DALAM SEJARAH ACEH
A.
Pengertian Wahdatul
Wujud dan Wahdatusy Syuhud Secara Global
Sebelum berbicara lebih lanjut
tentang keberadaan doktrin wahdatul wujud dalam dunia Islam, perlu kita
pahami bahwa doktrin ini selain menimbulkan polemik (kontroversi) di kalangan
umat Islam, khususnya antar para ilmuwan Islam; terdapat pula doktrin lain,
yang secara awam dapat dikatakan sebagai doktrin tandingan dari pada doktrin wahdatul
wujud. Doktrin tandingan ini sudah umum dikenal dengan sebutan wahdatusy
syuhud. Antara kedua doktrin ini terdapat perbedaan-perbedaan konsep yang
mendasari inti dari pemahaman doktrin-doktrin itu sendiri. Maka pengertian
kedua doktrin ini adalah sangat penting untuk diketahui bagi kita yang ingin
mengkaji lebih dalam tentang keberadaan kedua doktrin tersebut, baik wahdatul
wujud maupun wahdatusy syuhud dalam dunia Islam, khususnya dunia
Islam di Aceh.
1.
Wahdatul
Wujud
Di dalam Ensklopedi Islam Indonesia,
wahdatul wujud (wahdat al-wujud) secara harfiah (berdasarkan konteks
kalimat) berarti kesatuan wujud. Kesatuan wujud ini dapat dipahami
sebagau satu wujud atau kesatuan dari bagian-bagian wujud sedemikian rupa
sehingga merupakan satu kesatuan wujud.
Wahdatul wujud telah menjadi
istilah yang cukup dikenal dalam dunia Islam, khususnya dalam dunia tasawuf.
Istilah ini mengacu kepada paham atau aliran yang dibangun oleh sufi terkemuka
dari Andalusia, Ibnu Arabi (w. 1240 M/637 H), dan para pengikutnya yang cukup
banyak, seperti: Sadruddin al-Qunyawi (w. 1274 M/673 H), Mu’ayaduddin al-Jandi
(w. 1301 M/700 H), Sa’aduddin Sa’id al-Fargani (w. 1301 M/700 H), Abdurrazaq
al-Kasyani (w. 1335 M/736 H), Daud al-Qaisyari (w. 1350 M/751 H), Abdur-Rahman
al-Jami (w. 1492 M/898 H), dan lain-lain. Kelihatannya istilah wahdatul
wujud itu belum muncul dari Ibnu Arabi sendiri, tapi dari kalangan para
pengikutnya dan dari kalangan yang menyerang paham atau aliran tersebut.
Paham wahdatul wujud Ibnu
Arabi itu, menurut yang dapat dipahami para sarjana tasawuf, lebih kurang
sebagai berikut: Wujud itu hanya satu, bukan banyak. Wujud yang satu itu adalah
wujud dengan pengertian: yang ada dengan sendirinya, keberadaannya tidak karena
yang lain dan tidak bergantung pada yang lain. Wujud yang satu ini disebut
wujud hakiki, yang dapat dipandang dengan dua macam pandangan.
Pertama,
ia dapat dipandang sebagai wujud mutlak, tanpa terkait dengan sifat-sifat dan
nama-nama. Wujud mutlak ini menyerupai “Yang Esa” dalam paham Plotinus[1]. Hakikat
wujud mutlak itu tak bisa diterangkan, tak bisa dibayangkan oleh pikiran, dan
tak bisa digambarkan dengan ungkapan-ungkapan negative, seperti: Ia tak seperti
ini atau tak seperti itu. Pendeknya wujud mutlak itu transenden (sesuatu yang
jauh di atas hal-hal yang terdapat dalam pengalaman), maha ghaib, dan sama
sekali berbeda dengan apa yang dibayangkan oleh pikiran manusia. Wujud hakiki
yang dipandang sebagai wujud mutlak ini disebut oleh Ibnu Arabi dengan berbagai
sebutan, seperti: al-‘Ama (kebutaan), an-Nuqtat (titik), Markaz
ad-Dairat (pusat lingkaran), dan lain-lain.
Kedua,
wujud hakiki itu dapat dipandang sebagai wujud yang tidak mutlak, tapi sudah
terkait dengan nama-nama dan sifat-sifat, yang menggambarkan ‘ain
(hakikat, identitas, kepribadian, tipe, atau bentuk) wujud hakiki itu. Wujud
hakiki, dalam pandangan kedua ini, dikatakan sebagai wujud hakiki yang ber-tajalli,
ber-ta’ayyun, atau”menyatakan diri dan identitas” melalui nama dan
sifat. Dengan kata lain: Wujud hakiki yang sudah bernama dan bersifat itu
adalah wujud hakiki yang dapat diketahui identitas atau hakikat-Nya. Al-Asma
al-Husna (nama-nama yang indah) adalah nama-nama wujud hakiki itu, dan di
antara nama-nama itu adalah Allah, nama yang menghimpun segenap nama dan sifat
yang dapat dikaitkan dengan wujud hakiki tersebut.
Bagaimana dengan keberadaan alam atau
makhluk lain? Alam dalam paham wahdatul wujud tidaklah berwujud. Dengan
pengertian tidak berwujud hakiki. Keberadaan alam adalah karena wujud hakiki
(Allah) dan selalu bergantung pada-Nya. Keberadaannya tidak wajib (mesti)
karena dirinya, tapi wajib karena yang lain (yakni Allah). Alam ini diciptakan
oleh Allah, karena Dia ingin dikenal oleh alam. Alam ini diciptakan berdasar ‘ain
Allah sendiri. Dengan kata lain ‘ain ketuhanan pada Allah, menjadi
prototip (sifat yang pertama) atau pola dasar bagu tajalli (penampakan
diri secara tidak langsung) nama-nama, sifat-sifat, atau hakikat Tuhan. Di
antara alam empiris ini
2.
Wahdatusy
Syuhud
B. Kontroversi Doktrin Wujudiyah Dalam Sejarah Aceh
Pembicaraan tentang
peristiwa perseteruan antara Syeikh Nuruddin Ar-Raniry dengan pengikut ajaran wujudiyah
Syeikh Hamzah Fansuri dan Syeikh Syamsuddin As-Sumatrani, terlebih dahulu harus
kita maklumi secara kronologis (berurutan menurut waktu kejadian) perkembangan
pemikiran keagamaan dan politik di Aceh pada sejak zaman Hamzah Fansuri sendiri
serta masa para Sultan Kerajaan Aceh yang pernah menjadi penguasanya.
Tanpa ada maksud mengurangi pemaparan
hal keadaan ini, ada baiknya secara langsung kita melihat inti permasalahan.
Sejarah mencatat bahwa kontroversi
doktrin (persengketaan ajaran) wujudiyah (wahdatul wujud) di Aceh
telah terjadi pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Tsani (1637 – 1641).
Kontroversi yang menumbuhkan perdebatan adalah pandangan yang radikal.
Seorang ulama sufi besar, penganut Thariqat
Rifa’iyah, Nuruddin Ar-Raniry (w. 1666), selanjutnya beliau disebut
Ar-Raniry, dimana beliau adalah seorang Indo-Arab (ibunya seorang Melayu,
sedangkan ayahnya berasal dari keluarga imigran Hadramaut yang mempunyai
tradisi panjang berpindah ke Asia Selatan dan Asia Tenggara). Asal beliau
adalah Randir (Gujarat) yang fasih berbahasa Melayu. Ar-Raniry berada di Aceh
dari tahun 1637 – 1644. Beliau telah menganggap sesat ajaran wujudiyah
(wahdatul wujud) yang dikembangkan oleh Syeikh Hamzah Fansuri dan Syeikh
Syamsuddin As-Sumatrani. Sebagai seorang ulama ortodoks (lebih
mementingkan pengamalan syari’at), lantas Ar-Raniry mengeluarkan fatwa bahwa
doktrin wujudiyah bersifat heterodoks (menyimpang dari aqidah
Islam). Sehingga mereka yang tidak mau bertaubat, bahkan mereka menolak
menanggalkan paham tersebut dapat dianggap kafir yang layak dijatuhi hukuman mati.
Sikap Ar-Raniry tersebut didukung
penuh oleh Sultan Iskandar Tsani, sehingga para pengikut Hamzah Fansuri harus
menanggung tindak kekerasan aparat kerajaan. Mereka dikejar-kejar dan dipaksa
melepaskan keyakinannya terhadap doktrin wujudiyah. Bahkan karya-karya
mistik (tasawuf kental) Hamzah Fansuri dikumpulkan dan dibakar di depan Masjid Raya
Baiturrahman Banda Aceh. Karya-karya tersebut dianggap oleh Ar-Raniry sebagai
sumber penyimpangan aqidah Islam. (Lihat, Snouck Hougranje, II 1997: 12).
Karena itulah Ar-Raniry telah menggambarkan dalam salah satu karyanya Al-Fatahul
Mubiin sebagai berikut:
“… Dan lagi kata mereka itu: Al
‘alam huwa Allah, huwa al ‘alam, bahwa alam itu Allah, dan Allah itu alam.
Setelah sudah demikian itu maka disuruh raja akan mereka itu membawa taubat dari
pada i’tiqad yang kufur itu. Maka dengan beberapa kali disuruh raja jua akan
mereka itu membawa taubat, maka sekali-kali tiada ia mau taubat, hingga
berperanglah mereka itu dengan penyuruh raja. Maka disuruh oleh raja, bunuh
akan mereka itu dan disuruhnya, himpunkan segala kitab karangan guru mereka di
tengah medan mesjid yang bernama Bait Ar-Rahman. Maka disuruh oleh raja,
tumpukkan segala kitab itu.”
Menurut Al-Attas, ilmuwan besar Islam
Melayu-Malaysia, mengatakan bahwa sedikitnya terdapat 5 hal yang dijadikan
alasan oleh Ar-Raniry untuk menghujah doktrin wujudiyah (1996: 18.,
1970: 31),:
1.
Menurut
Ar-Raniry gagasan Hamzah Fansuri tentang Tuhan, alam, manusia dan hubungan
antar masing-masingnya tidak berbeda dengan gagasan para filsuf, kaum Zoroashter
(Majusi), dan bahkan Brahmanisme.
Dalam salah satu karyanya, Tibyan
fi Ma’rifah Adyan –selanjutnya disebut Tibyan–, Ar-Raniry
mengatakan, “Ketiga ta’ifah dari pada Majusi itu bernama Sumaniyah.
Adalah mereka menyembah tiap-tiap cahaya dari pada matahari, bulan, bintang,
dan api dan barang sebagainya. Seperti katanya adalah, sekalian cahaya itu dari
pada suatu cahaya jua, dahulu dari pada dijadikan Allah segala makhluk (yaitu ‘Arasy,
Lauh dan tujuh petala langit). Maka tatkala dijadikan Allah ta’ala
segala perkara itu jadi bercerailah segala cahaya itu; yaitu pada penglihatan
mata jua, tetapi pada hakikatnya sekalian cahaya itu suatu jua; yaitu adalah nur
Allah. Demikianlah i’tiqad Hamzah Fansuri.”
Katanya dalam Asraarul Arifin bahwa
cahaya yang pertama-tama cerai dari pada dzat Allah itu adalah nur Muhammad. Maka
dari pada perkataan ini cenderunglah kepada madzhab Tanasukhiyah, yang
beraqidah bahwa arwah dapat menjelma kemana saja, dan ini adalah serupa dengan
kata para filosof bahwa adalah Haq ta’ala (Allah ta’ala) itu suatu jauhar
yang basith (tidak tersusun dari berbagai unsur).
Demikian pula i’tiqad Wathaniyah,
yang dari pada kaum Barahimah dan Samiyyah yang mendiami negeri Tubbat. Begitu
juga i’tiqad kaum Hululiyyah yang mendiami benua Hindustan, demikianlah i’tiqad
mereka.
Dalam kutipan di atas, Ar-Raniry
antara lain menyebutkan, tindakan kaum Majusi yang menyembah cahaya, karena
berkeyakinan bahwa cahaya berasal dari satu cahaya sebelum terciptanya makhluk,
sehingga mereka percaya bahwa semua cahaya pada hakikatnya adalah cahaya Tuhan.
Kemudian Ar-Raniry menyamakan hal tersebut dengan keyakinan Hamzah Fansuri yang
mengatakan, “Cahaya yang pertama memancar dari hakikat Tuhan adalah cahaya
Muhammad (nur Muhammad).”
2.
Ar-Raniry
menganggap bahwa ajaran wujudiyah tentang imanensi Tuhan dalam alam (keimanan
bahwa Allah selalu berada di jagad raya ini) secara mutlak merupakan ajaran
yang sesat (dalalat). Dalam Tibyan, ia mengatakan:
“Katanya bahwa segala arwah
dan segala sesuatu itu daripada suku-suku Allah dari karena Ia berbuat dan
menjadikan segala sesuatu. Maka perbuatannya dan yang demikiannya itu
daripada-Nya dan kembali pula kepada-Nya jua. Maka segala makhluqat itu
suku-suku daripada Allah. Inilah madzhab Hamzah Fansuri dan Syamsuddin
As-Sumatrani yang dalalat keduanya. Dan lagi kata setengah daripada kaum
Tanasukhiyyah bahwa takwin dan mukawwin, dan fa’il dan maf’ul
suatu jua. Dan demikianlah madzhab Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As-Sumatrani.”
(Tibyan, dalam Al-Attas 1970: 478-479).
Lebih lanjut Ar-Raniry mengutip
ucapan Hamzah Fansuri dalam salah satu karyanya, Al-Muntahi. Dalam kitab
tersebut ketika menafsirkan sabda Nabi; man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa
rabbahu; barangsiapa mengenal dirinya, maka ia mengenal tuhannya (menurut
As-Sam’ani, ungkapan ini bukan hadits Nabi, melainkan kata-kata hikmah dari
Yahya Ar-Razi. Sedangkan ulama lain, seperti Ibnu Thaimiyah dan Asy-Syaghany
menganggapnya sebagai hadits palsu/maudhu’), (Lihat Azhari, 1985: 111).
Oleh karena hadits ini di kalangan sufi tampaknya dianggap sebagai hadits
shahih dan benar berdasarkan mukasyafah atau penyingkapan (yakni visi
mistis) tapi dipandang tidak shahih berdasarkan jalur riwayatnya. Hamzah Fansuri mengatakan: “… arti mengenal
Tuhannya dan mengenal dirinya yakni diri; kuntu kanzan maghfiyan (itu)
diri-Nya, dan semesta sekalian dalam (ilmu) Allah (tamsil) seperti biji dan
pohonnya dalam biji itu, lengkap serta dalam biji itu.”
Maka nyatalah daripada perkataan wujudiyah
itu bahwa seru sekalian alam adalah lengkap berwujud di dalam Haq ta’ala.
Maka keluarlah alam daripadanya seperti pohon kayu keluar dari pada biji. Maka i’tiqad
yang demikian itu adalah kufur. (Tibyan, dalam Al-Attas, 1970: 479).
Dari kalimat terakhir di atas tampak
bahwa Ar-Raniry mendasarkan tindakannya pada konsep Hamzah Fansuri –menurut
pemahaman Ar-Raniry, tentunya– bahwa alam benar-benar merupakan hakikat Tuhan yang
memancar dari Dzat-Nya, seperti munculnya pohon dari sebutir biji, hal ini
dianggap cukup bagi Ar-Raniry untuk menghukumi para pengikut ajaran wujudiyah
sebagai kafir.
3.
Ar-Raniry menganggap, ajaran wujudiyah,
bahwa Tuhan itu wujud sederhana, sama dengan pendapat para filsuf yang dianggap
sesat yang bertentangan dengan aqidah Islam.
Menurut Al-Attas, Ar-Raniry diduga kuat membesarkan tuduhannya pada
pernyataan Hamzah Fansuri dalam kitab Asraar Al-Arifin, yaitu:
“Tatkala bumi dan langit belum ada, ‘Arasy dan Kursi
belum ada, surga dan neraka belum ada, semesta sekalianpun belum ada, apa jua
yang pertama?
Yakni yang pertama Dzat semata, sendirinya, tiada dengan sifat dan tiada
dengan asma-Nya. Itulah yang pertama. Adapun nama Dzat itu Huwa.”
Dalam kutipan di atas menurut Ar-Raniry, Tuhan dalam konsep Hamzah
Fansuri adalah wujud absolut tanpa sifat, atau disebut oleh Hamzah Fansuri
sebagai Dzat yang Huwa.
4. Menurut
Ar-Raniry, ajaran wujudiyah bahwa Al-Qur’an itu makhluk yang diciptakan,
sama dengan ajaran kaum Qadariyah dan Mu’tazilah yang dianggap menyimpang.
Mengenai hal
ini, Ar-Raniry mengatakan:
“Syahdan. Lagi
pula i’tiqad kaum Qadariyah... yang setengah dari pada mereka itu, i’tiqadnya
bahwa Al-Qur’an itu makhluk, maka itulah i’tiqad yang kufur, inilah i‘tiqad wujudiyah
Hamzah Fansuri. Katanya, dalam kitab Asraarul Arifin bahwa kalam
Allah yang dibawa Jibril itu dapat dikata akan dia makhluk. Maka i’tiqad yang
demikian itu kufur.” (Tibyan, 1670: 482-483).
Untuk memperkuat tuduhannya ini,
Ar-Raniry mengutip firman Allah, (Inna andzalnaahu, qur’aana ‘arabiya
(ghaira) dzi-‘i wajin), yakni, bahwasanya Kami turunkan Qur’an dibawa Jibril
dengan bahasa Arab, bukannya ia makhluk. (Q.S. 39 Az-Zumar: 28). Dan hadits
Nabi: man qaala, al-qur’aanu makhluukun, fahuwa kaafirun, yakni
barangsiapa yang mengatakan qur’an itu makhluk, maka ia itu kafir. (Tibyan,
dalam Al-Attas, 1970: 482).
5. Ar-Raniry
menganggap ajaran wujudiyah bahwa alam ini terdahulu (qadim)
bertentangan dengan aqidah Islam.
Dalam hal ini Ar-Raniry mengatakan: “Kesembilan kaum jahniyyah (itu)
zanadiqiyyah namanya. Adalah i’tiqad mereka itu dan katanya bahwa alam
itu qadim, dan maqdum itu suatu jua, dan Allah ta’ala tiada maqdum.
Maka ini inilah i’tiqad Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As-Sumatrani dan segala yang mengikut keduanya. Maka i’tiqad
itu adalah kufur, karena firman Allah ta’ala, wallaahu khaaliqu kulli
syai-in, yakni; Allah jua yang menjadikan segala sesuatu.” (Tibyan,
dalam Al-Attas, 1970: 483).
Untuk lebih memperkuat tuduhannya tersebut, Ar-Raniry merujuk pada
pendapat Ahlussunnah
wal Jama’ah sebagai berikut: “Syahdan. Adalah
segala ahlussunnah wal jama’ah, ittifaq mengatakan; barangsiapa
meng-i’tiqadkan bahwa maqdum itu suatu syai’i, maka ia itu kafir.
Mereka itulah yang bernama ashabul haiyyula, artinya yang
mengi-itiqadkan a’yaanu tsabithah itu ada berujud.” (Tibyan,
dalam Al-Attas, 1970: 483).
Penentangan keras Ar-Raniry terhadap doktrin wujudiyah Hamzah
Fansuri dan As-Sumatrani di Aceh ini, nampaknya merupakan warisan dari
pertentangan antara kaum ortodoks dengan heterotodoks (dalam hal
ini, para filsuf) yang pernah terjadi dalam pemikiran filsafat Islam sejak
berabad-abad sebelumnya. Al-Ghazali merupakan contoh seorang ulama ortodoks
yang memilih berusaha menggugurkan argumen-argumen para filsuf tentang hubungan
ontologis (membicarakan watak realitas tertinggi atau wujud) antara Tuhan dan
alam yang dianggap sebagai ancaman serius atas kandungan Islam yang bersifat
wahyu. Ia, dengan karya klasiknya, Tahafut al-Falasifah (Kesesatan Para
Filsuf) mengajukan berbagai argumentasi yang mengungkapkan
kontradiksi-kontradiksi dalam filsafat, kaitannya dengan doktrin-doktrin
keagamaan. (Lihat Rahman, 1984: 172).
Untuk kasus di Aceh, kita dapat pula menarik benang merah dengan
pertentangan kaum ortodoks dan heterodoks yang terjadi pada abad yang bersamaan
di negeri asal Ar-Raniry sendiri, India. Penentangan kaum ortodoks di India
bermula dari adalanya kebijakan Kaisar Moghul, Akbar (1573-1605) untuk
mendirikan sebuah eklektikisme (melakukan pilihan dan penggabungan antara
bagian-bagian dari bermacam-macam aliran dan corak dari filsafat) keagamaan
yang menghimpun unsur-unsur terbaik Hindu dan Islam, dan menciptakan agama
Tuhan baru yang ia disebut Din Illahi. Kebijakan Akbar ini mengundang
ketegangan dan penentangan dari ulama ortodoks yang menganggap bahwa
toleransi keagamaan Akbar, dengan akibat-akibat yang ditimbulkannya, dianggap
menyimpang dari ajaran Islam. Paham heterodoks ini bertahan cukup lama, bahkan
semakin kuat pengaruhnya, terutama karena pengganti Akbar pun, yakni Jahangir
(1605-1627) menganut paham yang sama.
Dalam konteks inilah penting dikemukakan, bahwa pada saat yang hampir
bersamaan, ajaran mistik Hamzah Fansuri yang dianggap heterodoks di Aceh pun
sedang mengalami masa keemasan di bawah lindungan Sultan Iskandar Muda
(1607-1636). (Lihat Johns, 1955: 73, dan Schimmel, 1986: 372).
Jika Ar-Raniry menjadi motor penggerak dalam menentang paham heterodoks
di Aceh, maka dalam kasus Moghul, kita mengenal seorang tokoh, yaitu Ahmad
As-Sirhindi (1564-1624) yang dapat dianggap sebagai salah seorang wakil ulama
terdepan dalam membela ortodoksi Islam dari heterodoksi Akbar dan para
pengikutnya, hingga karena kebesarannya, ia terkenal dengan gelar kehormatan mujaddid
alf-as-sani (pembaharu milenium kedua), dan imam rabbani (pemimpin
yang diilhami Tuhan). Akan tetapi, meskipun berasal dari negeri yang sama, masa
yang hampir bersamaan, dan sikap yang saling berdekatan, dalam karya-karya
Ar-Raniry tidak ditemukan petunjuk bahwa ia mengenal karangan-karangan As-Sirhindi,
kendati pada umumnya pandangan-padangan Ar-Raniry memang sejalan dengan aliran wahdah
asy-syuhud, yang ide-idenya dikembangkan, antara lain, oleh As-Sirhindi.
Yang membuat dekat dua tokoh sufi ini adalah kecendrungan mereka yang mencolok
pada hukum syariat dari pada pengalaman ekstasis, penarikan garis tegas antara
Tuhan dan alam, serta kritik tajam mereka terhadap kecendrungan sifat-sifat
bid’ah dalam tasawuf. (Lihat, Braginsky 1998: 472).
Penentangan kaum ortodoks di India baru mendapatkan momentumnya ketika pengganti
Jahangir, yaitu Shah Jahan (1627-1658) yang dilanjutkan oleh Aurangzib
(1658-1681), menganut kebijakan baru menentang paham heterodoks. Pada masa
1633, Shah Jahan memerintahkan untuk menghancurkan kuil-kuil Hindu yang
dibangun pada pemerintahan sebelumnya, dan melarang mendirikan kuil-kuil baru.
Pada masa 1634, ia juga melarang umat Islam menikahi penganut agama Hindu. Dan
bahkan pada 1658, Aurangzib menjatuhkan hukuman mati kepada Dara Shikuh,
seorang tokoh mistik yang dikenal gigih memadukan unsur Islam dan Hindu.
Tampaknya bukan suatu kebetulan pula, jika pada masa hampir bersamaan, di
Aceh pun terjadi perubahan politik, di mana Ar-Raniry berhasil meyakinkan
penguasa baru yang naik tahta menggantikan Sultan Iskandar Muda, yakni Sultan
Iskandar Tsani (1637-1641) untuk menghukumi para penganut doktri wujudiyah
Hamzah Fansuri dan As-Sumatrani, dan menghancurkan kitab-kitab peninggalan
mereka. Latar belakang ini kemudian menggiring A.H. Johns mengambil kesimpulan
bahwa kontroversi doktrin wujudiyah di Aceh merupakan konsekuensi dari
perkembangan politik dan keagamaan di Moghul, India. (Johns, 1955: 73).
Kesimpulan Johns tersebut didukung oleh Drewes, meskipun menurut Drewes,
sangat tidak tepat jika menghubungkan begitu saja tindakan Ar-Raniry di Aceh dengan
pertentangan muslim India atas sinkretisme (perpaduan) Akbar, atau dalam
tindakan mereka dalam menentang agama Hindu. Karena, menurut Drewes, dalam dua
kasus di India tersebut, yang sling berhadapan adalah kaum muslim dengan pihak
luar Islam, sedangkan tindakan Ar-Raniry di Aceh, merupakan refleksi dari
pertentangan internal antar sesama muslim tentang kesesuaian doktrin
kontoversial Ibnu Arabi dengan ortodoksi Islam. (Drewes 1986: 16).
Lain halnya dengan Al-Attas. Ia menganggap bahwa kontroversi doktrin wujudiyah di Aceh terjadi karena dipengaruhi oleh ambisi politik Ar-Raniry. Oleh
karenanya, Al-Attas meragukan ketulusan reformasi intelektual dan keagamaan
Ar-Raniry dalam menentang doktrin tersebut. Sebagai dalih atas pernyataannya,
Al-Attas mengemukakan beberapa contoh ajaran dan konsep wujudiyah Hamzah Fansuri yang –menurutnya- diputarbalikkan dan disalahartikan
oleh Ar-Raniry. Hal ini terjadi karena, menurut Al-Attas, Ar-Raniry tidak menguasai
kepelikan dan paradoksi bahasa Melayu yang digunakan oleh Hamzah Fansuri dalam
karya-karyanya; ia hanya ingin memanfaatkan naiknya Sultan Iskandar Tsani, yang
dalam kebijakannya memang menguntungkan kaum ortodoks. Ketidaklurusan
Ar-Raniry, menurut Al-Attas, juga tampak dari kenyataan, bahwa untuk masuk ke
dalam kalangan istana, Ar-Raniry menunggu hingga wafatnya As-Sumatrani, seorang
ulama istana murid Hamzah Fansuri. Al-Attas menduga bahwa tindakan Ar-Raniry
ini adalah untuk menghindari penentangan atas dirinya dari seorang ulama
mumpuni yang menjadi lawan politiknya. (Al-Attas, 1970: 17).
Konsep Abdurrauf tentang Wahdatul Wujud
Untuk sampai pada
pandangannya tentang konsep wahdatul wujud, Abdurrauf memulai pembicaraan
tentang tauhid yang, tentu saja, ia kaitkan dengan ajaran tasawuf. Dalam aqidah
Islam, konsep tauhid ini merupakan salah satu aspek yang paling vital, terutama
dalam konteks hubungan manusia dengan Tuhan (hablun min Allah). Tauhid
diartikan sebagai pengakuan tentang keesaan Tuhan, yang penegasannya terungkap
dalam syahadah. Yakni kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah (laa ilaha
illallah), yang menjadi syarat diakuinya seseorang menjadi muslim. Saking
pentingnya keberadaan tauhid dalam Islam, seseorang yang tidak bertauhid dapat
dianggap sebagai orang kafir.
Bagi seorang awam,
tauhid barangkali hanya merupakan penegasan yang membedakan dirinya sebagai
seorang mukmin dengan seorang kafir atau musyrik (orang yang menduakan Tuhan).
Akan tetapi, lebih dari itu bagi seorang sufi, tauhid merupakan pintu yang
terbuka untuk memahami dan masuk dalam realitas hakiki, yaitu Al-Haq,
Allah SWT.
Para sufi tampak sangat
berhati-hati dalam menafsirkan kata tauhid, yang secara etimologis berasal dari
bahasa Arab, wahhada yuwahhidu tauhid, yang berarti ‘mengesakan’. Mereka
menegaskan bahwa arti ‘mengesakan’ dalam konteks Tuhan adalah mengaitkan sifat
Esa dengan Tuhan, bukan menjadikan Tuhan Esa. Dalam Tanbih al-Masyi,
Abdurrauf mengemukakan hal tersebut sebagai berikut:
والتوحيد
تفعيل للنسبة كالتصديق والتكذيب لا للجعل (ص. ٢).
“Tauhid adalah
tindakan mengaitkan –seperti mengaitkan sesuatu dengan kebenaran, atau
mengaitkan sesuatu dengan kebohongan– bukan
menjadikan …”
Sehingga, -menurut
Abdurrauf- jika kita mengatakan wahhadtu Allaha [aku mengesakan Allah],
maka yang dimaksud adalah nasabtuhu ja’altuhu wahidan [aku menjadikan
Allah Esa]. Abdurrauf memandang bahwa hal tersebut perlu ditegaskan, karena
sifat Esa bagi Allah itu adalah sesuatu yang telah melekat pada zat-Nya
sendiri, bukan karena diberikan oleh pihak lain.
Dalam dunia tasawuf, tauhid selalu menjadi bekal
pertama yang ditanamkan oleh seorang mursyid[2] kepada para muridnya[3] sebelumnya para murid
tersebut menjalankan amalan-amalan dalam tarekat. Hal ini terlihat misalnya
dalam ungkapan Abdurrauf:
فاعلم
ايها المريد وفقنا الله واياك لطاعته واستعملنا واياك فيما يرضاه ان اول واجب عليك
توحيد الحق سبحانه وتعالى وتنزيهه مما لا يجوز عليه بكلمة لا اله الله الجامعة
لجميع مراتب التوحيد الاربعة (ص. ٢).
“Selanjutnya,
ketahuilah wahai murid –semoga Allah member petunjuk kepada kami dan kepadamu
untuk taat kepada-Nya, dan semoga Allah menghendaki kita untuk melakukan apa
yang diridhai-Nya– bahwa kewajiban pertama atasmu adalah mengesakan Al-Haq SWT,
dan mensucikan-Nya dari hal-hal yang tidak layak bagi-Nya dengan kalimat: la
ilaha illa Allah, yang menghimpun empat tingkatan tauhid.”
Dalam kutipan di atas Abdurrauf mengemukakan bahwa
penegasan tauhid bagi seorang murid merupakan kewajiban pertama yang harus
dilakukan. Penegasan tauhid itu diiringi dengan penegasan untuk menghilangkan
segala atribut, baik sifat maupun perbuatan, yang tidak layak disandang oleh
Allah. Kedua penegasan tersebut terungkap dengan satu kalimat, yaitu la
ilaha illa Allah, yang jika dijabarkan, akan menghimpun empat tingkatan
tauhid, yaitu –seperti disebutkan Abdurrauf pada bagian lain– tauhid uluhiyah
(mengesakan ketuhanan Allah), tauhid af’al (mengesakan perbuatan Allah),
tauhid sifat (mengesakan sifat-sifat Allah), dan tauhid zat (mengesakan zat
Allah). Yang disebut terakhir ini, dalam konteks tasawuf dianggap sebagai
tingkatan tauhid tertinggi.
Sebagai wujud dari konsistensinya dalam menyampaikan
sistematika ajaran tasawuf kepada murid-muridnya –khususnya tentang ajaran
tauhid–, dalam beberapa karangannya yang lain, Abdurrauf selalu menempatkan
persoalan tauhid ini di awal pembahasan, meskipun dengan bahasa dan redaksi
yang beragam. Kita dapat melihat hal tersebut misalnya dalam Sullam
al-Mustafidin, Daqa-iq al-Huruf, dan Munyah al-I’tiqad. Dalam
Sullam al-Mustafidin misalnya, ia mengatakan:
Hai murid! Pertama-tama wajib yang
kau qasadkan akan dia itu mentauhidkan tuhanmu… (MS, dikutip dari Abdullah
1991: 66)
Untuk memperkuat pandangannya tentang keesaan Allah,
Abdurrauf mengemukakan argument berupa dalil aqli (dalil yang bersumber pada
akal dan logika), yang didukung oleh dalil naqli (dalil yang bersumber pada
nash Al-Qur’an), seperti yang dikemukakan:
والدليل
على وحدانيته تعالى عدم فساد العالم قال تعالى [لو كان فيهما آلهة الا الله
لفسدتا] فعدم فساد السموات والارض دليل على وحدانيته تعالى وهما من جملة العالم.
(ص. ٢).
“Salah satu buti keesaan Allah ta’ala
adalah tidak rusaknya alam. Allah berfirman, “Sekiranya di langit dan di bumi
ini ada tuhan-tuhan lain selain Allah, tentulah keduanya (langit dan bumi) itu
telah rusak binasa”. Jadi, tidak rusaknya langit dan bumi ini merupakan bukti
atas keesaan Allah ta’ala, karena langit dan bumi adalah bagian tak terpisahkan
dari alam.”
Berangkat dari konsep tauhid inilah,
Abdurrauf kemudian mulai masuk pada pembicaraan tentang hubungan ontologism
antara Tuhan dan alam, antara al-Haq dan al-khalq, antara Sang
Pencipta dan ciptaan-Nya, antara Yang Maha Esa dan yang banyak, antara al-wujud
dan al-maujudat, antara wajib al-wujud dan al-mumkinat.
Tentang
alam itu sendiri, Abdurrauf mendefinisikannya sebagai:
اسم
لما سوى الحق عز وجل (ص. ٢).
“… nama untuk segala sesuatu selain Al-Haq
(Allah) Yang Maha Mulia dan Maha Agung.”
Kemudian Abdurrauf menambahkan,
bahwa hakikat alam adalah:
الوجود
المقيد بصفات الممكنات ولهذا يطلق عليه بانه سوى الحق (ص. ۳).
“… wujud yang terikat dengan sifat-sifat
mumkinat (sifat-sifat yang mungkin). Oleh karena itu, ala mini dikatakan
sebagai sesuatu selain Al-Haq.”
Adapun persoalan yang muncul dalam
pembicaraan tentang hubungan ontologis antara Al-Haq dan al-khalq,
berangkat dari penjelasan dalam konsep tauhid di atas bahwa satu-satunya wujud
adalah Allah (la ilaha illa Allah), tidak ada wujud selain wujud Allah.
Dengan kata lain, wujud dalam pengertian hakiki hanya milik Al-Haq,
segala sesuatu selain Al-Haq tidak memiliki wujud. Jika satu-satunya
wujud adalah Al-Haq, bagaimana kedudukan ontologism al-khalq (alam)?
Apakah alam identik dengan Tuhan? Atau apakah alam tidak mempunyai wujud sama
sekali?[4]
Pandangan Abdurrauf terhadap
persoalan-persoalan itu terungkap dalam Tanbih al-Masyi, sebagai
berikut:
وهو
بالنسبة الى الحق كالظل وليس هو شيئا زائدا على حقائق معلومة للحق ازلا متصفة
بالوجود ثانيا انتهى. فالانسان على هذا ظل الحق او ظل ظله. (ص. ۳).
“Dan jika dihubungkan dengan Al-Haq, alam
itu bagaikan bayangan, ia bukanlah hakikat lain di samping hakikat-hakikat
Allah yang telah diketahui sejak zaman azali, dan kemudian memiliki wujud.
Karena itu, menurut konsep ini, manusia adalah bayangan al-Haq, atau bayangkan
dari bayangan-Nya.”
Dalam kutipan di atas, tampak bahwa
menurut Abdurrauf, alam tidak identik secara mutlak dengan Tuhan, karena alam
hanya merupakan bayangan-Nya, bukan wujud-Nya. Dengan ini Abdurrauf menegaskan
transedensi Tuhan atas makhluk-Nya. Alam –termasuk manusia di dalamnya–, dengan
demikian tidak memiliki wujud tersendiri, karena ia hanya merupakan bayangan
Tuhan, atau bahkan hanya bayangan dari bayangan-Nya. Kehadiran bayangan itu
sangat tergantung pada ada dan tidak adanya sumber bayangan. Oleh karena itu,
wujud hakiki yang sebenarnya adalah sumber bayangan tersebut berikut segala
sifat yang melekat padanya.
واعياننا
فى نفس الامر ظله لا غيره. (ص. ۳).
“Pada hakikatnya, entitas kita adalah bayangan Allah, tidak lain
dari itu.”
سواء كانت
يعنى تلك الاعيان خارجية او ثابتة اما اعياننا الثابتة فلانها ظل للذات الالهية
المتلبسة بشؤونها واما اعياننا الخارجية فلانها ظل لاعياننا الثابتة وظل الظل ظل
بالواسطة انتهى (ص. ۳-٤).
“… baik potensi yang tetap (al-a’yan
as-sabitah) maupun potensi luar (al-a’yan al-kharijiyyah), karena potensi kita
yang tetap merupakan bayangan dari zat ketuhanan yang bercampur dengan
tindakan-Nya, dan potensi luar kita merupakan bayangan dari potensi kita yang
tetap, sedangkan bayangan dari suatu bayangan adalah bayangan perantara,
sekian.”
Dari
perkataan Ibnu Arabi dan penjelasan Abd ar-Rahman ibn Ahmad r.a. yang dikutipnya,
tampak bahwa menurut Abdurrauf, yang dianggap sebagai bayangan semata itu
mencakup potensi yang tetap (al-a’yan as-sabitah)[7] dan potensi luar (al-a’yan al-kharijiyyah)[8], karena potensi yang tetap merupakan bayangan
langsung dari zat-Nya, sedangkan potensi luar sendiri merupakan bayangan dari
potensi yang tetap tersebut, sehingga dapat disimpulkan bahwa segala sesuatu
selain Allah (baca: alam) itu bersumber pada-Nya, dan keberadaannya pun sangat
tergantung pada wujud-Nya.
Untuk memperkuat argumentasinya itu,
Abdurrauf mengutip hadits Nabi:
وما
نحن الا به وله (ص. ٤) .
“keberadaan kita ini
semata-mata karena Dia, milik-Nya.”
Dengan pandangannya
bahwa alam adalah bayangan Allah semata, berarti Abdurrauf menegaskan bahwa
alam bukan benar-benar zat al-Haq, karena anggapan tersebut, menurutnya,
akan membatalkan status al-Haq sebagai Pencipta alam raya. Menurut
Abdurrauf, sangat tidak masuk akal jika Sang Pencipta menciptakan zat-Nya
sendiri secara utuh. Abdurrauf mengutip sebuah ayat Al-Qur’an yang menegaskan
bahwa:
خالق
كل شئ (ص. ٤).
“Ia adalah Pencipta segala sesuatu.”
Abdurrauf juga
berdalih bahwa di dalam Al-Qur’an, tidak sekali pun Allah mengatakan bahwa Ia
menciptakan zat-Nya sendiri. Kepada Nabi Muhammad, Allah mengatakan: Qul
Allahu khaliqu kulli syai’in [Katakanlah (wahai Muhammad]! Allah adalah
pencipta segala sesuatu]. Dia –misalnya– tidak mengatakan: Qul Allahu
khaliqu ‘ainihi [Katakanlah! Allah adalah pencipta zat-Nya sendiri]. Allah
juga mengatakan: Wa Allahu khalaqakum wa ma ta’malina [Dan Allah
menciptakan kalian serta apa yang kalian perbuat], tidak mengatakan: Wa
Allahu khaliqu ‘ainihi [Dan Allah menciptakan zat-Nya sendiri]. Dalam
Al-Qur’an juga selalu dikatakan: alhamdu li Allahi rabbi al-‘alamina [segala
puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam], tidak dikatakan: alhamdu li
Allahi rabbi a’inihi [segala puji bagi Allah, Tuhan zat-Nya sendiri]. Satu
argumen yang dikemukakan Abdurrauf adalah, jika alam adalah zat Allah sendiri,
tentu Dia tidak akan menitahkan kewajiban-kewajiban syariat yang memberatkan,
seperti puasa, shalat dan sebagainya.
Selain itu, menurut
Abdurrauf, jika manusia –yang notabene adalah bagian dari alam– benar-benar
merupakan zat Allah, seharusnya manusia dapat mewujudkan apa saja yang
dikehendaki dan kemudian dikatakannya, dalam sekejap, karena Allah telah
mengatakan dalam Al-Qur’an: iza arada syai’an an yaqula lahu kun, fayakunu [Apabila
Dia menghendaki sesuatu, hanyalah berkata kepadanya: Jadilah!, maka terjadilah
ia]. Namun, kenyataannya manusia tidak mampu melakukan hal tersebut, karena
kehendaknya tidak bisa selalu seiring dengan kehendak Allah. Hal ini menjadi
bukti bahwa manusia, alam atau Al-khalq tidak identik dengan Allah, atau al-haq
secara mutlak. Dalam hal ini, Abdurrauf mengutip sebuah hadits qudsi, dimana
Allah berfirman:
ابن
آدم تريد واريد ولا يكون الا ما اريد فان سلمت لى فيما اريد اعطيتك ما تريد وان
نزعتنى فيما اريد اتعبتك فيما تريد ثم لا يكون الا ما اريد. (ص. ٥-٦).
“… wahai anak Adam! Engkau mempunyai
keinginan, Aku pun demikian, tapi tidak akan terjadi kecuali apa yang Aku
inginkan. Jika engkau rela atas apa yang Aku inginkan, maka Aku akan memberikan
apa yang engkau inginkan, dan jika engkau menentang apa yang Aku inginkan, Aku
akan mempersulit apa yang engkau inginkan, sehingga tidak akan terjadi kecuali
apa yang Aku inginkan.”
Dengan berpijak pada
argument-argumen yang telah dikemukakannya tentang ontologis antara Tuhan dan
alam, dan kesimpulannya bahwa alam tidak memiliki wujud tersendiri, Abdurrauf
kemudian mengemukakan pandangannya tentang proses penciptaan alam. Topic ini
memang termasuk salah satu masalah yang juga selalu menjadi bahan pembicaraan
di antara para sufi.
Menurut Abdurrauf, alam tercipta
melalui proses pemancaran (emanasi, al-faid) dari zat Allah. Ia
menyamakan proses keluarnya alam tersebut dengan proses keluarnya pengetahuan
dari Allah. Dengan demikian, meskipun alam bukan zat Allah secara mutlak, namun
ia juga tidak berbeda dengan-Nya secara mutlak pula, karena alam bukan wujud
kedua yang benar-benar terpisah dari-Nya. Abdurrauf mengutip perkataan gurunya
dalam kitab Bulgah al-Masir[9]:
وحاصله
ان وجود العالم لكونه ليس وجودا مستقلا استقلالا بل فائضة والمراد بالفيض هو كفيض
العلم منه تعالى كما لا يتصف بكونه عين الحق لكونه مبدعا كذلك لا يتصف بانه غيره
مغائرة تامة بحيث يتصف بانه وجود ثان معه مستقل (ص. ٦).
“Alhasil, wujud alam ini
tidak benar-benar berdiri sendiri, melainkan terjadi melalui pancaran. Dan yang
dimaksud dengan memancar di sini adalah bagaikan memancarnya pengetahuan dari
Allah ta’ala. Seperti halnya alam ini bukan benar-benar zat Al-Haq – karena ia
merupakan wujud yang baru – alam juga tidak benar-benar lain dari-Nya. Ia bukan
wujud kedua yang berdiri sendiri di samping Allah.”
Allah sendiri –menurut Abdurrauf-
tetap seperti keadaan-Nya di zaman azali. Ia tidak mempunyai sekutu, karena Ia
ada sebelum segala sesuatu tercipta. Setelah alam tercipta melalui
pancaran-Nya, Allah tetap tidak berubah, sedangkan alam sifatnya hadis (baru),
karena ia hanya sebagai pancaran dari wujud Allah. Tingkat wujudnya tidak
kemudian sejajar dengan wujud Allah (rutbah al-ma’iyyah), melainkan berada di
bawah-Nya (rutbah at-taba’iyyah).
Demikianlah
pandangan-pandangan Abdurrauf dalam Tanbih Al-Masyi, baik tentang hubungan
ontologism antara Tuhan dan alam, maupun tentang proses penciptaan alam. Bagi
Abdurrauf, semua yang telah dikemukakannya itulah yang ia namakan sebagai
doktrin wahdatul wujud (kesatuan wujud), atau yang oleh Ar-Raniry
disebut dengan wujudiyah. Jadi, alam – dalam konsep wahdatul wujud
Abdurrauf – bukan merupakan wujud kedua yang benar-benar terpisah dari Al-Haq,
karena ia adalah pancaranya dari zat-Nya. Dalam hal ini, berarti Abdurrauf
mengemukakan konsep imanensi (penyatuan) Tuhan dalam alam (tasybih; baca:
konsep al-faid). Akan tetapi, alam juga bukan zat Al-Haq secara mutlak,
melainkan sekedar bayangan-Nya, atau bahkan bayangan dari bayangan-Nya, karena
Tuhan adalah Zat Yang Esa, tidak ada sesuatu pun yang menyertai-Nya (la syarika
lahu), meskipun Ia selalu menyertai segala sesuatu (Al-Muhit). Dalam hal ini,
berarti Abdurrauf tetap mempertahankan konsep transedensi Tuhan atas
ciptaan-Nya (tanzih; baca: konsep az-zill).
Untuk mendukung pandangannya tentang
imanensi Tuhan atas ciptaan-Nya, Abdurrauf mengutip firman Allah:
وهو
معكم اينما كنتم (ص. ٧).
Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu
berada
Kemudian, untuk menunjukkan
transedensi-Nya, Abdurrauf mengutip hadits Nabi:
كنا
الله ولا شئ معه (ص. ٧).
Allah tetap seperti ada-Nya, tidak ada
sesuatu pun yang menyertai-Nya
Abdurrauf juga mengutip keterangan
para ulama yang mengatakan bahwa:
وهو
الآن على ما عليه كان (ص. ٧).
Keadaan Allah sekarang, sama dengan
keadaan-Nya dahulu
Yang penting dikemukakan dari semua
uraian di atas adalah bahwa meskipun jelas-jelas Abdurrauf merupakan seorang
ulama sufi yang turut mempropagandakan ajaran wahdatul wujud, namun dari
penjelasannya tentang konsep al-faid dan az-zill, kita menangkap
satu kesan bahwa Abdurrauf bersikap sangat hati-hati dalam mengemukakan ajaran
tersebut. Ia mencoba untuk menjauhkan satu pemahaman bahwa wahdatul wujud
merupakan doktrin yang mengajarkan kesatuan antara Tuhan dan alam secara
mutlak. Sikapnya ini berbeda dengan ulama sufi Melayu lain semisal Yusuf
al-Makassari, yang karena tidak ingin mengaitkan dirinya dengan paham kesatuan
akhir antara Tuhan dan alam, ia lantas menolak wahdatul wujud (kesatuan
wujud), untuk kemudian mengajarkan doktrin wahdah asy-syuhud (kesatuan
kesadaran) yang dikembangkan oleh Ahmad as-Sirhindi dan Syah Waliyullah (lihat
Azra 1995: 233).
Dari beberapa kutipan ayat Al-Qur’an
dan hadits Nabi yang dijadikan dalil dalam mengemukakan pandangan-pandangannya,
kita juga menangkap kesan bahwa Abdurrauf sangat menekankan pentingnya
pemahaman tentang konsep Tuhan dan alam (baca: wahdatul wujud) yang
sejalan dengan kedua pedoman hidup umat Islam itu. Hal ini juga diperkuat oleh
pesannya di akhir pembahasan untuk tetap berpegang teguh pada keduanya dalam
memahami persoalan tersebut, agar tidak terjerumus pada pemahaman yang keliru[10]. Dalam hal ini, Abdurrauf mengutip hadits
Nabi:
انى
تركت فيكم كتاب الله وسنتى فاستنطقوا القرآن بسنتى فانه تعمى ابصاركم ولن تزل
اقدامكم ولن تقصر ايديكم ما اخذتم بهما (ص. ٧).
“Aku tinggalkan dua perkara bagimu, yaitu
Kitab Allah dan sunnahku, maka, jelaskanlah Al-Qur’an dengan sunnahku, karena
matamu tidak akan buta, kakimu tidak akan terpeleset, dan tanganmu tidak akan
putus selama kamu memegang teguh pada keduanya.”
Kecenderungan
Abdurrauf untuk mengadakan reinterpretasi yang lebih kompromistis terhadap
doktrin wahdatul wujud, dan penekanannya terhadap keselarasan doktrin
tersebut dengan Al-Qur’an dan hadits Nabi, tampaknya juga tidak lepas dari
konteks social masyarakat Aceh saat itu. Seperti telah dikemukakan di awal,
sejak keberangkatan Abdurrauf ke Arabia sekitar 1642, Aceh ditandai dengan
kontroversi dan pertikaian antara seorang ulama ortodoks, Ar-Raniry dengan
penganut doktrin wujudiyah Hamzah Fansuri dan as-Sumatrani. Abdurrauf,
tampaknya sangat berhati-hati menempatkan posisi dirinya di antara kedua pihak
yang bertikai itu. Dalam Tanbih Al-Masyi, meskipun secara implicit
semangat ajaran Abdurrauf senada dengan Ar-Raniry, yakni menunjukkan
ketidaksepahamannya dengan doktrin wujudiyah Hamzah Fansuri dan as-Sumatrani,
namun, -seperti akan kita lihat nanti- ia juga tidak sependapat dengan sikap
Ar-Raniry yang menentang ajaran tersebut secara radikal (lihat Azra 1995: 191).
[1] Plotinus adalah tokoh
dihubung-hubungkan dengan pemikiran Neo-Platonisme dalam peradaban pemikiran
barat. Plotinus (205 M – 270 M), lahir di Lycopolis, Mesir. Ia mengajar
falsafah di Roma selama 25 tahun, dan sebelumnya berguru pada Ammonius Saccus
(tokoh filsafat yang berpegangan pada pemikiran Plato dan Aristoteles). Ajaran
Plotinus terfokus pada tiga kajian inti, yakni Tuhan (The One), akal
(intellect), dan jiwa (soul). Menurutnya Tuhan adalah sumber wujud melalui
emanasi (pemancaran). Dia merupakan objek yang tak terpahami dan semuanya
bergerak menuju kepada-Nya. (Drajat, 2005: 104)
[2] Mursyid adalah pembimbing spiritual. Ia dianggap sebagai ahli waris
sejati Nabi Muhammad SAW. Sifat-sifat seorang mursyid sejati adalah sifat-sifat
yang dimiliki oleh Syeikh atau gurunya sendiri, yakni Nabi Muhammad saw.
(Armstrong, 1996: 197).
[3] Murid adalah orang yang sedang mencari mencari Allah. Ia adalah
pencari hakikat di bawah bimbingan dan arahan seorang pembimbing spiritual
(mursyid). (Armstrong 1996: 197).
[4] Pembahasan lebih mendalam tentang hal ini, lihat Noer 1995: 46-56.
[5] Muhyiddin (penghidup agama) adalah gelar bagi sufi Andalusia,
Muhammad ibn Ali ibn Muhammad ibn Arabiyy, Abu Bakr al-Hatimiyy at-Ta’iyy
al-Andalusiyy (1165-1240), yang lebih dikenal dengan nama Ibnu Arabi. Gelar
lainnya yang lebih masyhur adalah asy-syaikh al-akbar (guru yang agung). Ia
dilahirkan di Mursia, Spanyol bagian Tenggara, kemudian hijrah ke Seville. Ibnu
Arabi biasanya dihubungkan dengan doktrin wahdatul wujud, karena ia
dianggap sebagai pendirinya, meskipun dalam berbagai karangannya, ia sendiri
tidak pernah menggunakan istilah tersebut. Karya-karya mistiknya tidak kurang
dari 239 buah, baik dalam bentuk kitab atau risalah, antara lain: Al-Futuhat
al-Makkiyyah, Fusus al-Hikam, Mafatih al-Ghaib, Ma la Budda Minhu li al-Murid,
Bulgah al-Gawas, dan lain-lain (lebih lengkap tentang biografi Ibnu Arabi
dan karya-karyanya, lihat Noer 1995: 17-29. Untuk koleksi manuskrip dari
beberapa karyanya, lihat Loth 1877: 174-176, dan 180).
[6] Nama lengkapnya adalah Nur ad-Din Abd ar-Rahman ibn Ahmad ibn
Muhammad al-Jamiyy, (1414-1492). Ia adalah seorang penyair sufi asal Persia
yang dilahirkan di Kharjad, Khurasan. Selain sebagai seorang pendukung wahdatul
wujud, ia juga seorang ahli tafsir dan hadits. Karya-karyanya tidak kurang
dari 90 buah, baik berbentuk puisi maupun prosa, antara lain: Nafahat
al-Uns, Syarh Fusus al-Hikam li Ibn Arabiyy, Yusuf wa Zulaikha, Laila wa
Majnun, ad-Durar al-Fakhirah, dan lain-lain (lihat Nasution, dkk. 1992;
lihat juga Zarkali 1980, jilid 6, h. 296).
[7] Al-a’yan as-sabitah adalah entitas-entitas, arketipe-arketipe,
esensi-esensi, atau potensi-potensi yang tak berubah dan tak berhingga dalam
hakikatnya. Istilah ini mengandung arti sifat esensial segala sesuatu yang
maujud sejak zaman azali dari ilmu Allah, (Armstrong 1996: 42).
[8] Al-a’yan al-kharijiyyah adalah potensi luar,
ciptaan dalam bentuk konkretnya, yang keberadaannya bersumber dari al-a’yan
as-sabitah (lihat Azra 1995: 206).
[9] Belum diketahui pengarang kitab ini, namun penting dicatat, bahwa
dalam Tanbih al-Masyi, secara konsisten Abdurrauf selalu menyebut kata
syaikhuna (guru kami) untuk merujuk kepada salah satu di antara al-Qusyasyi dan
al-Kurani.
[10] Penekanan Abdurrauf pada telaah Al-Qur’an dan Hadits Nabi dalam
mengemukakan ajaran-ajaran tasawuf ini, tampaknya melanjutkan tradisi kedua
gurunya, Al-Qusyasyi dan Al-Kurani; dua
ulama ‘neo-sufi’ yang terkenal gigih dalam mengajarkan perpaduan antara aspek
tasawuf dan syari’at (lebih lanjut tentang hal ini, lihat Azra 1995, terutama
h. 117-127).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar