalikin lagi shaalihin, Allah berikan limpahan pada pandangannya dan perasaannya melihat wujud yang hakiki itu. Yakni wujud mutlak tanpa terkait dengan sifat-sifat dan nama-nama. Hakikat wujud mutlak itu sebagaimana diterangkan di atas tidak dapat diterangkan, tidak dapat dibayangkan oleh pikiran dan tidak dapat digambarkan dengan ungkapan positif, tetapi dapat diungkapkan dengan ungkapan negatif. Sebagaimana dalam Surat 42, As Syuura ayat 11 di atas. Maka hakikat wahdatul wujud ialah dalam gambaran tanzih (kemahasucian Allah ta’ala) dan tidak dalam gambaran tasybih dalam ungkapan-ungkapan positif.
Adapun wujud hakiki yang terkait dengan ismudzat (اسم الذات) yakni dzat yang maha mutlak yang dinamakan dengan Allah atau yang dikaitkan dengan sifat-sifat-Nya seperti dalam gambaran Asmaul Husna, maka itu adalah gambaran ‘ain atau ta’ayyun yang menyatakan dzat dan identitasnya melalui nama dan sifat. Wahdatul wujud yang begini adalah wahdatul wujud yang tidak keluar dari tauhid, bahkan pemantapan dan penghayatan tauhid yang luar biasa. Apakah dalam keadaan sadar atau tidak sadar.
Dalam hal inilah Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah Al Banjari.[1] Dia bergelar dengan Datuk Kelampayan dan telah mengungkapkan, yang ungkapan itu dinukilkan oleh Syekh Daud bin Abdullah Al Pattani[2] dalam manuskrip beliau berjudul Tuhfat Al Raghibin Kitab Jinayah sebagai berikut:
Ketahuilah olehmu. Adapun kaum wujudiyah itu terbagi dua bagi. 1). Kaum wujudiyah yang Muwahhid, 2). Kaum wujudiyah yang Mulhid. Maka wujudiyah yang muwahhid itu yaitu segala ahli sufi yang sebenarnya. Dan dinamakan mereka wujudiyah karena adalah bicara mereka itu dan perkataan mereka itu dan i’tikad mereka itu pada wujud Allah.” Pada bahagian lain dalam manuskrip itu juga Syekh Daud bin Abdullah Al Pattani menulis : “Wujudyah yang mulhid (kafir), itulah wujudiyah yang dimaksudkan atau dinamakan dengan zindiq (mukmin lahiriah, kafir secara batiniahnya).”
Tentang ini telah diakui oleh Syekh Nurruddin Ar-Raniry[3] sendiri yang beliau menyatakan dalam tulisannya yang berjudul Hujjah Ash Shiddiq tentang adanya wujudiyah yang muwahhid dan wujudiyah yang Mulhid. Beliau menulis sebagai berikut : “Maka menitahkan daku oleh Tuan kita yang maha mulia lagi maha besar martabat, anak raja yang turun temurun, dan ialah anak raja besar, iaitu Seri Sultan Tajul Alam Shafiyatuddin Syah Daulat Zhillullah fil ‘Alam ibnati al Sultan Iskandar Muda Ibnu Sultan Muda. Ialah raja yang sinar segala matahari daulatnya dengan kesudahan bersinar dan masyhurlah adilnya. Maka teranglah segala tepi alam. Ialah raja yang menguatkan agama Allah dan mendirikan Syariat Rasulillah. Dan ialah raja yang memeliharakan segala hamba Allah. Dan ialah raja yang memijakkan segala akar bid’ah dan segala yang sesat. Dipeliharakan Allah kiranya akan dia daripada sekalian bahaya dalam kandang peliharaannya. Bahwa aku karang akan suatu risalah yang menyatakan mazhab Shufi yang mengesakan Haq Ta’ala dari pada mazhab wujudiyah yang mulhid niscaya nyata agama yang benar daripada agama yang sesat…”
Dari keterangan ini dapat kita pahami bahwa Syekh Nuruddin Ar-Raniry membenarkan wahdatul wujud yang berdasarkan tauhid dan mengatakan tidak benar wahdatul wujud yang sentuhannya tidak ada kemurnian tauhid lagi padanya. Dan ini adalah zikir atau aqidah yang membawa kepada kufur. Akan tetapi sangat mengherankan sehingga kita tidak mengerti kenapa Syekh Nuruddin Ar-Raniry seorang ulama sufi yang berpengaruh besar di istana kerajaan Aceh maupun kepada rakyatnya seperti mana yang telah diungkapkan oleh beliau “Maka sekarang aku jagakan dan aku nyatakan segala i’tikad wujudiyah yang mulhid lagi zindiq ialah Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As Sumatrani.”
Dalam tulisan Ar-Raniry yang lain, yang ditulis dalam manuskrip yang berjudul Ma’al Hayati, beliau berkata “adapun kemudian dari pada itu, maka berkata hamba yang muhtaj kepada Allah Yang Maha Kaya, yaitu Syekh Nuruddin Ibnu Ali Ibnu Hasanji Ibnu Muhammad Hamid Asy Syafi’i. Maka tatkala zahirlah kaum wujudiyah yang mulhid lagi zindiq dan masyhurlah mazhab mereka itu pada kebanyakan negeri di bawah angin, dan dakwa mereka itu seperti dakwa Syadad dan Namrud dan Fir’aun. Tetapi terlebih jahat diikut dari pada yang demikian.” 
Yang dimaksud dengan kalimat dari “maka tatkala zahirlah…” hingga akhir kalimat beliau ialah bersifat menyerang pada pihak pahaman Syekh Hamzah Fansuri dan Syekh Syamsuddin As Sumatrani yang tidak sependapat dengan Syekh Nuruddin Ar-Raniry. Beliau mebangsakannya kepada “wujudiyah yang mulhid lagi zindiq” padahal menurut Syekh Daud bin Abdullah Al Pattani di dalam manuskripnya di atas dan kemudian disetujui oleh Syekh Muhammad Arsyad bin Abdullah Al Banjari bahwa aqidah Syekh Hamzah Fansuri dan Syekh Syamsuddin As Sumatrani adalah aqidah yang benar, tidak mulhid dan tidak zindiq.
Apakah serangan Ar-Raniry atas aqidah Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As Sumatrani karena masalah politik, yakni pengaruh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As Sumatrani seperti telah menjalar di seluruh Aceh, padahal Ar-Raniry seorang ulama yang paling dekat dengan raja dan menduduki kedudukan mufti tertinggi di daerah ini. Ataukah pengetahuan beliau hanya sanya terbatas seolah-olahan wahdatul wujud bersifat mutlak adalah aqidah ilhadiah dan zindiqiah, padahal ulama besar lainnya menyatakan adanya wahdatul wujud yang tauhidiah dan ada wahdatul wujud yang ilhadiah.
Atau kemungkinan pula dikarenakan Syekh Nuruddin Ar-Raniry adalah seorang ulama yang berasal dari keturunan Arab kelahiran kota pelabuhan Ranir (Randeer), Gujarat India yang hanya mengetahui secara kenyataan yang terjadi bahwa wahdatul wujud yang berkembang di negerinya adalah wahdatul wujud yang berdasarkan atas tasybih (تشبيه) dan bukan tanzih (تنزيه), meskipun beliau selaku Syekh thariqat Rifa’iyah dan bermazhab Syafi’i atau mungkin saja fatwa Syekh Nuruddin Ar-Raniry itu terjadi setelah wafatnya Syekh Abdurrauf As Singkili (Syiah Kuala) karena masa hidup Ar-Raniry adalah sekian tahun setelah meninggalnya Syiah Kuala.
Dalam pada itu Syekh Nuruddin Ar-Raniry hanya menyatakan keesaan Tuhan secara mutlak dengan pengertian bahwa wujudiyah yang beliau nyatakan adalah wujud Allah itu adalah wujud makhluk dan wujud makhluk adalah wujud Allah, yang berarti mengandung empat kemungkinan yang mustahil terjadi pada Allah SWT.
1.          Intiqal (انتقال), artinya wujud Allah SWT berpindah kepada makhluk seperti seorang berpindah dari suatu tempat yang lain.
2.          Ittihad (اتحـاد), artinya dua wujud menjadi satu seperti bersatunya emas dengan tembaga.
3.          Hulul (حلول), artinya wujud Allah SWT masuk ke dalam makhluk, seperti air masuk ke dalam kendi.
4.          Ittisal (اتصـال), artinya wujud Allah SWT berhubungan dengan makhluk seperti manusia dengan anggotanya.
Ini adalah paham wahdatul wujud yang membawa kepada kekufuran dan sepakat para ulama seperti telah diungkapkan oleh Syekh Daud Pattani, Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, dan lain-lain dari ulama tauhid apabila hal keadaan ini merupakan aqidah. Akan tetapi apabila hal keadaan ini timbulnya dalam keadaan fana, yakni di luar kesadaran maka tidak ada hukum baginya. Yang anehnya ialah bahwa Syekh Nuruddin Ar-Raniry menyatakan bahwa Syekh Hamzah Fansuri dan Syekh Syamsuddin As Sumatrani adalah mulhid lagi zindiq sebagaimana ungkapannya di atas. Padahal Syekh Hamzah Fansuri seorang ulama besar dan mu'tabarah pada masa kesultanan Aceh yang diperintah oleh Sultan Alaiddin Riayatsyah Said Al Mukammal (1589 – 1604 M).
Para sarjana tidaklah meragukan keberadaan pribadinya dan beliau mengungkapkan tentang tulisan-tulisannya yang bersifat syair sebagai berikut:
Hamba mengikat syair ini di bawah hadrat raja yang wali, syah alam raja yang adil, raja kutub sempurna kamil, wali allah sempurna wasil, raja arif bagi mukammil.
Dan ia telah menjadi penulis yang terkenal pada zaman itu, dan beliau dapat dikatakan sebagai peletak dasar bagi peranan bahasa melayu sebagai bahasa keempat di dunia Islam setelah bahasa Arab, Persia, dan Turki Ustmani. Bahkan karya-karya beliau tersebar berkat jasa Sultan Iskandar Muda yang telah mengirimkan kitab-kitab Hamzah Fansuri, antara lain ke Melaka, Kedah, Sumatera Barat, Kalimantan, Banten, Gresik, Kudus, Makassar, dan Ternate.
Di samping itu banyak pula syair-syair beliau yang bersifat tasawuf, suluk, dan tauhid. Syair-syair beliau yang menarik dalam ilmu kebatinan Islam dengan judul-judul yang menarik pula di antaranya: Syair Burung Pingai, Syair Burung Pungguk, Syair Perahu, dan Syair Dagang. Ada pula yang bersifat prosa (karangan bebas yang tidak terikat oleh irama dan rima, persamaan bunyi yang berulang pada sajak), yang di antaranya ialah : Asrar al-'Arifin fi Bayan Ilm as-Suluk wa at-Tauhid (Keterangan Mengenai Perjalanan Ilmu Suluk dan Keesaan Allah) dan Syarab al 'Asyiqin (Minuman Orang-orang yang Cinta Kepada Tuhan). Karya puisinya tergabung dalam kitab Ruba'i. Karya ini  kemudian disyarah (diulas) oleh Syekh Syamsuddin As-Sumatrani.
Dari uraian di atas menimbulkan tanda tanya pada kita, di antaranya sebagai berikut:
  1. Apakah tuduhan Ar-Raniry terhadap Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As Sumatrani tidak kembali menimpa dirinya sendiri, yaitu mulhid dan zindiq? Padahal sudah jelas bagi semua umat Islam, bahwa apabila kita mencap seseorang muslim dengan mulhid (kafir) dan zindiq (muslim lahiriah kafir batiniah).
  2. Ar-Raniry telah memutuskan bahwa thariqat itu hukumnya sesat dan salah dan penganut thariqat yang diberi nama wujudiyah harus taubat dan kembali kepada hukum syariat, kalau tidak mereka diberi hukum kafir dan murtad dan harus dibunuh. Maka dilaksanakanlah hukum itu, sehingga 70 orang dari pengikut Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As Sumatrani telah dibunuh dan selain dari pada mereka dapat melarikan diri ke pedalaman. Apakah kepergian Syamsuddin As Sumatrani ke Melaka dan beliau meninggal di Melaka, kemungkinan berat karena fatwa dari Ar-Raniry selaku mufti Aceh setelah Syamsuddin As Sumatrani saat itu?
  3. Pada masa Sultan Iskandar Tsani, para ulama Aceh dipanggil ke Banda Aceh mengadakan satu pertemuan besar dan dikatakan juga dihadiri oleh tokoh-tokoh thariqat telah memutuskan bahwa thariqat itu hukumnya sesat dan salah. Para penganut thariqat yang diberi nama kaum wujudiyah diputuskan dalam pertemuan itu juga, bahwa mereka adalah kafir, murtad dan harus dibunuh. Apakah pertemuan pada masa itu tidak ada sentuhan politik kerajaan setelah melihat bahwa ajaran thariqat telah berkembang sedemikian rupa dan dikhawatirkan para ulama thariqat mempengaruhi kerajaan dan itu tidak disenangi oleh Ar-Raniry.
Sedangkan sebelumnya Ar-Raniry terpaksa meninggalkan Aceh dan melanglang buana sampai ke Pahang, oleh karena mufti pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (w. 1637 M/1048 H) adalah Syekh Syamsuddin As Sumatrani (w. 1630 M/1041 H) yang berpaham dengan wujudiyah yang berdasarkan tauhid dan bukan berdasarkan ilhad. Dan Nuruddin Ar-Raniry tidak dapat berbuat apa-apa karena tertutup dengan pengaruhnya Syekh Syamsuddin As Sumatrani pada zaman itu.
Kemudian setelah meninggal Sultan Iskandar Muda dan pada masa Iskandar Tsani menjadi Sultan, barulah dapat Nuruddin Ar-Raniry masuk ke dalam struktur kerajaan dan menjadi mufti Kerajaan Aceh Darussalam saat itu, oleh karena visi dan misinya dalam kerajaan adalah untuk menghantam paham wujudiyah selama 7 tahun menjadi mufti, akan tetapi ia tidak berhasil menurut apa yang diharapkannya. Maka dipengaruhilah Kerajaan Aceh pada masa itu untuk mengundang para ulama dan penganut thariqat selaku penganut-penganut dari ajaran-ajaran Islam yang sebelumnya telah disampaikan oleh Hamzah Fansuri dan dilanjutkan oleh Syamsuddin As Sumatrani. Padahal mereka adalah orang-orang awam, dan kalaupun mereka mengamalkan wahdatul wujud dalam keadaan asyiq dan fana di luar dari pada kesadaran, tidak ada jalan untuk mengatakan mereka adalah mulhid dan zindiq. Di atas inilah dipahami pendirian Syekh Daud Pattani dan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari. Kalaulah Syekh Hamzah Fansuri dan Syekh Syamsuddin As Sumatrani mengamalkan wahdatul wujud dalam keadaan sadar, kedua mereka adalah ulama syariat, thariqat, dan ma'rifat. Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As Sumatrani diakui oleh dunia nusantara sebagai ulama syariat, thariqat, dan ma'rifat. Berdasarkan di atas inilah latar belakang pembunuhan yang terjadi sebagai tersebut di atas.
Pada zaman itu Syekh Hamzah Fansuri telah wafat di desanya Fansur, Singkil, berarti Allah ta'ala telah menyelamatkan beliau dari fitnah besar, sedangkan Syekh Syamsuddin As Sumatrani menyelamatkan diri ke Melaka.
Kenapa Nuruddin Ar-Raniry tidak mencontoh keputusan hukum yang disepakati oleh Wali Sanga terhadap Syekh Siti Jenar di pulau Jawa, yakni bukan menghukum murid-murid Syekh Siti Jenar, karena mereka adalah orang awam, tetapi menghukum pancung atas Syekh Siti Jenar karena menganut paham wahdatul wujud. Alasan Wali Sanga membunuh Syekh Siti Jenar bukan seperti alasan Nuruddin Ar-Raniry menuduh Hamzah Fansuri dengan Syamsuddin As Sumatrani sebagai mulhid dan zindiq, tetapi demi untuk menyelamatkan orang-orang awam, akan tetapi hal keadaan ini tidak terlepas dari pada sentuhan politik sebagaimana yang telah diungkapkan di atas. Sedangkan budaya Jawa sejak zaman dahulu kala begitu hormat kepada ulama yang membawa mereka kepada fanatik sedemikian rupa dan kebanyakan mereka adalah sangat dangkal dalam ilmu syariat. Akan tetapi dengan orang awam kita di Aceh ini, mereka menghormati ulama sedemikian rupa juga, tetapi syariat pada umumnya tidak mereka tinggalkan karena mereka para ulama adalah panutan utama bagi umat Aceh dalam ajaran keagamaan, syariat, thariqat, dan ma'rifat. Justru karena itulah salah seorang Wali Sanga yang bernama Syekh Malaya yang masyhur dengan panggilan Sunan Kalijaga sebelum memancung Syekh Siti Jenar beliau mengungkapkan sebagai pernyataan dari Wali Sanga yang disaksikan oleh sebagian rakyat pada waktu itu bahwa Syekh Siti Jenar mukminun 'indallah kafirun 'indannas (مؤمن عند الله كافر عند الناس) yang berarti: Syekh Siti Jenar adalah "Orang beriman di sisi Allah, tetapi kafir menurut penglihatan manusia".
Adapun hal-hal yang terjadi dalam dunia tasawuf, seorang ilmuwan Barat yang telah menulis sebuah buku yang berjudul Sufisme Ibnu 'Atha'illah: Kajian Kitab Al Hikam, Victor Danner, mengungkapkan sebagai berikut:
"Orang seharusnya mengingat bahwa Sufisme merupakan esensi Islam itu sendiri, inti spiritualnya, dan ajaran yang tidak asing lagi dalam tradisi Islam. Meski benar bahwa abad ke-3 H/ke-9 M, orang-orang Neoplatonis (penganut ajaran Plato; pengagum Plato)[4]. Maka tindakan (usaha mencampuri ajaran Sufisme)[5] berarti mencampuri pandangan atau perspektif (tinjauan) Sufisme, namun ia tidak menjadikannya sebagai suatu transformasi radikal (تغير اساسي) sebagaimana diperkirakan banyak orang. Bagi kaum Neoplatonis, tindakan (usaha mencampuri ajaran Sufisme) ini sepenuhnya sesuai dan tidak bertentangan dengan doktrin-doktrin (ajaran-ajaran) Sufi tentang Ketauhidan (Divine Unity). Dan bagaimanapun, semua itu bukan merupakan gagasan-gagasan (hasil pemikiran palsu, namun benar adanya. Dan oleh karenanya semua dapat dengan mudah diasimilasikan[6] oleh para guru thariqat Sufi kemudian.
Tentunya, term[7] Sufi dan term-term lainnya adalah sumber berikutnya dari Al-Qur'an (Qur'anic Revelation), namun tidak dimaksudkan bahwa thariqat itu sendiri merupakan hasil ciptaan berikutnya. Dari sudut pandang Sufi, thariqat sebagaimana syariat adalah bersumber dari Nabi Muhammad SAW dan dari sumber-sumber yang diwahyukan. Ia hanya muncul kemudian (setelah Nabi SAW) manakala dibutuhkan sebagai klarifikasi (penjelasan ilmiah) dan kodifikasi (penetapan keputusan-keputusan), saat term sufi muncul, tepat sekali ketika lainnya, yakni aspek-aspek Islam yang eksoterik (ilmu yang dapat diketahui oleh semua orang), muncul dengan predikat-predikat (sebutan; gelar) mereka sendiri, seperti Madzhab Maliki, Hanbali dan lainnya. Oleh karena itu, esoterisme (nilai-nilai yang bersifat batin) sufi muncul di waktu eksoterisme-legalistik Islam[8] mulai mengkristal (mulai kelihatan kecemerlangannya). Bagaimanapun realitas thariqat dan sufisme selalu ada. Hanya ketika term sufi dan lain-lainnya tersosialisasikan (memasyarakat), kita dapat mengatakan bahwa thariqat dan sufisme adalah sinonim (muradif; dua perkataan dengan satu makna).
Mengenai esensi ajaran dan metode realisasi, orang seharusnya menyadari bahwa kaum sufi begitu banyak mengingatkan kembali kepada ajaran Nabi SAW sendiri. Karenanya tanpa pilar-pilar (tonggak) fundamental, yakni Al-Qur'an dan As-Sunnah, maka tidak ada thariqat, tidak ada sufisme.
Syariat (hukum) Islam mengedepankan pandangan keselamatan (salvation) anumerta individu (diri manusia sesudah meninggal dunia), sementara thariqat mengedepankan pandangan kebebasan (liberation) individu, melalui ma'rifat (gnosis) dalam hidup ini.[9] Dilihat dari masanya, dua segi Islam, esoterik (العلم الضرورى) dan eksoterik (العلم النظرى), terpisah dari periode historis Islam awal, masing-masing punya guru, metode, terminologi, dan pandangan-pandangannya sendiri. Bila terjadi konflik, itu tidak dapat dielakkan karena ketidakpahaman eksoterik Islam. Perlu diingat bahwa selalu ada rekonsiliasi-rekonsiliasi (permufakatan atau musyawarah dan rujuk kembali kepada asal semula), dan banyak ahli hukum (fuqaha') yang memberi pengesahan, serta masih adanya integritas (kesempurnaan; kejujuran) dan independensinya guru-guru thariqat (kebebasannya mereka dalam menghayati hasil-hasil mujahadah mereka). Semua ini telah dan akan selalu mengiringi perjalanan Islam.
Adalah jelas bahwa syariat itu penting bagi orang-orang muslim secara luas, namun thariqat hanya untuk sekelompok terbatas; tetapi ini tidak berarti bahwa thariqat meniadakan syariat (law). Sebaliknya, tanpa syariat, maka tidak ada thariqat, sebagaimana telah dinyatakan oleh kaum Sufi agung. Perbedaan besar antara kedua dimensi (اتسـاع, مسـاحة, بعد, حجم, قدر) Islam terletak pada pemahaman mendalam kandungan spiritual wahyu yang selalu ditunjukkan oleh kaum Sufi. Bagaimanapun, kaum sufi selalu menunjukkan cinta kasihnya yang spesifik terhadap kaum yang beriman (faith), namun belum mencapai tingkatan sufisme, dan ini telah mereka lakukan karena menyadari betapa langkanya iman di dunia ini. Keimanan yang dimaksudkan di sini bukan sekadar keyakinan belaka.
Kata ma'rifat adalah term istimewa dalam sufisme, yang merupakan pengetahuan hakiki (al-Haqq) yang dicapai oleh seorang penempuh jalan thariqat. Tidak selayaknya ma'rifat dirancukan (dipalsukan) dengan ma'rifat (gnoticism) tertentu sebagaimana yang terjadi dalam agama Kristen awal. Sebagaimana pemahaman kaum sufi, bahwa ma'rifat tercapai sebagai puncak keimanan dan bukan sebaliknya, sebagai puncak kekufuran. Dalam hal ini mereka juga menggunakan term "pengetahuan" secara umum (knowledge) atau "ilmu" secara khusus (science), namun ini segera menjadi terlalu teoritis dan abstrak, mengingat ma'rifat, disamping implikasi-implikasi (kesimpulan) teoritisnya, punya pengertian pengetahuan Tuhan yang dirasakan atau yang konkrit."


KESIMPULAN

1.      Seorang muslim apabila keimanan dan keislamannya didasari atas pengamalan syariat, naik kepada thariqat dan naik kepada ma'rifat, maka barulah terdapat kesempurnaan selaku manusia yang mengetahui nilai-nilai syariat yang diciptakan oleh Allah yang disampaikan oleh Baginda Rasulullah; berarti dia telah mempunyai pengetahuan keagamaan berdasarkan yaqin yang wajib ia taati sehingga telah ada padanya lampu tingkat dasar.
Maka barulah ia naik ke tingkat thariqat atau ainul yaqin karena pengamalannya tidak hanya bersifat lahiriah semata tetapi telah menyentuh nuraninya dalam hablum min allah setelah tingkat dasar tadi yang bersifat hablum minan naas. Dan apabila hablum min allah yang dibarengi dengan hablum minan naas naik lagi, barulah sampai pada permulaan tingkat akhir yaitu ma'rifat kepada Allah SWT dan dapat dikatakan pula dengan haqqul yaqin. Inilah hikmah yang terkandung dalam firman Allah Surat 47 Muhammad ayat 19 :
فاعلم انه لآاله الا الله واستغفر لذنبك وللمؤمنين والمؤمنات والله يعلم متقلبكم ومثواكم.
Artinya: "Maka ketahuilah, bahwa tak ada Tuhan (yang patut disembah) selain Allah, dan mohonlah ampunan atas dosamu dan atas (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. Dan Allah mengetahui tempat usaha dan tempat tinggalmu."
2.      Tandanya seorang hamba Allah yang dapat dikatakan telah sampai kepada ma'rifatullah di kalangan ulama Aceh di antaranya adalah:
Pertama, Syekh Abdurrauf As Singkili yang masyhur dengan panggilan Syiah Kuala. Beliau adalah seorang ulama besar yang menguasai ilmu-ilmu agama dan pimpinan pusat pendidikan Baiturrahman pada zaman Sultan Iskandar Muda dan kemudian berlanjut pada masa Sri Ratu Safiatuddin Tajul Alam selaku mufti Kerajaan Aceh. Ia adalah mursyid thariqat Syattariah yang beliau ambil ijazah dari Syekh Ahmad Khusyasyi (1583 – 1661 M) di Madinah dan beliau kembali ke Aceh sekitar tahun 1083 H/1662 M. Thariqat yang beliau amalkan dan kembangkan itu bertujuan untuk membangkitkan kesadaran akan Allah SWT dalam batin manusia. Hal ini dicapai melalui pengamalan beberapa macam zikir. Syiah Kuala menganut faham bahwa satu-satunya wujud hakiki adalah Allah SWT. Alam ciptaan-Nya adalah wujud bayangan, yakni bayangan dari wujud hakiki. walaupun wujud hakiki (tuhan) berbeda dengan wujud bayangan (alam) terdapat keserupaan antara kedua wujud ini. Tuhan melakukan tajalli (penampakan diri dalam bentuk alam). Sifat-sifat Tuhan secara tidak langsung tampak pada manusia dan secara relative paling sempurna pada insan kamil.
Beliau tidak setuju dengan tindakan pengkafiran yang dilakukan oleh Nuruddin Ar-Raniry terhadap para pengikut Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as Sumatrani yang berfaham wahdatul wujud atau wujudiyah. Menurutnya, jika tuduhan pengafiran itu tidak benar, maka orang yang menuduh dapat disebut kafir.
Pandangannya terhadap faham wahdatul wujud dinyatakan dalam kitabnya Bayan Tajalli, buku ini juga merupakan usahanya dalam merumuskan keyakinan terhadap ajaran Islam. Ia mengatakan bahwa betapapun asyiqnya seorang hamba terhadap Allah SWT, Khalik dan makhluk tetap memiliki arti sendiri.
Karena Syekh Abdurrauf As Singkili mengajar dan kemudian dimakamkan di Kuala (muara) Krueng Aceh ia kemudian juga terkenal dengan nama Tgk. Syiah Kuala, yang nama ini diabadikan menjadi nama Perguruan Tinggi di Aceh (pada tahun 1961), Universitas Syiah Kuala. Ia juga sering disebut sebagai WALI TANAH ACEH, makamnya dianggap tempat suci dan ramai dikunjungi oleh penziarah termsauk  dari luar negeri/.
Setelah Sultan Iskandar Muda meninggal dunia maka digantikan oleh puterinya yang juga janda Iskandar Tsani meminta kepada Syekh Abdur Rauf dari Singkil untuk menulis beberapa kitab sebagai pegangan dan pedoman bagi Aceh. Maka atas permintaan itu beliau menulis beberapa kitab di antaranya Mir'at at Tullab fi Tahshil Ma'rifat Ahkam asy-Syar'iyyah li al-Malik al-Wahhab
(مرآة الطلاب فى تفصيل معرفة الاحكام الشرعية للملك الوهاب).
"Cermin bagi Mereka yang Menuntut Ilmu Fikih dan Memudahkan Mengenal Segala Hukum Syara' Allah"
Kedua, Hamzah Fansuri. Beliau adalah sufi terkemuka dari Aceh apabila Syekh Abdurrauf Al Fansuri atau As Singkili pendekar besar dalam syariat di   dan nusantara Islam. maka demikian pulalah Hamzah Fansuri adalah pendekar besar dalam tasawuf Islam di Aceh. Konon saudara Hamzah Fansuri bernama Ali Fansuri adalah ayah dari Abdurrauf As Singkili Al Fansuri.
Pada tahun 1417 H/1977 M, kami telah menulis susunan syair yang berjudul Pertemuan Ma'rifat antara Syekh Hamzah Fansuri dengan Syekh H. Muhammad Waly dalam syair Tauhid Sufi, sebagai berikut:
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله سيدينا محمد وعلى آله وصحبه ومن تبعه وبعد.

Syekh Hamzah Fansuri mengucapkan dalam syairnya sebagai berikut:
I.
Hamzah Fansuri di dalam Makkah
Mencari Tuhan di Baitul Ka'bah
Dari Barus ke Kudus terlalu payah
Akhirnya terdapat di dalam rumah

Syarahku

Desa Fansur lahir Fansuri
Singkel itu kotanya negeri
Pantai barat Sumatra daerah ini
Alauddin Riayatsyah IV sultannya Asyi

Sayyidil Mukammal gelar sulthani
Abad lima belas penguasa Asyi
Kekuasaan Aceh stabil kembali
Iskandar Muda datang mengganti
Dengan Syiah Kuala satunya negeri
Desa lahirnya juga Fansuri
Syiah Kuala ulama fiqhi
Hamzah Fansuri pendekar sufi

Hamzah berkunjung ke banyak negeri
Sumatera dan Jawa beliau pergi
Siam dan Pahang dia masuki
Makkah Madinah apatah lagi
Mencari ilmu tauhidnya Rabby
Tekad mencari ilmu haqiqy
Mencari kepuasan dalam hal ini
Di mana saja beliau dapati

Semuanya itu beliau cari
Tanah suci tempat menggali
Tidak didapat maksud di hati
Tapi dapat di Barus negeri

Ilmu hakikat susah dicari
Kemana-mana beliau pergi
Berkat yakin 'azam di hati
Mendapatkan juga seizin Rabby

II.
Shalawat Nabi tali bobotnya
Istighfar Allah akan layarnya
Allahu Akbar nama anginnya
Subhanallah akan lajunya

Syarahku :
Ini gambaran thariqat sufi
Pengikatnya shalawat Nabi
Karena Nabi pintu Rabbani
Masuk di pintu adab yang murni

Ampun-Nya Allah Rabbul 'Izzaty
Ini harapan penting sekali
Baru di terima ibadat diri
Amal dan doa dia perhati
Allahu Akbar kaguman hati
Kebesaran-Nya jelas tajalli
Taqwa pun nikmat tanpa dicari
Berkat zikir pada illahi

Subhanallah hakikat inti
Zikir pada-Nya setiap kali
Barulah laju zikirnya hati
Sehingga lupa kepada diri

Tali bobotnya kuatkan akhi
Layar dikembang berhati-hati
Angin berhembus gembira diri
Kapal pun laju senang di hati

Kalau begitu dalam hal ini
Kepada Nabi ikatkan hati
Ma'rifat Allah ma'rifat Nabi
Barulah sampai tujuan asli


III.
Satu (kanlah) dengan dingin
Tinggal (kanlah) loba dan ingin
Hancur hendaklah seperti lilin
Maka dapat kerjamu licin

Syarahku :
Syair tadi membawa arti
Bahwa semua ciptaan illahi
Tauhid af'al istilah ini
Asma dan sifat masuk sendiri

            Dingin menyatu sama sekali
            Tidak berbagi hal keadaan ini
Hancurnya lilin misalnya ini
Baru ibadat sifat haqiqy

Martabat tauhid gambaran ini
Insan khawash sampai ke sini
Melalui jalan thariqat sufi
Dapat berhasil ke derajat ini








IV.
Hunuskan pedang bakarkan sarung
Isbatkan Allah nafikan patung
Laut tauhid juga kau harung
Di sanalah engkau dapat bernaung

Syarahku:
Beliau mengungkapkan di syair ini
Wahdatul wujud Tauhid Rabbany
Ilmu hakikat dalamnya arti
Ilmu ma'rifat pada Illahi

Jangan terlihat sama sekali
Akal dan rasa di dalam diri
Penglihatan mata tidak berarti
Melihat alam semua ini
Kalau ma'rifat sudah begini
Tak ada yang maujud selain Rabbi
Hilanglah diri terlihat Illahi
Itulah rupamu yang haqiqy

Ketika itulah wahai akhi
Sarung pedangmu tak ada arti
Bakarkan saja ke dalam api
Baru kau lihat pedang haqiqy
Pedang yang itu hunuskan akhiy
Memancung akwan sama sekali
Isbatkan Allah lahir bathini
Wahdatul wujud inilah arti

Sila berlayar di samudera ini
Lautnya tauhid luas sekali
Bathin merdeka terus mencari
Mencapai maujud sifat haqiqy

V.
Wujud nama perahunya
Ilmu Allah akan kruengnya
Iman Allah nama kemudinya
Yaqin ke Allah nama pawangnya

Syarahku :
Maksud dari syairnya ini
Tamsil gambaran wujud haqiqy
Iman Allah nama kendali
Wahdatul wujud Allahu Rabby

Nama perahu wujud Illahi
Sungai bernama ilmu haqiqy
Nama kemudi iman di hati
Nama pawangnya yaqin ke rabby

Apakah dengan sebagian gambaran syair tasawuf Hamzah Fansuri di atas, wajarkah dikatakan Hamzah Fansuri mulhid dan zindiq seperti tuduhan Ar-Raniry? Manusia yang mempunyai akal yang waras tidak sampai ke taraf demikian, selain karena masalah politik di mana sebelumnya pengaruh Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As Sumatrani telah sangat besar dalam Kerajaan Aceh sehingga seperti menutup pengaruhnya Syekh Nuruddin Ar-Raniry sendiri. Inilah salah satu sebab sebagian orang yang dapat menerima fatwa Ar-Raniry seperti terbawa pula anti terhadap thariqat-thariqat sifuyah.
Ketiga, Syekh H. Muhammad Hasan Krueng Kalee. Beliau lahir pada tanggal 13 Rajab 1303 H/18 April 1886 di Meunasah Keutembu Kabupaten Pidie. Beliau ulama besar ahlussunnah wal jamaah dan menganut Thariqat Haddadiyyah yaitu thariqat yang berpangkal kepada Said Abdullah Al Hadad. Beliau bukanlah termasuk dalam golongan ulama yang terlalu kolot karena beliau juga ikut dalam Musyawarah Pendidikan Islam yang di adakan di Lubok Banda Aceh pada tanggal 1 dan 2 oktober 1932 (30 Jumadil Awal – 1 Jumadil Akhir 1351 H), yang membicarakan masalah pembaharuan pendidikan Islam. Beliau alumni Dayah Yan di Kedah yang waktu itu dipimpin oleh Tgk. Syekh H. Muhammad Arsyad seorang ulama besar yang berasal dari Kerajaan Aceh Darussalam. Salah seorang dari muridnya Syekh Hasan Krueng Kalee ialah Tgk. Muhammad Daud Beureeh, ulama pejuang kemerdekaan/Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo. Tgk. H. Ahmad Hasballah Indrapuri adalah alumni Dayah Yan juga tetapi kealiman Tgk. H. Hasan Krueng Kalee dalam pandangan masyarakat Aceh melebihi dari Tgk. Ahmad Hasballah Indrapuri dan Tgk. Syekh Muhammad Saman yang alumni Dayah Yan di Kedah juga.
Pendek kata, dari seluruh ulama semasa atau lebih kurang seumur dengan Syekh Hasan Krueng Kalee dalam bidang ilmu pengetahuan, Syekh Hasan lebih unggul dari mereka dan mengeluarkan alumni pesantren yang banyak pada zamannya.
Keempat, Tgk. Syekh H. Muhammad Waly Al Khalidy yang masyhur dipanggil masyarakat dengan Tgk. H. Mudawaly.[10] Lahir pada tahun 1337 H (1917 M). Akan tetapi Prof. A. Hasymi membetulkan: kalau tahun 1337 H maka tahun masehinya adalah 1918/1919. Beliau lahir di desa Blang Poroh Labuhan Haji Aceh Selatan. Kami kurang berkenan mengungkapkan sejarah hidup beliau, tetapi para pembaca hendaklah membaca sebuah buku susunan Prof. A. Hasymi yang berjudul "Ulama Aceh Mujahid Pejuang Kemerdekaan dan Pembangunan Tamaddun Bangsa", dan silahkan juga membaca sejarah hidup beliau yang telah kami tulis dengan judul "Ayah Kami Maulana Syekh Haji Muhammad Waly Al Khalidy" yang dicetak oleh JWB Printers & Binders PTE LTD Singapore pada masa kami menjadi Guru Besar luar biasa di Kulliyyah of Laws International Islamic University Malaysia pada tahun 1993, kemudian dicetak ulang oleh Bapak H. Bustanul Arifin mantan Menteri Koperasi dan Kepala Bulog Indonesia.
Beliau adalah ulama utama dengan KH. Abdul Wahab Hasbullah, Rais Am Nahdhatul Ulama Indonesia dalam memutuskan hukum bahwa Presiden Sukarno adalah waliul amri adh dharuuri bisy syaukah. Karena itu haram bagi rakyat Indonesia memberontak kepada Bung Karno selaku presiden dan beliau juga mengungkapkan kepada kami mahasiswa Perguruan Tinggi Bustanul Muhaqiqiin Darussalam Labuhan Haji yang di antara mahasiswanya adalah Tgk. Syekh Abdullah Tanoh Mirah dan Tgk. Syekh Abdul Aziz Samalanga, dan Tgk. Syekh Syihabuddin Keumala, dan lain-lain. Beliau mengatakan apabila Aceh (pada masa Abu Beureueh dan para pengikutnya) sudah tidak mengakui pemerintah dan pusat dapat mengatasi Aceh di bawah pemerintah kekuasaannya, maka kita wajib takluk di bawah komandonya tetapi amat disayangkan kenapa Abu Beureueh sebelum memulai perjuangannya itu tidak mengadakan kontak dengan saya. Maka terjadilah pertumpahan darah di Aceh.
Beliau mempunyai murid-murid yang banyak sehingga semua ulama di pesantren Aceh ini langsung atau tidak langsung adalah tidak terlepas dari pada pendidikan dan pengajaran beliau.
Walhasil aqidah ahlussunnah wal jamaah dan perkembangan nilai-nilai tasawuf di Aceh ini tidak terlepas dari pada limpahan pengetahuan Syekh H. Hasan Krueng Kalee dan kemudian dilanjutkan dalam berbagai ilmu pengetahuan agama termasuk tasawuf Islam dan berkembangnya thariqat naqsyabandiyah. Maka adalah laqab thariqat naqsyabandiyah sekarang ini disebutkan dengan Al-Waaliyyah di samping dengan berbagai laqab dari penggal masa ke masa dalam perkembangan thariqat naqsyabandiyah, sebagai berikut:
1.      الصديقية                  2. الطيفورية                     3.  الخوجكانية                4. النقشبندية
             5.   الأحرارية                  6.  المجددية                   7. الخالدية                     8. الوالية

Mengenai dengan masyrab (penghayatan) beliau dalam ma'rifat beliau sering mengungkapkan di sela-sela shalat tharawih dalam bahasa Aceh sebagai berikut:
Teusom akwan leumah Tuhan
Teusom akwan leumah Rabbii
Wa – in ghibtu badaa
Wa – in badaa ghayyabanii

Leumah Tuhan dengun wujdaan
Meukon meunan sesat achy
Karena wujdaan wahai tuan
Kamu sekalian datang keumari
Beuta yaqin wahai rakan
Musuh wujdaan wujud diri
Wujud diri kota syaithan
Penghancurnyan hidayah Rabbii

Jalan meuteumeung hidayah nyan
Suluk rakan thariqat sufi
Di Darussalam na thariqat nyan
Bubit nyoe meunan wahai ya Rabby
Di Darussalam na gunong intan
Yang peugoet nyan salik sufi
Yang dimaksud bak peugot nyan
Keridhaan Allah wahai ya Rabbi

Khalifatii wa muriidii
Bek istighal dengan faani
Bak istighal deungon haqiqi
Serta dengan syariat Nabi
So istighal ngon haqiqi
Serta hana ngon syari'iy
Nyan keuh ureung yang zindiqi
Meunan neukheun le Maliky

So isytigal ngon syari'iy
Serta hana ngon haqiqi
Nyan keuh ureung wahai akhy
Berhampiran ngon Wahaby
Neupeu ampon lon wahe ya Rahman
Bak jeud berjalan deungon Nabi
Bak meurumpok dengan 'iyaan
Dengan junjungan di Kautsary

Neupeu ampon lon wahe ya Mannaan
Ji kheun le rakan lon ka shufi
Bak jeud keu sabab ji kheun meunan
Sitrul jamil wayaa sayyidii
Padahal lon tuan kon lagenyan
Jiuohnya panggang darinya nari
Ma'af sayyidii yang na harapan
Asirul akwan Muhammad Waly 


3.      Mengenai dengan perkembangan thariqat di Nanggroe Aceh Darussalam, saya melihat sebagai berikut:
a.      Bahwa thariqat suluk yang dipimpin oleh Tgk. Muhammad Sa'id (Tgk. 'Id) di Teupin Raya Pidie, seorang ulama di Krueng Mideun bernama Tgk. H. Ben diwaktu beliau naik haji ke Mekkah menanyakan pada ulama-ulama Mekkah dan Madinah mengenai thariqat yang berkembang di Teupin Raya di masa itu. Setelah H. Ben menguraikan ajaran-ajaran thariqat itu, ulama tersebut memberi fatwa, thariqat itu salah dan orang yang mengerjakannya menjadi murtad.
Maka sepulangnya dari Mekkah oleh H. Ben mengadakan musyawarah dengan beberapa ulama dan beberapa ulee balang di Pidie di antaranya Bentara Keumangan dan Bentara Semasat. Mula-mula Tgk 'Id disuruh bertaubat dan menyerah kepada ulama, tetapi karena ia berkeras, terjadilah serang menyerang sampai tiga hari, dan akhirnya Tgk. 'Id dapat di bunuh serta beberapa pengikutnya yaitu pada bulan Jumadil Akhir tahun 1287 H.
Demikian tulisan Tgk. H. Abdullah Ujong Rimba yang beliau nukilkan dari cerita Tgk. H. Ben dalam sebuah hikayatnya yang bernama Perang Salik.
Penulis risalah ini berpendapat. Cerita di atas masih diragukan karena beberapa hal :
-          Thariqat apa yang disalahkan itu. Karena thariqat ada dua macam. Ada thariqat mu'tabarah dan ada thariqat ghairu mu'tabarah.
Thariqat mu'tabarah tidak menyimpang dari tauhid, menurut pemahaman ulama tauhid Asy Sya'irah dan Al Matrudiah, sedangkan thariqat ghairu mu'tabarah adalah kebalikannya dan yang dipimpin oleh ulama yang tidak menguasai ilmu syariat, ilmu thariqat dan ilmu ma'rifat. Karena itu masih diragukan. 
-          Thariqat itu mesti ada namanya, supaya kita dapat menempatkan apakah thariqat itu benar atau tidak benar.
Apabila hal keadaan ini tidak ada dasar yang dapat diyakini maka ini tidak lebih dari pada fitnah semata-mata.
b.      Fatwa dari seorang ulama mufti Syafi'i di Mekkah di masa kerajaan Syarif Husain, bernama Muhammad Sa'id bin Muhammad Babusil (Babasil), mengenai pertanyaan tentang thariqat Naqsyabandiyah yaitu bagaimana pendapat tuan terhadap riadhah (latihan) yang terkenal dalam thariqat naqasyabandiyah. Menurut cara berlaku di masa kami ini? Adakah cara itu dilakukan di masa Rasulullah SAW, di masa sahabat dan di masa tabi'in? Adakah cara itu cocok dengan syariat-sufi, atau tidak? Tunjukkanlah fatwa tuan kepada kami.
Jawab dari mufti:
Menurut yang sampai kepada kami mengenai thariqat naqsyabandyah dan bukan thariqat naqsyabandyah pada masa kami ini, bahwa kebanyakan dari cara-cara itu bertentangan dengan syari'at Muhammad, dan cara-cara itu tidak berlaku sedikit pun di masa sahabat, dan tidak berlaku pula di masa tabi'in, karena itu wajib atas orang yang bertugas mencegah munkar supaya mencegah segala di ada-adakan mereka dari perbuatan-perbuataan yang bertentangan dengan syara'. Sebaik-baik thariqat dan sedekat-dekatnya untuk sampai kepada Allah ialah mencari ilmu dan mengamalkannya secara jujur dan ikhlas, Allah selalu memberi taufik kepada orang yang dirihai-Nya.
(Ditulis oleh hamba yang arif kepada Tuhan yang amat Murah, Muhammad Sa'id dan Muhammad Babasil, Mufti Syafi'i di Mekkah Al Mukarramah)

Kami berpendapat:
Bahwa mufti Mekkah tersebut rujukannya sangat kurang sehingga ia mengatakan seperti di atas: bahwa kebanyakan dari cara-cara itu yakni riadhah yang terkenal dalam thariqat naqsyabandiyah bertentangan dengan syariat Muhammad adalah tidak benar sama sekali. Harap baca di antara kitab-kitab thariqat naqsyabandiyah seperti (تنوير القلوب) oleh Syekh Muhammad Amin Al Kurdi, dan kitab (جامع الأصول) oleh Syekh Ahmad Dhiauddin An Naqsyabandy al Mujaddidy dan banyak sumber-sumber yang lain baik yang sudah di cetak atau yang masih bersifat manuskrip di Egyption Library Cairo. Maka seruan untuk mencegah kemunkaran dalam hal ini adalah terbalik, bahwasanya seruan itu harus ditujukan kepada mufti dan pengikut-pengikutnya di mana saja.
c.       Fatwa dari seorang ulama mazhab Maliki Syekh Syua'ib bin Abdurrahman Ash Shiddiqi dari Maghribi Maroko mengenai pertanyaan tentang thariqat naqsyabandiyah, yaitu bagaimana pendapat tuan, (tetaplah kemuliaan Tuan) terhadap cara ibadah yang terkenal dalam thariqat naqsyabandiyah, menurut cara yang berlaku di masa kami ini adakah cara itu berlaku di masa Rasulullah, di masa sahabat, dan di masa tabi'in, apakah tidak? Apakah cara itu cocok dengan syariat suci. Ataukah tidak? Uraikanlah kepada kami fatwa tuan.
Jawab mufti:
Allah jua yang memberi taufiq kepada yang benar, bahwasanya apa yang ditanyakan mengenai pelaksanaan thariqat naqsyabandiyah menurut setahu kami tidak pernah berlaku di masa Nabi, tidak pernah di masa shabat dan tidak pernah di masa tabi'in, bahkan ulama-ulama yang muhaqqiqin dari guru-guru kami tidak membernarkannya dan tidak membenarkan adanya cara-cara itu di masa setelah salafus shalih.
Kami berpendapat:
Bahwa jawabannya ini tidak terlepas dari pada jawaban di atas.
Ketahuilah bahwa gambaran ibadat yang diistilahkan dengan thariqat belum ada pada zaman Nabi, pada zaman sahabat dan pada zaman tabi'in. kalau pun sudah ada hanya sanya sekedar menggambarkan pilihan antara para ulama dari zikir-zikir atau nilai-nilai yang tersebar luas dalam arti pemahaman Al-Qur'an, Hadits, Sejarah para Sahabat yang tidak bertentangan dengan Al-Qur'an, Hadits, Ijma', Qiyas, dan Atsar (yakni perkataan para sahabat dan perbuatan mereka juga perkataan dan perbuatan salafus shalih yang tidak bertentangan dengan semuanya itu. Berarti istilah thariqat adalah baru tetapi kandungan thariqat adalah lama dalam arti tidak bertentangan dengan nila-nilai aqidah syariat dan dasar-dasar di atas. Justeru karena itulah maka ada istilah As-Salaf dan istilah Al Khalaf.

Kemudian mufti di atas melanjutkan lagi:
Orang-orang yang mengatakan bahwa yang demikian pernah berlaku di masa Nabi dikhawatirkan akan tergolong ke dalam umum kata Nabi.
من كذب علي متعمد فليتبواء مقعداه من النار   
"Orang yang sengaja mengada-adakan dusta kepada saya, pastilah ia masuk ke dalam neraka."

Mufti Al Maghribi (Maroko)
Syu'aib bin Abdurrahman Ash Shiddiqi Al Maghribi.

Pendapat di atas, kami menjawab sebagai berikut:
Bahwa tartibat pengamalan thariqat seperti yang diamalkan oleh para ulama thariqat dan para pengikutnya memang tidak pernah berlaku di masa Nabi, tidak pernah di masa sahabat, dan tidak pernah di masa tabi'in, dan para ulama muhaqqiq tidak membenarkannya dan tidak membenarkan adanya cara-cara itu di masa salafus shalih.
Pengertian tidak pernah, betul tidak pernah tetapi ada. Ada di masa Nabi, ada di masa sahabat, dan ada di masa tabi'in. "ada" dalam arti maddiyyah, bukan ada dalam arti tartibiyyah. Zikir ada di masa Nabi, taubat ada di masa Nabi, membaca ayat sebelum dan sesudah berzikir ada di masa Nabi dan tidak ternafi keberadaannya di masa sahabat, tabi'in dan salafus shalih. Pendapat mufti itu adalah jawaban yang benar karena dia mengatakan tidak pernah, bukan tidak ada. Ulama yang muhaqqiq itu ulama yang mana, karena setiap ilmu ada muhaqqiqnya. Apakah ulama syariat, thariqat, dan ma'rifat menolaknya? Tidak. Baca kitab-kitab tauhid/ushuluddin yang bersifat salafi dan khalafi. Baca kitab-kitab ahlussunnah wal jamaah, bukan ahlussunnah saja tetapi tambah wal jamaah yang alim, yang banyak membaca, yang mu'tabar di kalangan ulama Islam yang mendunia, tidak ada yang menyalahkan thariqat-thariqat yang mu'tabarah, terkecuali yang bukan mu'tabarah. Periksalah mana yang mu'tabarah dan mana yang bukan mu'tabarah.
d.      Bagaimana dengan fatwa Syekh Ahmad Khatib Bin Abdul Latif al Minangkabawi Imam Masjidil Haram Mekkah Al Mukarramah di masa kerajaan Syarif Husain dengan judul kitabnya اظهارزغل الكاذبين (Pengungkapan Tipuan Para Pembohong) cetakan kedua pada Matba'ah Taqaddum, Mesir tahun 1344 H, adalah senada dengan fatwa-fatwa mufti di atas dan dilihat judul dari kitab tersebut seakan-akan lebih dahsyat lagi isinya dari fatwa-fatwa mufti lainnya.
Di sini kami berkata, bahwa Syekh Ahmad Khatib bukan pendekar dalam ilmu tasawuf thariqat dan bukan pula pendekar dalam ilmu tauhid ma'rifat. Beliau adalah pendekar dalam ilmu fiqh dan ushul fiqh, dan dalam hal ini diakui oleh sebagian ulama. Dan ada catatan dari ulama Minangkabau zaman dahulu, bahwa pada masa 40 hari, yaitu 10 hari sebelum ramadhan dan 30 hari dalam bulan ramadhan, demikian juga 20 hari dalam bulan maulud , dan 20 hari dalam hulan haji halaqah pengajian ahmad khatib sepi Karena para murid beliau pada masa-masa itu naik ke atas Jabal Qubis mendalami ilmu tasawuf dan ilmu thariqat dan ini selaku manusia biasa agak kurang mengenakkan bagi beliau. Maka timbullah karangan di atas di samping itu di cap oleh para ulama Minangkabau pada masa itu : "Apabila tuan terus menulis seperti yang demikian dan tidak rujuk kepada jalan yang benar, maka nama tuan akan jatuh di alam minangkabau ini, tidak ada artinya".
Ada sebagian riwayat yang mengatakan bahwa Syekh Ahmad Khatib tidak melanjutkan tulisannya lagi dan sudah rujuk kembali kepada mengakui adanya thariqat mu'tabarah di hadapan para pelajar Minangkabau yang belajar di Mekkah Al Mukarramah pada zaman itu.
e.       Fatwa dari Majelis Ulama Propinsi Daerah Istimewa Aceh dalam rapat kerja tanggal 18 s/d 23 Syawal 1394 H bertepatan dengan tanggal 3 s/d 8 November 1974 M, berdasarkan berita-berita dan pertanyaan-pertanyaan yang diterima dari daerah Tingkat II mengenai pelaksanaan thariqat-thariqat dan thariqat Mufarridiyah setelah membahas dan meneliti secara mendalam berpedoman kepada kitab suci dan hadits Nabi secara ijma' ulama, rapat mengambil keputusan sebagai berikut:
·         seluruh thariqat yang pelaksanaannya bertentangan dengan syariat islam tidak dibenarkan
·         thariqat-thariqat yang pada saat ini sedang berkembang di Aceh, pada prakteknya bertentangan dengan syariat Islam
·         thariqat mufarridiyah yang telah diadakan penelitiannya oleh Majelis Ulama adalah ajaran yang berada di luar ajaran Islam
·         Orang yang mengikut dan menganut serta menjabarkan thariqat mufarridiyah adala sesat dan menyesatkan.
Kami menanggapi :
1.      Bahwa fatwa majelis ulama tersebut tidak teliti dan sama sekali tidak meyakinkan, karena fatwa itu berdasarkan kepada berita-berita. Padahal yang namanya berita-berita sama sekali tidak dapat dijadikan alasan yang meyakinkan. Dikatakan lagi berdasarkan pertanyaan-pertanyaan. Kita bertanya siapa orang-orang yang bertanya itu. Jangan-jangan dia tidak bisa membaca kitab-kitab para ulama yang mendalam dalam bidangnya, artinya kitab hakikat-tauhid dan tasawuf dengan berbagai judul. Jangan-jnagan pertanyaan-pertanyaan itu adalah sekedar menghasut dan memecah belah kesatuan umat Islam di Aceh yang ahlussunnah wal jamaah. Bahkan kitab suci Al-Qur'an, Hadits Nabi, serta Ijma' ulama, manakah dalil-dalil itu yang jelas menerangkan baik secara manthuq maupun secara mahfum yang mu'tabar mengungkapkan thariqat-thariqat sufiyah mu'tabarah adalah sesat dan menyesatkan. Sehingga ditetapkan pula bahwa pelaksanaannya bertentangan dengan syariat Islam dan tidak dibenarkan. Ini adalah fatwa yang sangat keliru dan pada hakikatnya sesat menyesatkan.
2.      Apakah thariqat-thariqat mu'tabarah yang berkembang di Aceh sejak dulu sampai sekarang bertentangan dengan syariat Islam? Coba buktikan, jangan menjual atau membeli kucing dalam karung.
3.      Bagaimana gambaran thariqat mufarridiyah, sebab thariqat ini tidank terkenal bahkan tidak ada dalam kelompok thariqat-thariqat mu'tabarah.
4.      Oleh karena itu maka tidak sah menghukum ajaran thariqat mufarridiyah apabila belum mengetahui hakikat ajarannya. Bahkan semua thariqat mu'tabarah apabila tidak diketahui dengan pasti ajaran-ajarannya, maka haram berfatwa ke atasnya. Kaidah hukum berkata :
الحكم على الشيء بعد معرفة حقيقة
Menjatuhkan hukum atas sesuatu, mestilah setelah mengetahui hakikatnya (sesuatu itu)

SARAN  DAN HIMBAUAN
1.      Ulama Aceh yang berasal dari Aceh, yang hidupnya adalah untuk Aceh seperti Syekhul Akbar Hamzah Fansuri dan Syekhul Akbar Syamsuddin As Sumatrani hendaklah kita semua menghormati kedua beliau dengan jalan meletakkan nama keduanya pada lembaga yang bersifat perguruan tinggi atau pada lembaga islami yang menjadi rujukan dan kemegahan bagi kita bersama. Kedua beliau ini lebih dari pada Ar-Raniry apalagi Ar-Raniry telah mencap keduanya ini kafir dan zindiq. Ar-Raniry melihat Syekh Abdul Rauf As Singkili laksana matahari yang tidak bisa ditentang karena keilmuannya dan perjalanan ilmiah yang telah ia capai yang bersifat internasional dan didukung oleh kerajaan Aceh sedemikian rupa pada zamannya. Syamsuddin Sumatrani adalah murid Hamzah Fansuri, justeru itu maka Ar-Raniry melalui kerajaan Aceh yang dia telah masuk dalam struktur kerajaan pada masa itu dapat memukul Syamsuddin as Sumatrani dan pengaruh beliau hingga beliau hijrah ke Pulau Melaka, dan pada waktu itu bertepatan pula dengan rencana Aceh untuk menyerang Portugis di Melaka, maka Syekh Syamsuddin As Sumatrani mantan Qadi Malikul Adil pada zamannya menggabungkan diri dalam Laskar Mujahidin Aceh Armada Cakradonya II, maka terjadilah musibah yaitu syahidnya Syamsuddin as Sumatrani dan sebelum berangkat armada cakradonya kedua ke Melaka Sultan Iskandar Muda mendapat musibah dari Allah sehingga dengan hati besar harus menjatuhkan hukuman mati kepada putera mahkotanya yang sedianya menggantikan Iskandar Muda, walaupun qadi malikul adil pada masa itu (mungkin Ar-Raniry), para wazir/menteri dan permaisuri Putri Pahang menghadap Iskandar Muda memohon agar beliau mempergunakan "hak istimewanya" untuk memberi ampunan kepada putera mahkotanya. Iskandar Muda menjawab "Tidak, tidak mungkin! Dia telah mencemarkan Kerajaan Aceh Darussalam, bahkan dia telah menodai agama Islam." Jawaban pastinya itu ditutup dengan kata berhikmah, "matee aneuk na jeurat gadoh adat ho tamita".
2.      Mengusulkan kepada pemerintah daerah NAD semoga membentuk sebuah badan penyelidik khusus mengenai ajaran-ajaran kebatinan dan thariqat-thariqat yang ada, mana yang mu'tabarah dan mana yang tidak mu'tabarah, mana yang benar dan mana yang sesat menyesatkan. Apalagi sekarang ini banyak kita lihat kelompok yang secara lahiriah berpakaian sufi tetapi menyimpang dari pada ajaran Islam dan juga kelompok-kelompok tasawuf atau mungkin sebagian penganut thariqat menjadikan ajaran yang disebarkannya itu sebagai usaha kepentingan ekonomi. Na'udzibillah min zalik.


Catatan:
Kami menulis tulisan ini karena memperkenankan permintaan para ulama dayah. Terlebih-lebih lagi memperkenankan permintaan dari ketua Majelis Ulama Daerah Istimewa Aceh tanggal 18 s/d 21 Syawal 1394 H, bertepatan dengan 3 s/d 8 November 1974 M, yang berbunyi:
Kami sedia menerima sanggahan-sanggahan dari kaum muslimin terhadap masalah-masalah yang tercantum dalam risalah ini, kalau sanggahan-sanggahan itu dibarengi dengan fakta-fakta yang menjadi pegangan dan landasan bagi Syariat Muhammad SAW. Karena tujuan kami semata-mata untuk mencapai kebenaran bukan untuk mencari ketegangan.  
Permohonan:
Mari kita mencari kebenaran dalam sifat pembahasan secara ilmu pengetahuan dan mari kita menghindari hal-hal yang bersifat fanatic dan emosi. Dahulukanlah hati yang ikhlas, akal yang waras, dan kepentingan masyarakat yang lebih luas. Inilah isyarah logika dari Abdurrahman Al Akhdhari:

واصلح الفسـاد بالتأ مل – وان بد يهة فلا تبدل لاسيما فى عاشر القرون- ذى الجهل والفسـاء والفتون.

Perbaikilah kerusakan dengan berfikir secara ilmu pengetahuan.
Dan jika anda berfikir dengan gampang tanpa ilmu pengetahuan
maka jangan anda robah apa yang telah diungkapkan, lebih-lebih dalam 10 abad kurun waktu.
Orang bodoh, orang perusak, tukang fitnah, berada dalam setiap masa dan setiap keadaan.



Wallahu a'alam bissawab,
                                   

                            الفقير الحقير
     

    
    Prof.Dr. Muhibbuddin Muhammad Waly,MA
            





[1]Lahir, Lok Gabang, Martapura, 15 Safar 1122 H/19 Maret 1710 (wafat , Kalampayan, Astambul, Banjar, Kalimantan Selatan, 6 Syawal 1227 H/13 Oktober 1812). Seorang ulama besar yang sangat berpengaruh dan memegang peranan penting dalam sejarah perkembangan Islam, khususnya di Kalimantan; tokoh yang gigih mempertahankan dan mengembangkan faham Ahlussunnah Wal Jamaah dengan teologi Asy 'ariyah dan fiqh mazhab Syafi'i; mufti kesultanan Banjar dan penulis kitab-kitab agama yang cukup produktif.
[2] Tanggal kelahirannya yang pasti tidak diketahui, diperkirakan dia lahir pada tahun 1709 (1122 H). Daud Pattani hidup sezaman dengan Syekh Muhammad Arsyad Al Banjari, seorang ulama fiqh dan tasawuf yang berasal dari Banjarmasin. Malah dikatakan mereka dua sahabat karib yang sama-sama belajar di Mekkah selama 30 tahun dan di Madinah selama 5 tahun.

[3] Dengan nama lengkap Muhammad bin Ali bin Hasanji bin Muhammad Hamid Ar-Raniry al-quraisy As Sata'i adalah seorang ulama terkemuka yang menjadi seorang mufti di aceh dari 1637-1644 M (1047-1054 H). Ia keturunan arab, kelahiran kota pelabuhan Ranir (Rander), Gujarat India, tapi tidak diketahui tahun kelahirannya. Wafat 22 Zulhijjah 1069 H/21 September 1658 M. Hidup pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Tsani  pada tahun 1636-1641 sebagai Mufti Kerajaan pada tahun 1637 M/1047 H – 1644 M/1054 H.

[4] Plato hidup dalam tahun 427 – 348 SM, dipandang sebagai filosof yang pertama sekali menyebut kalimat "idealis" yang ditujukan kepada pengertian rohani semata-mata. Sebagai murid utama Socrates, seorang filosof Yunani yang hidup pada abad ke-4 SM dan wafat pada tahun 399 SM. Plato mengembangkan doktrin gurunya di samping menyempurnakan pemikiran-pemikirannya. Menurut ahli fikir tersebut, perbuatan dan tingkah laku manusia difahamkan dengan cita-citanya sekalipun mengerti bahwa cita-cita itu tidak bisa sampai. Segala keadaan di dunia ini tidak kekal, selalu berubah. Karena itu menurut Plato, dunia yang ditempati manusia ini adalah dunia bayangan, sedangkan dunia cita-cita adalah dunia yang kekal yang tidak berubah, yang selalu dicari manusia yang berfikir dan berpengetahuan menurut rasio.
Apakah yang dinamakan Tuhan menurut pendapat Plato? DIA adalah sumber segala sesuatu dan tempat kembali segala sesuatu. Dialah pikiran kebaikan yang ada dengan sendirinya sebelum ada masa dan akan tetap ada sesudah masa, tidak ada perhubungannya dengan masa dan tidak ada pengaruh masa bagi dirinya. Dari padanya terbit segala kebenaran yang kekal.
Menurut Plato segala keadaan di dunia ini tidak kekal, selalu berubah. Karena itu, dunia yang ditempati manusia ini adalah dunia bayangan, sedangkan dunia cita-cita adalah dunia yang kekal yang tidak berubah. Dan kalau dunia yang ditempati manusia itu bersifat baharu maka jelas bahwa tiap-tiap baharu itu ada mempunyai sebab yang membaharukannya.
Tidak dapat diterima akal sesuatu terjadi dengan tidak ada sebab. Adalah nyata sekali alam ini baharu, karena ia dilihat, dirasa, dan juga berbenda. Semua sifat ini dapat dirasai.
Apa yang diungkapkan oleh Plato diperkuat kebenarannya oleh Asy-Syarastani dalam Kitabnya Al-Milal wa Al-Nihal.
Tentang socrates adalah terkenal dengan semboyannya "Kenalilah diri engkau dengan diri engkau sendiri". Semboyan ini diungkapkan oleh para ulama Tauhid-tasawuf dengan semboyan : من عرف نفسه فقد عرف ربه "Barang siapa yang kenal pada dirinya, maka ia pasti kenal pada Tuhannya".
Semboyan itulah yang berasal dari filsafat Socrates yang kemudian ditafsirkan oleh muridnya Plato dan seterusnya kemudian diungkapkan pula oleh Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadits yang masyhur dan kemudian menjadi dasar utama bagi ketauhidan dalam ilmu Tauhid (Islamic Theology). "Theos" yang berarti Tuhan dan "logos" yang berarti ilmu (ilmu tentang Tuhan atau ilmu ketuhanan, yang bagi umat Islam dengan ilmu ketuhanan yang Maha Esa).
[5] Yakni ajaran sufisme itu harus menyertai semua disiplin ilmu pengetahuan.
[6] Asimilasi : penyesuaian, penyelarasan.
[7] Term : istilah 
[8] Nilai-nilai Islam yang ilmunya sudah terbuka dan  sah.
[9] Karena itu maka thariqat bermacam-macam, sesuai dengan amaliah yang dipandang lebih mantap pada pengamalan lahiriah dan batiniah. Dan hal keadaan ini berdasarkan ma'rifatnya (penghayatan batinnya yang begitu mantap dalam mengisi hidup dan kehidupan).
[10] Asal usul perkataan Muda dalam nama beliau adalah berasal dari Sumatera Barat karena beliau lebih kurang dalam usia 20 tahun telah menjadi sambungan lidah bagi para ulama Ahlussunnah wal jamah di Sumatera Barat. Apabila terjadi perdebatan di mana-mana antara kelompok kaum Muda terhadap kelompok kaum tua, maka para ulama Sumatera Barat mengemukakan beliau dalam menghadapi debat-debat yang dikemparkan oleh kaum muda. Semua pertanyaan dalam istu dapat beliau jawab berdasarkan disiplin ilmu pengetahuan agama, sehingga ulama kaum muda tidak dapat berkutik lagi dan para ulama-ulama besar kaum tua merasa puas dengan jawaban beliau. Maka lahirlah pemunculan panggilan para ulama terhadap beliau dengan Tgk. Mudo Abdullah Waly dan kemudian diralat selanjutnya dengan Tuanku Mudo Waly.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar