Minggu, 21 September 2014

KONTROVERSI DOKTRIN WUJUDIYAH DALAM SEJARAH ACEH




KONTROVERSI DOKTRIN WUJUDIYAH
DALAM SEJARAH ACEH

A.    Pengertian Wahdatul Wujud dan Wahdatusy Syuhud Secara Global
Sebelum berbicara lebih lanjut tentang keberadaan doktrin wahdatul wujud dalam dunia Islam, perlu kita pahami bahwa doktrin ini selain menimbulkan polemik (kontroversi) di kalangan umat Islam, khususnya antar para ilmuwan Islam; terdapat pula doktrin lain, yang secara awam dapat dikatakan sebagai doktrin tandingan dari pada doktrin wahdatul wujud. Doktrin tandingan ini sudah umum dikenal dengan sebutan wahdatusy syuhud. Antara kedua doktrin ini terdapat perbedaan-perbedaan konsep yang mendasari inti dari pemahaman doktrin-doktrin itu sendiri. Maka pengertian kedua doktrin ini adalah sangat penting untuk diketahui bagi kita yang ingin mengkaji lebih dalam tentang keberadaan kedua doktrin tersebut, baik wahdatul wujud maupun wahdatusy syuhud dalam dunia Islam, khususnya dunia Islam di Aceh.
1.     Wahdatul Wujud
Di dalam Ensklopedi Islam Indonesia, wahdatul wujud (wahdat al-wujud) secara harfiah (berdasarkan konteks kalimat) berarti kesatuan wujud. Kesatuan wujud ini dapat dipahami sebagau satu wujud atau kesatuan dari bagian-bagian wujud sedemikian rupa sehingga merupakan satu kesatuan wujud.
Wahdatul wujud telah menjadi istilah yang cukup dikenal dalam dunia Islam, khususnya dalam dunia tasawuf. Istilah ini mengacu kepada paham atau aliran yang dibangun oleh sufi terkemuka dari Andalusia, Ibnu Arabi (w. 1240 M/637 H), dan para pengikutnya yang cukup banyak, seperti: Sadruddin al-Qunyawi (w. 1274 M/673 H), Mu’ayaduddin al-Jandi (w. 1301 M/700 H), Sa’aduddin Sa’id al-Fargani (w. 1301 M/700 H), Abdurrazaq al-Kasyani (w. 1335 M/736 H), Daud al-Qaisyari (w. 1350 M/751 H), Abdur-Rahman al-Jami (w. 1492 M/898 H), dan lain-lain. Kelihatannya istilah wahdatul wujud itu belum muncul dari Ibnu Arabi sendiri, tapi dari kalangan para pengikutnya dan dari kalangan yang menyerang paham atau aliran tersebut.
Paham wahdatul wujud Ibnu Arabi itu, menurut yang dapat dipahami para sarjana tasawuf, lebih kurang sebagai berikut: Wujud itu hanya satu, bukan banyak. Wujud yang satu itu adalah wujud dengan pengertian: yang ada dengan sendirinya, keberadaannya tidak karena yang lain dan tidak bergantung pada yang lain. Wujud yang satu ini disebut wujud hakiki, yang dapat dipandang dengan dua macam pandangan.
Pertama, ia dapat dipandang sebagai wujud mutlak, tanpa terkait dengan sifat-sifat dan nama-nama. Wujud mutlak ini menyerupai “Yang Esa” dalam paham Plotinus[1]. Hakikat wujud mutlak itu tak bisa diterangkan, tak bisa dibayangkan oleh pikiran, dan tak bisa digambarkan dengan ungkapan-ungkapan negative, seperti: Ia tak seperti ini atau tak seperti itu. Pendeknya wujud mutlak itu transenden (sesuatu yang jauh di atas hal-hal yang terdapat dalam pengalaman), maha ghaib, dan sama sekali berbeda dengan apa yang dibayangkan oleh pikiran manusia. Wujud hakiki yang dipandang sebagai wujud mutlak ini disebut oleh Ibnu Arabi dengan berbagai sebutan, seperti: al-‘Ama (kebutaan), an-Nuqtat (titik), Markaz ad-Dairat (pusat lingkaran), dan lain-lain.
Kedua, wujud hakiki itu dapat dipandang sebagai wujud yang tidak mutlak, tapi sudah terkait dengan nama-nama dan sifat-sifat, yang menggambarkan ‘ain (hakikat, identitas, kepribadian, tipe, atau bentuk) wujud hakiki itu. Wujud hakiki, dalam pandangan kedua ini, dikatakan sebagai wujud hakiki yang ber-tajalli, ber-ta’ayyun, atau”menyatakan diri dan identitas” melalui nama dan sifat. Dengan kata lain: Wujud hakiki yang sudah bernama dan bersifat itu adalah wujud hakiki yang dapat diketahui identitas atau hakikat-Nya. Al-Asma al-Husna (nama-nama yang indah) adalah nama-nama wujud hakiki itu, dan di antara nama-nama itu adalah Allah, nama yang menghimpun segenap nama dan sifat yang dapat dikaitkan dengan wujud hakiki tersebut.
Bagaimana dengan keberadaan alam atau makhluk lain? Alam dalam paham wahdatul wujud tidaklah berwujud. Dengan pengertian tidak berwujud hakiki. Keberadaan alam adalah karena wujud hakiki (Allah) dan selalu bergantung pada-Nya. Keberadaannya tidak wajib (mesti) karena dirinya, tapi wajib karena yang lain (yakni Allah). Alam ini diciptakan oleh Allah, karena Dia ingin dikenal oleh alam. Alam ini diciptakan berdasar ‘ain Allah sendiri. Dengan kata lain ‘ain ketuhanan pada Allah, menjadi prototip (sifat yang pertama) atau pola dasar bagu tajalli (penampakan diri secara tidak langsung) nama-nama, sifat-sifat, atau hakikat Tuhan. Di antara alam empiris ini  
2.     Wahdatusy Syuhud
B.    Kontroversi Doktrin Wujudiyah Dalam Sejarah Aceh
            Pembicaraan tentang peristiwa perseteruan antara Syeikh Nuruddin Ar-Raniry dengan pengikut ajaran wujudiyah Syeikh Hamzah Fansuri dan Syeikh Syamsuddin As-Sumatrani, terlebih dahulu harus kita maklumi secara kronologis (berurutan menurut waktu kejadian) perkembangan pemikiran keagamaan dan politik di Aceh pada sejak zaman Hamzah Fansuri sendiri serta masa para Sultan Kerajaan Aceh yang pernah menjadi penguasanya.
Tanpa ada maksud mengurangi pemaparan hal keadaan ini, ada baiknya secara langsung kita melihat inti permasalahan.
Sejarah mencatat bahwa kontroversi doktrin (persengketaan ajaran) wujudiyah (wahdatul wujud) di Aceh telah terjadi pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Tsani (1637 – 1641). Kontroversi yang menumbuhkan perdebatan adalah pandangan yang radikal.
Seorang ulama sufi besar, penganut Thariqat Rifa’iyah, Nuruddin Ar-Raniry (w. 1666), selanjutnya beliau disebut Ar-Raniry, dimana beliau adalah seorang Indo-Arab (ibunya seorang Melayu, sedangkan ayahnya berasal dari keluarga imigran Hadramaut yang mempunyai tradisi panjang berpindah ke Asia Selatan dan Asia Tenggara). Asal beliau adalah Randir (Gujarat) yang fasih berbahasa Melayu. Ar-Raniry berada di Aceh dari tahun 1637 – 1644. Beliau telah menganggap sesat ajaran wujudiyah (wahdatul wujud) yang dikembangkan oleh Syeikh Hamzah Fansuri dan Syeikh Syamsuddin As-Sumatrani. Sebagai seorang ulama ortodoks (lebih mementingkan pengamalan syari’at), lantas Ar-Raniry mengeluarkan fatwa bahwa doktrin wujudiyah bersifat heterodoks (menyimpang dari aqidah Islam). Sehingga mereka yang tidak mau bertaubat, bahkan mereka menolak menanggalkan paham tersebut dapat dianggap kafir yang layak dijatuhi hukuman mati.
Sikap Ar-Raniry tersebut didukung penuh oleh Sultan Iskandar Tsani, sehingga para pengikut Hamzah Fansuri harus menanggung tindak kekerasan aparat kerajaan. Mereka dikejar-kejar dan dipaksa melepaskan keyakinannya terhadap doktrin wujudiyah. Bahkan karya-karya mistik (tasawuf kental) Hamzah Fansuri dikumpulkan dan dibakar di depan Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Karya-karya tersebut dianggap oleh Ar-Raniry sebagai sumber penyimpangan aqidah Islam. (Lihat, Snouck Hougranje, II 1997: 12). Karena itulah Ar-Raniry telah menggambarkan dalam salah satu karyanya Al-Fatahul Mubiin sebagai berikut:
“… Dan lagi kata mereka itu: Al ‘alam huwa Allah, huwa al ‘alam, bahwa alam itu Allah, dan Allah itu alam. Setelah sudah demikian itu maka disuruh raja akan mereka itu membawa taubat dari pada i’tiqad yang kufur itu. Maka dengan beberapa kali disuruh raja jua akan mereka itu membawa taubat, maka sekali-kali tiada ia mau taubat, hingga berperanglah mereka itu dengan penyuruh raja. Maka disuruh oleh raja, bunuh akan mereka itu dan disuruhnya, himpunkan segala kitab karangan guru mereka di tengah medan mesjid yang bernama Bait Ar-Rahman. Maka disuruh oleh raja, tumpukkan segala kitab itu.”
Menurut Al-Attas, ilmuwan besar Islam Melayu-Malaysia, mengatakan bahwa sedikitnya terdapat 5 hal yang dijadikan alasan oleh Ar-Raniry untuk menghujah doktrin wujudiyah (1996: 18., 1970: 31),:
1.      Menurut Ar-Raniry gagasan Hamzah Fansuri tentang Tuhan, alam, manusia dan hubungan antar masing-masingnya tidak berbeda dengan gagasan para filsuf, kaum Zoroashter (Majusi), dan bahkan Brahmanisme.
Dalam salah satu karyanya, Tibyan fi Ma’rifah Adyan –selanjutnya disebut Tibyan–, Ar-Raniry mengatakan, “Ketiga ta’ifah dari pada Majusi itu bernama Sumaniyah. Adalah mereka menyembah tiap-tiap cahaya dari pada matahari, bulan, bintang, dan api dan barang sebagainya. Seperti katanya adalah, sekalian cahaya itu dari pada suatu cahaya jua, dahulu dari pada dijadikan Allah segala makhluk (yaitu ‘Arasy, Lauh dan tujuh petala langit). Maka tatkala dijadikan Allah ta’ala segala perkara itu jadi bercerailah segala cahaya itu; yaitu pada penglihatan mata jua, tetapi pada hakikatnya sekalian cahaya itu suatu jua; yaitu adalah nur Allah. Demikianlah i’tiqad Hamzah Fansuri.”
Katanya dalam Asraarul Arifin bahwa cahaya yang pertama-tama cerai dari pada dzat Allah itu adalah nur Muhammad. Maka dari pada perkataan ini cenderunglah kepada madzhab Tanasukhiyah, yang beraqidah bahwa arwah dapat menjelma kemana saja, dan ini adalah serupa dengan kata para filosof bahwa adalah Haq ta’ala (Allah ta’ala) itu suatu jauhar yang basith (tidak tersusun dari berbagai unsur).
Demikian pula i’tiqad Wathaniyah, yang dari pada kaum Barahimah dan Samiyyah yang mendiami negeri Tubbat. Begitu juga i’tiqad kaum Hululiyyah yang mendiami benua Hindustan, demikianlah i’tiqad mereka.

Dalam kutipan di atas, Ar-Raniry antara lain menyebutkan, tindakan kaum Majusi yang menyembah cahaya, karena berkeyakinan bahwa cahaya berasal dari satu cahaya sebelum terciptanya makhluk, sehingga mereka percaya bahwa semua cahaya pada hakikatnya adalah cahaya Tuhan. Kemudian Ar-Raniry menyamakan hal tersebut dengan keyakinan Hamzah Fansuri yang mengatakan, “Cahaya yang pertama memancar dari hakikat Tuhan adalah cahaya Muhammad (nur Muhammad).”
2.      Ar-Raniry menganggap bahwa ajaran wujudiyah tentang imanensi Tuhan dalam alam (keimanan bahwa Allah selalu berada di jagad raya ini) secara mutlak merupakan ajaran yang sesat (dalalat). Dalam Tibyan, ia mengatakan:
“Katanya bahwa segala arwah dan segala sesuatu itu daripada suku-suku Allah dari karena Ia berbuat dan menjadikan segala sesuatu. Maka perbuatannya dan yang demikiannya itu daripada-Nya dan kembali pula kepada-Nya jua. Maka segala makhluqat itu suku-suku daripada Allah. Inilah madzhab Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As-Sumatrani yang dalalat keduanya. Dan lagi kata setengah daripada kaum Tanasukhiyyah bahwa takwin dan mukawwin, dan fa’il dan maf’ul suatu jua. Dan demikianlah madzhab Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As-Sumatrani.” (Tibyan, dalam Al-Attas 1970: 478-479).
Lebih lanjut Ar-Raniry mengutip ucapan Hamzah Fansuri dalam salah satu karyanya, Al-Muntahi. Dalam kitab tersebut ketika menafsirkan sabda Nabi; man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa rabbahu; barangsiapa mengenal dirinya, maka ia mengenal tuhannya (menurut As-Sam’ani, ungkapan ini bukan hadits Nabi, melainkan kata-kata hikmah dari Yahya Ar-Razi. Sedangkan ulama lain, seperti Ibnu Thaimiyah dan Asy-Syaghany menganggapnya sebagai hadits palsu/maudhu’), (Lihat Azhari, 1985: 111). Oleh karena hadits ini di kalangan sufi tampaknya dianggap sebagai hadits shahih dan benar berdasarkan mukasyafah atau penyingkapan (yakni visi mistis) tapi dipandang tidak shahih berdasarkan jalur riwayatnya.  Hamzah Fansuri mengatakan: “… arti mengenal Tuhannya dan mengenal dirinya yakni diri; kuntu kanzan maghfiyan (itu) diri-Nya, dan semesta sekalian dalam (ilmu) Allah (tamsil) seperti biji dan pohonnya dalam biji itu, lengkap serta dalam biji itu.”
Maka nyatalah daripada perkataan wujudiyah itu bahwa seru sekalian alam adalah lengkap berwujud di dalam Haq ta’ala. Maka keluarlah alam daripadanya seperti pohon kayu keluar dari pada biji. Maka i’tiqad yang demikian itu adalah kufur. (Tibyan, dalam Al-Attas, 1970: 479).
Dari kalimat terakhir di atas tampak bahwa Ar-Raniry mendasarkan tindakannya pada konsep Hamzah Fansuri –menurut pemahaman Ar-Raniry, tentunya– bahwa alam benar-benar merupakan hakikat Tuhan yang memancar dari Dzat-Nya, seperti munculnya pohon dari sebutir biji, hal ini dianggap cukup bagi Ar-Raniry untuk menghukumi para pengikut ajaran wujudiyah sebagai kafir.
3.      Ar-Raniry menganggap, ajaran wujudiyah, bahwa Tuhan itu wujud sederhana, sama dengan pendapat para filsuf yang dianggap sesat yang bertentangan dengan aqidah Islam.
Menurut Al-Attas, Ar-Raniry diduga kuat membesarkan tuduhannya pada pernyataan Hamzah Fansuri dalam kitab Asraar Al-Arifin, yaitu:
“Tatkala bumi dan langit belum ada, ‘Arasy dan Kursi belum ada, surga dan neraka belum ada, semesta sekalianpun belum ada, apa jua yang pertama?
Yakni yang pertama Dzat semata, sendirinya, tiada dengan sifat dan tiada dengan asma-Nya. Itulah yang pertama. Adapun nama Dzat itu Huwa.”
Dalam kutipan di atas menurut Ar-Raniry, Tuhan dalam konsep Hamzah Fansuri adalah wujud absolut tanpa sifat, atau disebut oleh Hamzah Fansuri sebagai Dzat yang Huwa.
4.      Menurut Ar-Raniry, ajaran wujudiyah bahwa Al-Qur’an itu makhluk yang diciptakan, sama dengan ajaran kaum Qadariyah dan Mu’tazilah yang dianggap menyimpang.
Mengenai hal ini, Ar-Raniry mengatakan:
“Syahdan. Lagi pula i’tiqad kaum Qadariyah... yang setengah dari pada mereka itu, i’tiqadnya bahwa Al-Qur’an itu makhluk, maka itulah i’tiqad yang kufur, inilah i‘tiqad wujudiyah Hamzah Fansuri. Katanya, dalam kitab Asraarul Arifin bahwa kalam Allah yang dibawa Jibril itu dapat dikata akan dia makhluk. Maka i’tiqad yang demikian itu kufur.” (Tibyan, 1670: 482-483).
            Untuk memperkuat tuduhannya ini, Ar-Raniry mengutip firman Allah, (Inna andzalnaahu, qur’aana ‘arabiya (ghaira) dzi-‘i wajin), yakni, bahwasanya Kami turunkan Qur’an dibawa Jibril dengan bahasa Arab, bukannya ia makhluk. (Q.S. 39 Az-Zumar: 28). Dan hadits Nabi: man qaala, al-qur’aanu makhluukun, fahuwa kaafirun, yakni barangsiapa yang mengatakan qur’an itu makhluk, maka ia itu kafir. (Tibyan, dalam Al-Attas, 1970: 482).
5.      Ar-Raniry menganggap ajaran wujudiyah bahwa alam ini terdahulu (qadim) bertentangan dengan aqidah Islam.
Dalam hal ini Ar-Raniry mengatakan: “Kesembilan kaum jahniyyah (itu) zanadiqiyyah namanya. Adalah i’tiqad mereka itu dan katanya bahwa alam itu qadim, dan maqdum itu suatu jua, dan Allah ta’ala tiada maqdum. Maka ini inilah i’tiqad Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As-Sumatrani dan segala yang mengikut keduanya. Maka i’tiqad itu adalah kufur, karena firman Allah ta’ala, wallaahu khaaliqu kulli syai-in, yakni; Allah jua yang menjadikan segala sesuatu.” (Tibyan, dalam Al-Attas, 1970: 483).
Untuk lebih memperkuat tuduhannya tersebut, Ar-Raniry merujuk pada pendapat Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai berikut: “Syahdan. Adalah segala ahlussunnah wal jama’ah, ittifaq mengatakan; barangsiapa meng-i’tiqadkan bahwa maqdum itu suatu syai’i, maka ia itu kafir. Mereka itulah yang bernama ashabul haiyyula, artinya yang mengi-itiqadkan a’yaanu tsabithah itu ada berujud.” (Tibyan, dalam Al-Attas, 1970: 483).
Penentangan keras Ar-Raniry terhadap doktrin wujudiyah Hamzah Fansuri dan As-Sumatrani di Aceh ini, nampaknya merupakan warisan dari pertentangan antara kaum ortodoks dengan heterotodoks (dalam hal ini, para filsuf) yang pernah terjadi dalam pemikiran filsafat Islam sejak berabad-abad sebelumnya. Al-Ghazali merupakan contoh seorang ulama ortodoks yang memilih berusaha menggugurkan argumen-argumen para filsuf tentang hubungan ontologis (membicarakan watak realitas tertinggi atau wujud) antara Tuhan dan alam yang dianggap sebagai ancaman serius atas kandungan Islam yang bersifat wahyu. Ia, dengan karya klasiknya, Tahafut al-Falasifah (Kesesatan Para Filsuf) mengajukan berbagai argumentasi yang mengungkapkan kontradiksi-kontradiksi dalam filsafat, kaitannya dengan doktrin-doktrin keagamaan. (Lihat Rahman, 1984: 172).
Untuk kasus di Aceh, kita dapat pula menarik benang merah dengan pertentangan kaum ortodoks dan heterodoks yang terjadi pada abad yang bersamaan di negeri asal Ar-Raniry sendiri, India. Penentangan kaum ortodoks di India bermula dari adalanya kebijakan Kaisar Moghul, Akbar (1573-1605) untuk mendirikan sebuah eklektikisme (melakukan pilihan dan penggabungan antara bagian-bagian dari bermacam-macam aliran dan corak dari filsafat) keagamaan yang menghimpun unsur-unsur terbaik Hindu dan Islam, dan menciptakan agama Tuhan baru yang ia disebut Din Illahi. Kebijakan Akbar ini mengundang ketegangan dan penentangan dari ulama ortodoks yang menganggap bahwa toleransi keagamaan Akbar, dengan akibat-akibat yang ditimbulkannya, dianggap menyimpang dari ajaran Islam. Paham heterodoks ini bertahan cukup lama, bahkan semakin kuat pengaruhnya, terutama karena pengganti Akbar pun, yakni Jahangir (1605-1627) menganut paham yang sama.
Dalam konteks inilah penting dikemukakan, bahwa pada saat yang hampir bersamaan, ajaran mistik Hamzah Fansuri yang dianggap heterodoks di Aceh pun sedang mengalami masa keemasan di bawah lindungan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). (Lihat Johns, 1955: 73, dan Schimmel, 1986: 372).
Jika Ar-Raniry menjadi motor penggerak dalam menentang paham heterodoks di Aceh, maka dalam kasus Moghul, kita mengenal seorang tokoh, yaitu Ahmad As-Sirhindi (1564-1624) yang dapat dianggap sebagai salah seorang wakil ulama terdepan dalam membela ortodoksi Islam dari heterodoksi Akbar dan para pengikutnya, hingga karena kebesarannya, ia terkenal dengan gelar kehormatan mujaddid alf-as-sani (pembaharu milenium kedua), dan imam rabbani (pemimpin yang diilhami Tuhan). Akan tetapi, meskipun berasal dari negeri yang sama, masa yang hampir bersamaan, dan sikap yang saling berdekatan, dalam karya-karya Ar-Raniry tidak ditemukan petunjuk bahwa ia mengenal karangan-karangan As-Sirhindi, kendati pada umumnya pandangan-padangan Ar-Raniry memang sejalan dengan aliran wahdah asy-syuhud, yang ide-idenya dikembangkan, antara lain, oleh As-Sirhindi. Yang membuat dekat dua tokoh sufi ini adalah kecendrungan mereka yang mencolok pada hukum syariat dari pada pengalaman ekstasis, penarikan garis tegas antara Tuhan dan alam, serta kritik tajam mereka terhadap kecendrungan sifat-sifat bid’ah dalam tasawuf. (Lihat, Braginsky 1998: 472).
Penentangan kaum ortodoks di India baru mendapatkan momentumnya ketika pengganti Jahangir, yaitu Shah Jahan (1627-1658) yang dilanjutkan oleh Aurangzib (1658-1681), menganut kebijakan baru menentang paham heterodoks. Pada masa 1633, Shah Jahan memerintahkan untuk menghancurkan kuil-kuil Hindu yang dibangun pada pemerintahan sebelumnya, dan melarang mendirikan kuil-kuil baru. Pada masa 1634, ia juga melarang umat Islam menikahi penganut agama Hindu. Dan bahkan pada 1658, Aurangzib menjatuhkan hukuman mati kepada Dara Shikuh, seorang tokoh mistik yang dikenal gigih memadukan unsur Islam dan Hindu.
Tampaknya bukan suatu kebetulan pula, jika pada masa hampir bersamaan, di Aceh pun terjadi perubahan politik, di mana Ar-Raniry berhasil meyakinkan penguasa baru yang naik tahta menggantikan Sultan Iskandar Muda, yakni Sultan Iskandar Tsani (1637-1641) untuk menghukumi para penganut doktri wujudiyah Hamzah Fansuri dan As-Sumatrani, dan menghancurkan kitab-kitab peninggalan mereka. Latar belakang ini kemudian menggiring A.H. Johns mengambil kesimpulan bahwa kontroversi doktrin wujudiyah di Aceh merupakan konsekuensi dari perkembangan politik dan keagamaan di Moghul, India. (Johns, 1955: 73).
Kesimpulan Johns tersebut didukung oleh Drewes, meskipun menurut Drewes, sangat tidak tepat jika menghubungkan begitu saja tindakan Ar-Raniry di Aceh dengan pertentangan muslim India atas sinkretisme (perpaduan) Akbar, atau dalam tindakan mereka dalam menentang agama Hindu. Karena, menurut Drewes, dalam dua kasus di India tersebut, yang sling berhadapan adalah kaum muslim dengan pihak luar Islam, sedangkan tindakan Ar-Raniry di Aceh, merupakan refleksi dari pertentangan internal antar sesama muslim tentang kesesuaian doktrin kontoversial Ibnu Arabi dengan ortodoksi Islam. (Drewes 1986: 16).
Lain halnya dengan Al-Attas. Ia menganggap bahwa kontroversi doktrin wujudiyah di Aceh terjadi karena dipengaruhi oleh ambisi politik Ar-Raniry. Oleh karenanya, Al-Attas meragukan ketulusan reformasi intelektual dan keagamaan Ar-Raniry dalam menentang doktrin tersebut. Sebagai dalih atas pernyataannya, Al-Attas mengemukakan beberapa contoh ajaran dan konsep wujudiyah Hamzah Fansuri yang –menurutnya- diputarbalikkan dan disalahartikan oleh Ar-Raniry. Hal ini terjadi karena, menurut Al-Attas, Ar-Raniry tidak menguasai kepelikan dan paradoksi bahasa Melayu yang digunakan oleh Hamzah Fansuri dalam karya-karyanya; ia hanya ingin memanfaatkan naiknya Sultan Iskandar Tsani, yang dalam kebijakannya memang menguntungkan kaum ortodoks. Ketidaklurusan Ar-Raniry, menurut Al-Attas, juga tampak dari kenyataan, bahwa untuk masuk ke dalam kalangan istana, Ar-Raniry menunggu hingga wafatnya As-Sumatrani, seorang ulama istana murid Hamzah Fansuri. Al-Attas menduga bahwa tindakan Ar-Raniry ini adalah untuk menghindari penentangan atas dirinya dari seorang ulama mumpuni yang menjadi lawan politiknya. (Al-Attas, 1970: 17).

Konsep Abdurrauf tentang Wahdatul Wujud
            Untuk sampai pada pandangannya tentang konsep wahdatul wujud, Abdurrauf memulai pembicaraan tentang tauhid yang, tentu saja, ia kaitkan dengan ajaran tasawuf. Dalam aqidah Islam, konsep tauhid ini merupakan salah satu aspek yang paling vital, terutama dalam konteks hubungan manusia dengan Tuhan (hablun min Allah). Tauhid diartikan sebagai pengakuan tentang keesaan Tuhan, yang penegasannya terungkap dalam syahadah. Yakni kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah (laa ilaha illallah), yang menjadi syarat diakuinya seseorang menjadi muslim. Saking pentingnya keberadaan tauhid dalam Islam, seseorang yang tidak bertauhid dapat dianggap sebagai orang kafir.
            Bagi seorang awam, tauhid barangkali hanya merupakan penegasan yang membedakan dirinya sebagai seorang mukmin dengan seorang kafir atau musyrik (orang yang menduakan Tuhan). Akan tetapi, lebih dari itu bagi seorang sufi, tauhid merupakan pintu yang terbuka untuk memahami dan masuk dalam realitas hakiki, yaitu Al-Haq, Allah SWT.
            Para sufi tampak sangat berhati-hati dalam menafsirkan kata tauhid, yang secara etimologis berasal dari bahasa Arab, wahhada yuwahhidu tauhid, yang berarti ‘mengesakan’. Mereka menegaskan bahwa arti ‘mengesakan’ dalam konteks Tuhan adalah mengaitkan sifat Esa dengan Tuhan, bukan menjadikan Tuhan Esa. Dalam Tanbih al-Masyi, Abdurrauf mengemukakan hal tersebut sebagai berikut:
والتوحيد تفعيل للنسبة كالتصديق والتكذيب لا للجعل (ص. ٢).
Tauhid adalah tindakan mengaitkan –seperti mengaitkan sesuatu dengan kebenaran, atau mengaitkan sesuatu dengan kebohongan– bukan  menjadikan …”  
            Sehingga, -menurut Abdurrauf- jika kita mengatakan wahhadtu Allaha [aku mengesakan Allah], maka yang dimaksud adalah nasabtuhu ja’altuhu wahidan [aku menjadikan Allah Esa]. Abdurrauf memandang bahwa hal tersebut perlu ditegaskan, karena sifat Esa bagi Allah itu adalah sesuatu yang telah melekat pada zat-Nya sendiri, bukan karena diberikan oleh pihak lain.
Dalam dunia tasawuf, tauhid selalu menjadi bekal pertama yang ditanamkan oleh seorang mursyid[2] kepada para muridnya[3] sebelumnya para murid tersebut menjalankan amalan-amalan dalam tarekat. Hal ini terlihat misalnya dalam ungkapan Abdurrauf:
فاعلم ايها المريد وفقنا الله واياك لطاعته واستعملنا واياك فيما يرضاه ان اول واجب عليك توحيد الحق سبحانه وتعالى وتنزيهه مما لا يجوز عليه بكلمة لا اله الله الجامعة لجميع مراتب التوحيد الاربعة (ص. ٢).
Selanjutnya, ketahuilah wahai murid –semoga Allah member petunjuk kepada kami dan kepadamu untuk taat kepada-Nya, dan semoga Allah menghendaki kita untuk melakukan apa yang diridhai-Nya– bahwa kewajiban pertama atasmu adalah mengesakan Al-Haq SWT, dan mensucikan-Nya dari hal-hal yang tidak layak bagi-Nya dengan kalimat: la ilaha illa Allah, yang menghimpun empat tingkatan tauhid.”
Dalam kutipan di atas Abdurrauf mengemukakan bahwa penegasan tauhid bagi seorang murid merupakan kewajiban pertama yang harus dilakukan. Penegasan tauhid itu diiringi dengan penegasan untuk menghilangkan segala atribut, baik sifat maupun perbuatan, yang tidak layak disandang oleh Allah. Kedua penegasan tersebut terungkap dengan satu kalimat, yaitu la ilaha illa Allah, yang jika dijabarkan, akan menghimpun empat tingkatan tauhid, yaitu –seperti disebutkan Abdurrauf pada bagian lain– tauhid uluhiyah (mengesakan ketuhanan Allah), tauhid af’al (mengesakan perbuatan Allah), tauhid sifat (mengesakan sifat-sifat Allah), dan tauhid zat (mengesakan zat Allah). Yang disebut terakhir ini, dalam konteks tasawuf dianggap sebagai tingkatan tauhid tertinggi.
Sebagai wujud dari konsistensinya dalam menyampaikan sistematika ajaran tasawuf kepada murid-muridnya –khususnya tentang ajaran tauhid–, dalam beberapa karangannya yang lain, Abdurrauf selalu menempatkan persoalan tauhid ini di awal pembahasan, meskipun dengan bahasa dan redaksi yang beragam. Kita dapat melihat hal tersebut misalnya dalam Sullam al-Mustafidin, Daqa-iq al-Huruf, dan Munyah al-I’tiqad. Dalam Sullam al-Mustafidin misalnya, ia mengatakan:
Hai murid! Pertama-tama wajib yang kau qasadkan akan dia itu mentauhidkan tuhanmu… (MS, dikutip dari Abdullah 1991: 66)
Untuk memperkuat pandangannya tentang keesaan Allah, Abdurrauf mengemukakan argument berupa dalil aqli (dalil yang bersumber pada akal dan logika), yang didukung oleh dalil naqli (dalil yang bersumber pada nash Al-Qur’an), seperti yang dikemukakan:
والدليل على وحدانيته تعالى عدم فساد العالم قال تعالى [لو كان فيهما آلهة الا الله لفسدتا] فعدم فساد السموات والارض دليل على وحدانيته تعالى وهما من جملة العالم. (ص. ٢).
Salah satu buti keesaan Allah ta’ala adalah tidak rusaknya alam. Allah berfirman, “Sekiranya di langit dan di bumi ini ada tuhan-tuhan lain selain Allah, tentulah keduanya (langit dan bumi) itu telah rusak binasa”. Jadi, tidak rusaknya langit dan bumi ini merupakan bukti atas keesaan Allah ta’ala, karena langit dan bumi adalah bagian tak terpisahkan dari alam.”
            Berangkat dari konsep tauhid inilah, Abdurrauf kemudian mulai masuk pada pembicaraan tentang hubungan ontologism antara Tuhan dan alam, antara al-Haq dan al-khalq, antara Sang Pencipta dan ciptaan-Nya, antara Yang Maha Esa dan yang banyak, antara al-wujud dan al-maujudat, antara wajib al-wujud dan al-mumkinat.
            Tentang alam itu sendiri, Abdurrauf mendefinisikannya sebagai:
اسم لما سوى الحق عز وجل (ص. ٢).
“… nama untuk segala sesuatu selain Al-Haq (Allah) Yang Maha Mulia dan Maha Agung.”
            Kemudian Abdurrauf menambahkan, bahwa hakikat alam adalah:
الوجود المقيد بصفات الممكنات ولهذا يطلق عليه بانه سوى الحق (ص. ۳).   
… wujud yang terikat dengan sifat-sifat mumkinat (sifat-sifat yang mungkin). Oleh karena itu, ala mini dikatakan sebagai sesuatu selain Al-Haq.”
            Adapun persoalan yang muncul dalam pembicaraan tentang hubungan ontologis antara Al-Haq dan al-khalq, berangkat dari penjelasan dalam konsep tauhid di atas bahwa satu-satunya wujud adalah Allah (la ilaha illa Allah), tidak ada wujud selain wujud Allah. Dengan kata lain, wujud dalam pengertian hakiki hanya milik Al-Haq, segala sesuatu selain Al-Haq tidak memiliki wujud. Jika satu-satunya wujud adalah Al-Haq, bagaimana kedudukan ontologism al-khalq (alam)? Apakah alam identik dengan Tuhan? Atau apakah alam tidak mempunyai wujud sama sekali?[4]
            Pandangan Abdurrauf terhadap persoalan-persoalan itu terungkap dalam Tanbih al-Masyi, sebagai berikut:
وهو بالنسبة الى الحق كالظل وليس هو شيئا زائدا على حقائق معلومة للحق ازلا متصفة بالوجود ثانيا انتهى. فالانسان على هذا ظل الحق او ظل ظله. (ص. ۳).
Dan jika dihubungkan dengan Al-Haq, alam itu bagaikan bayangan, ia bukanlah hakikat lain di samping hakikat-hakikat Allah yang telah diketahui sejak zaman azali, dan kemudian memiliki wujud. Karena itu, menurut konsep ini, manusia adalah bayangan al-Haq, atau bayangkan dari bayangan-Nya.”
            Dalam kutipan di atas, tampak bahwa menurut Abdurrauf, alam tidak identik secara mutlak dengan Tuhan, karena alam hanya merupakan bayangan-Nya, bukan wujud-Nya. Dengan ini Abdurrauf menegaskan transedensi Tuhan atas makhluk-Nya. Alam –termasuk manusia di dalamnya–, dengan demikian tidak memiliki wujud tersendiri, karena ia hanya merupakan bayangan Tuhan, atau bahkan hanya bayangan dari bayangan-Nya. Kehadiran bayangan itu sangat tergantung pada ada dan tidak adanya sumber bayangan. Oleh karena itu, wujud hakiki yang sebenarnya adalah sumber bayangan tersebut berikut segala sifat yang melekat padanya.
            Dalam hal ini, Abdurrauf mengutip perkataan Ibnu Arabi.[5]
واعياننا فى نفس الامر ظله لا غيره. (ص. ۳).
“Pada hakikatnya, entitas kita adalah bayangan Allah, tidak lain dari itu.”
Kemudian Abdurrauf juga mengutip Abd ar-Rahman ibn Ahmad al-Jamiyy[6] r.a. yang mengatakan:
سواء كانت يعنى تلك الاعيان خارجية او ثابتة اما اعياننا الثابتة فلانها ظل للذات الالهية المتلبسة بشؤونها واما اعياننا الخارجية فلانها ظل لاعياننا الثابتة وظل الظل ظل بالواسطة انتهى (ص. ۳-٤).
“… baik potensi yang tetap (al-a’yan as-sabitah) maupun potensi luar (al-a’yan al-kharijiyyah), karena potensi kita yang tetap merupakan bayangan dari zat ketuhanan yang bercampur dengan tindakan-Nya, dan potensi luar kita merupakan bayangan dari potensi kita yang tetap, sedangkan bayangan dari suatu bayangan adalah bayangan perantara, sekian.”
Dari perkataan Ibnu Arabi dan penjelasan Abd ar-Rahman ibn Ahmad r.a. yang dikutipnya, tampak bahwa menurut Abdurrauf, yang dianggap sebagai bayangan semata itu mencakup potensi yang tetap (al-a’yan as-sabitah)[7] dan potensi luar (al-a’yan al-kharijiyyah)[8], karena potensi yang tetap merupakan bayangan langsung dari zat-Nya, sedangkan potensi luar sendiri merupakan bayangan dari potensi yang tetap tersebut, sehingga dapat disimpulkan bahwa segala sesuatu selain Allah (baca: alam) itu bersumber pada-Nya, dan keberadaannya pun sangat tergantung pada wujud-Nya.
Untuk memperkuat argumentasinya itu, Abdurrauf mengutip hadits Nabi:
وما نحن الا به وله (ص. ٤)  .
“keberadaan kita ini semata-mata karena Dia, milik-Nya.”
Dengan pandangannya bahwa alam adalah bayangan Allah semata, berarti Abdurrauf menegaskan bahwa alam bukan benar-benar zat al-Haq, karena anggapan tersebut, menurutnya, akan membatalkan status al-Haq sebagai Pencipta alam raya. Menurut Abdurrauf, sangat tidak masuk akal jika Sang Pencipta menciptakan zat-Nya sendiri secara utuh. Abdurrauf mengutip sebuah ayat Al-Qur’an yang menegaskan bahwa:
خالق كل شئ (ص. ٤).         
“Ia adalah Pencipta segala sesuatu.”
            Abdurrauf juga berdalih bahwa di dalam Al-Qur’an, tidak sekali pun Allah mengatakan bahwa Ia menciptakan zat-Nya sendiri. Kepada Nabi Muhammad, Allah mengatakan: Qul Allahu khaliqu kulli syai’in [Katakanlah (wahai Muhammad]! Allah adalah pencipta segala sesuatu]. Dia –misalnya– tidak mengatakan: Qul Allahu khaliqu ‘ainihi [Katakanlah! Allah adalah pencipta zat-Nya sendiri]. Allah juga mengatakan: Wa Allahu khalaqakum wa ma ta’malina [Dan Allah menciptakan kalian serta apa yang kalian perbuat], tidak mengatakan: Wa Allahu khaliqu ‘ainihi [Dan Allah menciptakan zat-Nya sendiri]. Dalam Al-Qur’an juga selalu dikatakan: alhamdu li Allahi rabbi al-‘alamina [segala puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam], tidak dikatakan: alhamdu li Allahi rabbi a’inihi [segala puji bagi Allah, Tuhan zat-Nya sendiri]. Satu argumen yang dikemukakan Abdurrauf adalah, jika alam adalah zat Allah sendiri, tentu Dia tidak akan menitahkan kewajiban-kewajiban syariat yang memberatkan, seperti puasa, shalat dan sebagainya.
            Selain itu, menurut Abdurrauf, jika manusia –yang notabene adalah bagian dari alam– benar-benar merupakan zat Allah, seharusnya manusia dapat mewujudkan apa saja yang dikehendaki dan kemudian dikatakannya, dalam sekejap, karena Allah telah mengatakan dalam Al-Qur’an: iza arada syai’an an yaqula lahu kun, fayakunu [Apabila Dia menghendaki sesuatu, hanyalah berkata kepadanya: Jadilah!, maka terjadilah ia]. Namun, kenyataannya manusia tidak mampu melakukan hal tersebut, karena kehendaknya tidak bisa selalu seiring dengan kehendak Allah. Hal ini menjadi bukti bahwa manusia, alam atau Al-khalq tidak identik dengan Allah, atau al-haq secara mutlak. Dalam hal ini, Abdurrauf mengutip sebuah hadits qudsi, dimana Allah berfirman:
ابن آدم تريد واريد ولا يكون الا ما اريد فان سلمت لى فيما اريد اعطيتك ما تريد وان نزعتنى فيما اريد اتعبتك فيما تريد ثم لا يكون الا ما اريد. (ص. ٥-٦).
“… wahai anak Adam! Engkau mempunyai keinginan, Aku pun demikian, tapi tidak akan terjadi kecuali apa yang Aku inginkan. Jika engkau rela atas apa yang Aku inginkan, maka Aku akan memberikan apa yang engkau inginkan, dan jika engkau menentang apa yang Aku inginkan, Aku akan mempersulit apa yang engkau inginkan, sehingga tidak akan terjadi kecuali apa yang Aku inginkan.”
            Dengan berpijak pada argument-argumen yang telah dikemukakannya tentang ontologis antara Tuhan dan alam, dan kesimpulannya bahwa alam tidak memiliki wujud tersendiri, Abdurrauf kemudian mengemukakan pandangannya tentang proses penciptaan alam. Topic ini memang termasuk salah satu masalah yang juga selalu menjadi bahan pembicaraan di antara para sufi.
            Menurut Abdurrauf, alam tercipta melalui proses pemancaran (emanasi, al-faid) dari zat Allah. Ia menyamakan proses keluarnya alam tersebut dengan proses keluarnya pengetahuan dari Allah. Dengan demikian, meskipun alam bukan zat Allah secara mutlak, namun ia juga tidak berbeda dengan-Nya secara mutlak pula, karena alam bukan wujud kedua yang benar-benar terpisah dari-Nya. Abdurrauf mengutip perkataan gurunya dalam kitab Bulgah al-Masir[9]:
وحاصله ان وجود العالم لكونه ليس وجودا مستقلا استقلالا بل فائضة والمراد بالفيض هو كفيض العلم منه تعالى كما لا يتصف بكونه عين الحق لكونه مبدعا كذلك لا يتصف بانه غيره مغائرة تامة بحيث يتصف بانه وجود ثان معه مستقل (ص. ٦).
“Alhasil, wujud alam ini tidak benar-benar berdiri sendiri, melainkan terjadi melalui pancaran. Dan yang dimaksud dengan memancar di sini adalah bagaikan memancarnya pengetahuan dari Allah ta’ala. Seperti halnya alam ini bukan benar-benar zat Al-Haq – karena ia merupakan wujud yang baru – alam juga tidak benar-benar lain dari-Nya. Ia bukan wujud kedua yang berdiri sendiri di samping Allah.”
            Allah sendiri –menurut Abdurrauf- tetap seperti keadaan-Nya di zaman azali. Ia tidak mempunyai sekutu, karena Ia ada sebelum segala sesuatu tercipta. Setelah alam tercipta melalui pancaran-Nya, Allah tetap tidak berubah, sedangkan alam sifatnya hadis (baru), karena ia hanya sebagai pancaran dari wujud Allah. Tingkat wujudnya tidak kemudian sejajar dengan wujud Allah (rutbah al-ma’iyyah), melainkan berada di bawah-Nya (rutbah at-taba’iyyah).
            Demikianlah pandangan-pandangan Abdurrauf dalam Tanbih Al-Masyi, baik tentang hubungan ontologism antara Tuhan dan alam, maupun tentang proses penciptaan alam. Bagi Abdurrauf, semua yang telah dikemukakannya itulah yang ia namakan sebagai doktrin wahdatul wujud (kesatuan wujud), atau yang oleh Ar-Raniry disebut dengan wujudiyah. Jadi, alam – dalam konsep wahdatul wujud Abdurrauf – bukan merupakan wujud kedua yang benar-benar terpisah dari Al-Haq, karena ia adalah pancaranya dari zat-Nya. Dalam hal ini, berarti Abdurrauf mengemukakan konsep imanensi (penyatuan) Tuhan dalam alam (tasybih; baca: konsep al-faid). Akan tetapi, alam juga bukan zat Al-Haq secara mutlak, melainkan sekedar bayangan-Nya, atau bahkan bayangan dari bayangan-Nya, karena Tuhan adalah Zat Yang Esa, tidak ada sesuatu pun yang menyertai-Nya (la syarika lahu), meskipun Ia selalu menyertai segala sesuatu (Al-Muhit). Dalam hal ini, berarti Abdurrauf tetap mempertahankan konsep transedensi Tuhan atas ciptaan-Nya (tanzih; baca: konsep az-zill).
            Untuk mendukung pandangannya tentang imanensi Tuhan atas ciptaan-Nya, Abdurrauf mengutip firman Allah:
وهو معكم اينما كنتم (ص. ٧).
Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada
            Kemudian, untuk menunjukkan transedensi-Nya, Abdurrauf mengutip hadits Nabi:
كنا الله ولا شئ معه (ص. ٧).
Allah tetap seperti ada-Nya, tidak ada sesuatu pun yang menyertai-Nya
            Abdurrauf juga mengutip keterangan para ulama yang mengatakan bahwa:
وهو الآن على ما عليه كان (ص. ٧).
Keadaan Allah sekarang, sama dengan keadaan-Nya dahulu
            Yang penting dikemukakan dari semua uraian di atas adalah bahwa meskipun jelas-jelas Abdurrauf merupakan seorang ulama sufi yang turut mempropagandakan ajaran wahdatul wujud, namun dari penjelasannya tentang konsep al-faid dan az-zill, kita menangkap satu kesan bahwa Abdurrauf bersikap sangat hati-hati dalam mengemukakan ajaran tersebut. Ia mencoba untuk menjauhkan satu pemahaman bahwa wahdatul wujud merupakan doktrin yang mengajarkan kesatuan antara Tuhan dan alam secara mutlak. Sikapnya ini berbeda dengan ulama sufi Melayu lain semisal Yusuf al-Makassari, yang karena tidak ingin mengaitkan dirinya dengan paham kesatuan akhir antara Tuhan dan alam, ia lantas menolak wahdatul wujud (kesatuan wujud), untuk kemudian mengajarkan doktrin wahdah asy-syuhud (kesatuan kesadaran) yang dikembangkan oleh Ahmad as-Sirhindi dan Syah Waliyullah (lihat Azra 1995: 233).
            Dari beberapa kutipan ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi yang dijadikan dalil dalam mengemukakan pandangan-pandangannya, kita juga menangkap kesan bahwa Abdurrauf sangat menekankan pentingnya pemahaman tentang konsep Tuhan dan alam (baca: wahdatul wujud) yang sejalan dengan kedua pedoman hidup umat Islam itu. Hal ini juga diperkuat oleh pesannya di akhir pembahasan untuk tetap berpegang teguh pada keduanya dalam memahami persoalan tersebut, agar tidak terjerumus pada pemahaman yang keliru[10]. Dalam hal ini, Abdurrauf mengutip hadits Nabi:
انى تركت فيكم كتاب الله وسنتى فاستنطقوا القرآن بسنتى فانه تعمى ابصاركم ولن تزل اقدامكم ولن تقصر ايديكم ما اخذتم بهما (ص. ٧).
Aku tinggalkan dua perkara bagimu, yaitu Kitab Allah dan sunnahku, maka, jelaskanlah Al-Qur’an dengan sunnahku, karena matamu tidak akan buta, kakimu tidak akan terpeleset, dan tanganmu tidak akan putus selama kamu memegang teguh pada keduanya.”
            Kecenderungan Abdurrauf untuk mengadakan reinterpretasi yang lebih kompromistis terhadap doktrin wahdatul wujud, dan penekanannya terhadap keselarasan doktrin tersebut dengan Al-Qur’an dan hadits Nabi, tampaknya juga tidak lepas dari konteks social masyarakat Aceh saat itu. Seperti telah dikemukakan di awal, sejak keberangkatan Abdurrauf ke Arabia sekitar 1642, Aceh ditandai dengan kontroversi dan pertikaian antara seorang ulama ortodoks, Ar-Raniry dengan penganut doktrin wujudiyah Hamzah Fansuri dan as-Sumatrani. Abdurrauf, tampaknya sangat berhati-hati menempatkan posisi dirinya di antara kedua pihak yang bertikai itu. Dalam Tanbih Al-Masyi, meskipun secara implicit semangat ajaran Abdurrauf senada dengan Ar-Raniry, yakni menunjukkan ketidaksepahamannya dengan doktrin wujudiyah Hamzah Fansuri dan as-Sumatrani, namun, -seperti akan kita lihat nanti- ia juga tidak sependapat dengan sikap Ar-Raniry yang menentang ajaran tersebut secara radikal (lihat Azra 1995: 191).
              






[1]  Plotinus adalah tokoh dihubung-hubungkan dengan pemikiran Neo-Platonisme dalam peradaban pemikiran barat. Plotinus (205 M – 270 M), lahir di Lycopolis, Mesir. Ia mengajar falsafah di Roma selama 25 tahun, dan sebelumnya berguru pada Ammonius Saccus (tokoh filsafat yang berpegangan pada pemikiran Plato dan Aristoteles). Ajaran Plotinus terfokus pada tiga kajian inti, yakni Tuhan (The One), akal (intellect), dan jiwa (soul). Menurutnya Tuhan adalah sumber wujud melalui emanasi (pemancaran). Dia merupakan objek yang tak terpahami dan semuanya bergerak menuju kepada-Nya. (Drajat, 2005: 104)

[2] Mursyid adalah pembimbing spiritual. Ia dianggap sebagai ahli waris sejati Nabi Muhammad SAW. Sifat-sifat seorang mursyid sejati adalah sifat-sifat yang dimiliki oleh Syeikh atau gurunya sendiri, yakni Nabi Muhammad saw. (Armstrong, 1996: 197).

[3] Murid adalah orang yang sedang mencari mencari Allah. Ia adalah pencari hakikat di bawah bimbingan dan arahan seorang pembimbing spiritual (mursyid). (Armstrong 1996: 197). 

[4] Pembahasan lebih mendalam tentang hal ini, lihat Noer 1995: 46-56.

[5] Muhyiddin (penghidup agama) adalah gelar bagi sufi Andalusia, Muhammad ibn Ali ibn Muhammad ibn Arabiyy, Abu Bakr al-Hatimiyy at-Ta’iyy al-Andalusiyy (1165-1240), yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Arabi. Gelar lainnya yang lebih masyhur adalah asy-syaikh al-akbar (guru yang agung). Ia dilahirkan di Mursia, Spanyol bagian Tenggara, kemudian hijrah ke Seville. Ibnu Arabi biasanya dihubungkan dengan doktrin wahdatul wujud, karena ia dianggap sebagai pendirinya, meskipun dalam berbagai karangannya, ia sendiri tidak pernah menggunakan istilah tersebut. Karya-karya mistiknya tidak kurang dari 239 buah, baik dalam bentuk kitab atau risalah, antara lain: Al-Futuhat al-Makkiyyah, Fusus al-Hikam, Mafatih al-Ghaib, Ma la Budda Minhu li al-Murid, Bulgah al-Gawas, dan lain-lain (lebih lengkap tentang biografi Ibnu Arabi dan karya-karyanya, lihat Noer 1995: 17-29. Untuk koleksi manuskrip dari beberapa karyanya, lihat Loth 1877: 174-176, dan 180).

[6] Nama lengkapnya adalah Nur ad-Din Abd ar-Rahman ibn Ahmad ibn Muhammad al-Jamiyy, (1414-1492). Ia adalah seorang penyair sufi asal Persia yang dilahirkan di Kharjad, Khurasan. Selain sebagai seorang pendukung wahdatul wujud, ia juga seorang ahli tafsir dan hadits. Karya-karyanya tidak kurang dari 90 buah, baik berbentuk puisi maupun prosa, antara lain: Nafahat al-Uns, Syarh Fusus al-Hikam li Ibn Arabiyy, Yusuf wa Zulaikha, Laila wa Majnun, ad-Durar al-Fakhirah, dan lain-lain (lihat Nasution, dkk. 1992; lihat juga Zarkali 1980, jilid 6, h. 296).

[7] Al-a’yan as-sabitah adalah entitas-entitas, arketipe-arketipe, esensi-esensi, atau potensi-potensi yang tak berubah dan tak berhingga dalam hakikatnya. Istilah ini mengandung arti sifat esensial segala sesuatu yang maujud sejak zaman azali dari ilmu Allah, (Armstrong 1996: 42).

[8] Al-a’yan al-kharijiyyah adalah potensi luar, ciptaan dalam bentuk konkretnya, yang keberadaannya bersumber dari al-a’yan as-sabitah (lihat Azra 1995: 206).

[9] Belum diketahui pengarang kitab ini, namun penting dicatat, bahwa dalam Tanbih al-Masyi, secara konsisten Abdurrauf selalu menyebut kata syaikhuna (guru kami) untuk merujuk kepada salah satu di antara al-Qusyasyi dan al-Kurani.

[10] Penekanan Abdurrauf pada telaah Al-Qur’an dan Hadits Nabi dalam mengemukakan ajaran-ajaran tasawuf ini, tampaknya melanjutkan tradisi kedua gurunya, Al-Qusyasyi  dan Al-Kurani; dua ulama ‘neo-sufi’ yang terkenal gigih dalam mengajarkan perpaduan antara aspek tasawuf dan syari’at (lebih lanjut tentang hal ini, lihat Azra 1995, terutama h. 117-127). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar